Maja Labo Dahu*



“Ana-ana, cou ma bade, au ma ndadi nggahi rawi dana mbojo?” //anak-anak, siapa yang tahu, apa yang menjadi kata slogan Bima?

Seisi kelas terdiam, ada yang tertunduk takut. Ada pula yang antusias memperhatikan sang guru berbicara. Bocah dengan mata bulat itu, Abi namanya.

“Ma wara aka ASI ta, Bu?” //yang ada di museum ASI ya, Bu?

Ibu guru menyunggingkan senyumnya. Lagi-lagi anak ini, lirihnya dalam hati. “Iyo, ana. Cou ma mbuipu kawara?”//Ya, nak. Siapa yang masih ingat?

Abi melirik kiri dan kanannya. Kelas hening. Hanya sesekali terdengar suara anak yang menghisap ingusnya. Ada juga yang batuk. Abi lagi-lagi tak enakan kalau dia harus dikatakan sombong. Abi tahu betul, apa yang terjadi ketika dia mendominasi kelas. Setiap hari dia protes kepada Ibunya, kenapa kalau menjawab di kelas dikatakan sok pintar? Apakah uang yang Abi keluarkan hanya untuk duduk di kelas tanpa menggubris si Ibu guru berbicara.

“Maja labo dahu” // Malu dan takut.

“Nah, persis” Sembari menunjuk kepada Abi, kemudian Bu Guru yang mengenakan pakaian Dinas  hijau itu menulis dengan kapur putihnya:

“MAJA LABO DAHU”

Abi selalu tidak suka arti slogan ini sekenanya. Karena secara harfiah, malu dan takut adalah dua hal yang sama-sama menjadi mental cecunguk. Hanya jongos-jongos yang malu dan takut. Hanya pengecut yang malu dan takut. Kenapa kita harus malu, kenapa kita harus takut? Apakah karena ini teman-temanku menjadi tertunduk saat ditanya Bu Guru? Ada banyak pertanyaan di benak si Abi Kecil.

Musim demi musim pun membawa si Abi kecil berkelana entah berantah. Tak lagi ia temukan slogan Maja Labo Dahu lagi. Setiap negara yang ia singgahi selalu berselogan positif. Beriman. Tegar. Bersih. Ini. Itu. Yang bangga. Yang menjadi identitas negaranya masing-masing.

Namun sepertinya, dimana-mana, Maja Labo Dahu tertanam kuat di dada manusia. Malu dan Takut. Setelah malu dan takut, ia akan mencemooh orang yang berani. Ini benar-benar negeri-negeri para komentator, yang hanya bisa berkomentar. Sikut main sikut diam-diam.

Abi terkadang muak, dikala eksistensi dirinya tak lagi diakui. Ia sangat benci dengan Maja Labo Dahu. Abi tak mau lagi dilahirkan. Abi benci manusia-manusia Maja Labo Dahu dan turunannya. Abi tahu, ketidakeksisannya di Bumi, arti dari Abi tak sama dengan manusia lainnya. Ia merasa seperti sesosok alien yang tak pantas untuk hidup di dunia Maja Labo Dahu ini.

Matahari pun mulai melemah. Sudah waktunya Abi pulang ke rumah sebenarnya. Rambut-rambutnya mulai memutih. Pupil matanya sudah didominasi oleh warna buram. Abi lebih banyak tergugu saat di tanya macam-macam tentang perkara sederhana. Hidup Abi sudah disikat habis-habisan oleh Maja Labo Dahu.

Sepulangnya Abi, seorang anak yang mengaku cucunya duduk di sebelahnya. Anak wanita imut berjilbab ini memandangi Abi, dan mulai bertanya,

“Ompu, Ibu Guru mada sodi, au nggahi rawi dana mbojo?” // Kakek, ibu guru saya nanya, apa kata slogan kota bima?

Abi menoleh secara ringkih ke arah cucunya. Wajahnya putih dan bersih, matanya bulat berbinar-binar. Sama persis seperti matanya dulu. Abi tak mau ada dosa di matanya. Ia tak mau, cucunya teracuni oleh, kata:

“Maja Labo Dahu,” lirihnya pelan.

Gadis kecil itu mengernyitkan dahinya seperti berpikir keras sambil mengetuk-ngetukkan pensilnya, kemudian,

“Pala babau dou-dou mbojo wati wara wali ma Maja Labo Dahu na?” // Tapi kenapa orang-orang Bima tidak ada lagi malu dan takutnya saat ini?

Abi tersontak kaget dalam rapuhnya. Maja labo dahu yang ia kenal ternyata salah selama ini. 

Dan ironis yang ia dapati. Bima dengan Maja Labo Dahu di papan tua. Hanya sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut