Katakanlah kita berimajinasi tentang sesuatu. Sesuatu yang
kita ciptakan tentang seorang manusia yang hidup seperti kita. Tetapi hanya hidup
dalam imaji. Dan ia pun tengah berimajinasi tentang sesuatu, yang ia anggap
adalah kehidupan setelah kematian. Kira-kira apa yang sedang ia pikirkan?
Katakanlah bahwa sosok fiksi yang kita ciptakan ini percaya
bahwa ada kehidupan setelah kematian. Namun, seperti apakah kehidupan setelah
kematian itu? Ayolah, dia hanya berimajinasi. Kusebut saja namanya Hendro.
Sah-sah saja, toh aku yang mengusulkan nama itu. Agar aku lebih mudah bercerita
tentang apa yang ia imajinasikan.
Hendro berpikir bahwa kehidupan setelah kematian adalah
seperti melompati dari satu pesawat ke pesawat lainnya. Hanya saja dalam
dimensi yang berbeda. Tentunya dalam hal ini yang Hendro maksudkan melompat
bukan berarti melompat yang membuat topi hitam yang ia kenakan akan terjatuh. Tetapi
perpindahan saja. Dan peristiwa kematian adalah perantaranya.
Dalam pengamatannya, Hendro mencoba untuk memahami lebih
detail seperti apakah perjalanan setelah kematian itu? Ternyata peristiwa
setelah kematian itu sama seperti kehidupan sebelum kematian, hanya dengan
versi yang berbeda. Seperti Hendro yang melompati dunia nyata versi imajinasi
ke dunia setelah kematian, dia mendapati dirinya yang dulu pernah meneguk
secangkir kopi hitam di sebuah café di pinggir pantai. Ia mengalami repetisi
yang sama.
Hendro adalah sosok yang putus asa. Ia mengalami masalah
yang serius tentang persahabatan. Tiga sahabatnya tenggelam dalam kapal yang mereka
tumpangi. Hendro tak dapat menolong mereka karena berada di dek yang berbeda.
Di saat Hendro memasuki alam kematiannya, sel-sel otaknya
kemudian memanggil kembali memorinya lebih dalam. Memutar kembali semuanya. Sekilas.
Sekejap. Dan menghilang. Saat Hendro kembali, dia sedang berada di sebuah café sambil
memegang secangkir kopi bersama ketiga kawannya. Mereka bersenda gurau seperti
sedia kala.
“Apa yang engkau pikirkan, Hendro?” tanya Eliska.
“Aku tak mengerti, sepertinya aku pernah mengalami hal ini.”
Seorang sahabatnya yang lain mendekat. “Engkau hanya De Javu,”
pukas Heri.
“Tapi ini terlalu aneh. Aku seperti bisa merasakan kejadian
setelah ini bahwa Sam akan mengabarkan….”
“Kapalnya sudah datang!” semuanya menengok kepada Sam. “Apakah
ada yang salah?” lanjutnya.
“Hei Sam, bicaralah kepada Hendro,” Eliska sambil mengemasi
peralatannya ke dalam tas. “Ada apa, Man?”
“Apa yang sedang terjadi?”
“Engkau baru saja melompati dimensi lain,” Heri menahan
napas, “Kupikir engkau hanya De Javu. Aku bahkan tidak mengerti kenapa berada
di sini.”
“Tidak kah engkau mengingat apa yang terjadi terakhir kali?”
“Tidak,” Heri mengangkat bahunya. “Aku seperti melihat
kalian tenggelam di kapal itu.” Sebagai mana ekspresi terkejut seharusnya,
mereka terdiam. “Cenayang?” Sam mengakhiri kebisuan.
“Bagaimana kalau itu benar?”
“Kita bisa mengubah kejadian itu,” jawab Sam. Dan benar. Mereka
tidak jadi melakukan perjalan dengan kapal itu dan selamat. Mereka menghabiskan
waktu dengan bernyanyi-nyanyi di pinggir pantai. Hingga ketiduran. Dan saat
terbangun keesokan harinya,
Hendro sedang memegang cangkir yang sama di café yang sama
bersama Eliska dan Heri, sesaat kemudian Sam datang dan mengatakan “Kapalnya
sudah datang!” Hendro merasa ini bukan sekedar De Javu. Karena dia seperti
cenayang. Begitupun kejadian esok harinya. Hingga ia tersadar bahwa apa yang ia
lakukan hanyalah repetisi.
“Apakah aku sudah mati?” tanya Hendro kepada Eliska. Wanita
itu hanya tersenyum dan mengatakan, “Inilah kehidupan setelah kematian. Ia
memberikan harapan untuk mengganti penyesalan dengan penyesalan lain yang tiada
hentinya”
Aku merasa kasihan kepada Hendro. Jadi, kubiarkan ia hidup
kembali ke dalam imajinasiku, sebelum ia kuhapus.
Ah, untungnya aku memiliki Agama yang menjelaskan arti
kehidupan setelah kematian yang sebenarnya. Yang tidak akan pernah bisa
dipahami oleh mereka yang tidak memiliki Tuhan di dalam hatinya. Untuk mereka
yang selalu bimbang bahwa setelah kematian adalah ketidakeksisan. Bahwa semua
unsur di dunia ini adalah kosong. Dan mereka selalu hidup dalam imajinasinya. Maksudku
imajinasi yang sebenar-benarnya imajinasi.
0 komentar:
Posting Komentar