Ahmadun




Tujuh huruf namanya. Ahmadun. Baru saja dia mengirimiku pesan singkat lewat aplikasi tak berbayar. Memang interaksi kami tidak begitu sering, bahkan bisa dikatakan sangat jarang. Tapi insyaAllah tidak putus-putusnya aku mendoakanmu, Sahabat.
Madun, biasanya ia disapa. Sepertinya selama aku kuliah di IPB, disadari atau tidak, pergaulanku tidak akan jauh-jauh dari Madun. Agak sedikit nyentrik, begitulah kira-kira dirinya. Tapi bagiku ia sosok unik yang pantas dijadikan panutan.
"As Always, I will support you," katanya dalam pesan itu.

Kali pertama aku mengenal Madun adalah saat Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB). Awal kali kami sekelompok. Antasari. Haha. Jadi keingat bagaimana sok-sokannya aku dulu mengajukan diri sebagai Dampi. Ahmadun hanya senyum-senyum melihat kelakuanku, entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Masuk kelas matrikulasi kami pun sekelas kembali. Lagi-lagi dengan PD-nya aku mengajukan diri sebagai ketua kelas. Ya kalah sih. Tapi boleh lah. :D Selepas kelas matrikulasi berakhir, kami melanjutkan kelas TPB. Mungkin Madun bosen kali ya melihat tingkahku yang lagi-lagi mengajukan diri sebagai ketua kelas. Hahaha. (Kali ini menang, dengan memaksakan diri).

Hubungan aku dan madun, kalau diingat-ingat emang unik. Seringnya becanda, seringnya kesal-kesal, tapi entah kenapa aku selalu merasa Madun selalu mendukungku dari belakang. Tapi sejujurnya aku merasa Madun menaruh kesal sama aku. Dan ini memang sudah diakuinya beberapa tahun yang lalu. Maafkan aku, Dun. Hehe.

Madun berasal dari Wonosobo, anyway, aku pernah ke sana dong. Dengan modal nekat. Haha. Jadi ceritanya suatu hari itu, selepas sholat Idul Fitri, aku tiba-tiba mengirimi madun pesan singkat. Intinya aku ingin ke rumahnya. Atas arahan dari Madun, aku menyetop bis di pool, dan naik menuju Wonosobo. Uniknya adalah si kernek bus nggak bisa bahasa Indonesia, cuma bisa bahasa Jawa. Saat akan nyampai dia nanya sama aku pakai bahasa Jawa yang aku nggak ngerti, akhirnya aku telpon madun dan minta berbicara dengan sang kernek. Haha.

Suatu subuh yang dingin, tak ada kabut, yang ada hanyalah asap yang keluar dari mulut setiap bernapas. Wonosobo dingin sangaaaat. Aku nggak paham lagi, warga setempat hidup dengan tenang di sana. Udaranya tidak terkontaminasi dengan polusi-polusi tak bertanggung jawab. Satu hal yang aku pahami di sana, bahwa dalam usia kami saat itu yang belum nikah, stigma yang berkembang adalah bahwa kami ini jejaka-jejaka tua. Hahaha.

Ah, Madun, banyak hal yang aku lewati bersama kamu. Kurang lebih empat tahun kita bersama, tiga tahun di gedung asrama yang sama. And you always understanding me. You always support me. So, umm... Thanks for that, brother. Hadirmu sangat berarti. :)


0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut