Romansa Cinta Frank


Romansa cinta memang selalu tak berujung indah. Seperti yang dialami oleh Frank kepada kekasihnya Laura. Frank tak pernah suka kepada segala hal yang bernuansa ramai. Sedangkan, Laura sangat menyukainya. Hampir semua hal yang Laura lakukan atau rasakan, sebisa mungkin semua orang mengetahuinya.

Cara Frank mencintai tentu tak semua orang paham. Dalam diam-diam, bahkan bersembunyi di balik selimut. Frank tak pernah mengerti, bukan cinta seperti itu yang Laura inginkan. Dan Laura, tak pernah mau mengerti, meski pun banyak orang mengatakan itu adalah sebuah karakter lahir yang sulit diubah. Bisa, tetapi tak sepenuh hati.

Frank selalu berpikir, ia mencintai Laura, bukan mencintai setiap orang. Dan lagi-lagi Laura ingin agar Frank mengatakan kepada semua orang bahwa Laura dicintai Frank seorang diri, bukan untuk orang lain. Hanya karena perbedaan kecil ini saja, Laura dan Frank tak lagi mau bertegur sapa.

Malam ini bulan tampak tak lagi berselera, cahanya redup terhalangi oleh bumi di belahan lain. Laura merasa ada yang tidak beres dengan kekasihnya ini. Di danau dekat hutan, disanalah mereka bertemu. Sebuah kano kecil menjadi saksi perjumpaan mereka di bawah sinar pijar bintang.

“Frank, nikahilah aku sekarang juga. Aku tak mau engkau menyeberang dengan kano kecil ini sendiri, sedang aku berdiri di sini menantimu seorang diri.”

“Tidak sekarang, Laura.”

“Apa lagi yang engkau ragukan?”

“Aku mohon tidak sekarang. Ini bukanlah waktu yang tepat.”

“Aku muak dengan semua omong kosong ini! Apa yang engkau sembunyikan dari aku?”

“Aku menyembunyikan semua hal yang telah aku ceritakan kepadamu. Hanya kamu. Dan kamu tidak pernah mau mengerti.”

“Sampai kapan aku harus mengerti semua pribadimu? Apakah tidak cukup aku mengerti semua keadaan ini?”

Frank menghela napas, kemudian membuang pandangannya sejauh mungkin ke arah danau.

“Frank!” bentak Laura, “Aku ini wanita, aku butuh sebuah kepastian. Bukan untuk semua ketidakpastianmu!”

Frank tergugu, selama ini ia berjalan menelusuri, dan pada akhirnya sampai pada lumpur-lumpur ketidakpastian. Ia memperhatikan kano kecil yang terombang-ambing oleh danau yang bergelombang tenang oleh angin. Laura membenci Frank, setiap kali kekasihnya itu membuang pandangannya ke tempat lain. Tetapi, ia tidak pernah mau mengerti, kenapa ia harus membuang pandangan.

“Aku paham, engkau muak segala hal tentangku! Kita seharusnya mengakhiri ini sejak dulu. Frank, terimakasih atas semua kesia-siaan ini.”

Laura pergi menjauhi Frank tanpa pernah lagi menoleh ke belakang. Frank diam membeku. Ia tahu, posisinya tak lagi diindahkan. Bahkan dengan panggilan nyaringnya, Laura tak akan sudi menoleh lagi. Setelah sekian lama, Frank tak ingin hati terlalu lama hancur. Masih banyak kehancuran yang harus ia telan bulat-bulat.

Dipinggirkannya kano kecil itu dengan dayung dari kayu pohon mahoni. Frank naik dan duduk di atasnya. Ia melihat ke arah rumah kecil di pinggiran danau yang hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak. Menarik napasnya dalam-dalam dan melegakan dadanya yang kembali sesak. Frank mulai mendayung kanonya, perlahan demi perlahan. Sesekali desir pohon pinus diterpa oleh angin malam. Ia tak peduli.

Udara semakin dingin, Frank sudah berada di tepi danau seberang. Dibukakannya pintu rumah tersebut, sepasang suami istri yang rambutnya sudah memutih menyambutnya dengan sebuah senyum rindu. Dan seorang balita suci yang hanya bisa memanggilnya dalam do’a, giginya sudah banyak yang menjadi cokelat. Matanya cekatan memandangi Frank dan tersenyum girang. Frank, hanya kepada Frank seorang ia bergembira.

Frank mendapati perapian telah padam. Ia mengambil beberapa potong kayu yang sudah disiapkannya sebulan yang lalu. Persediaan kayu sudah menipis, beberapa diantaranya sudah menjadi basah. Frank membuka kemeja dan jaket yang ia kenakan, kemudian dilemparkan ke dalam perapian tersebut.

“Apa yang engkau dapatkan hari ini, Nak?”

“Tak ada, Bu. Hanya kenyataan, bahwa aku memang tak pantas untuk memperjuangkan apa-apa.”

“Itu semua bukan salahmu, Nak. Bahkan aku tidak pernah mau mencampuri kisah asmaramu. Aku hanya ingin engkau bahagia dengan pilihanmu. Lupakanlah kami bertiga ini. Bakarlah rumah ini, pergilah ke seberang, dan jangan datang kembali.”

Frank terpaku dan tak percaya atas apa yang telah mereka katakan. Tak akan mungkin ia lakukan hal ini. Jika pun ia harus membakar, bukan hanya rumah ini saja, tetapi juga hutan dan perkampungan ini. Tetapi tidak. Ia memilih untuk diam.

Malam pun menjadi terlalu dingin. Bahkan kayu tak mau lagi terbakar. Api telah muak melahap kayu yang tak lagi istimewa. Sepasang suami-istri yang tua itu mulai kedinginan. Adik bayi suci yang tak tahu apa-apa pun mulai menggigil. Frank bergeming. Ia tahu, ini lah akhir dari segalanya. Dia mendekat ke arah perapian, mengambil sebatang kayu yang masih terbakar.

Ia membakar dirinya sendiri. Agar sang Api puas dan tak ada lagi yang terbakar.

Malam menjadi sunyi.

“Laura, semoga ini alasanmu mengatakanku seorang pengecut” bisik Frank lewat angin malam.


Santaero Ibra'
0.28 AM
26/10/2013

1 komentar:

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut