Saya dulu hanyalah seorang anak bocah ingusan yang hobinya kalau tidak main orang-orangan, ya main layangan. Saya dibesarkan di sebuah pulau kecil, yang jika orang lain bertanya, asal saya dari mana, pasti mereka akan bertanya, “Bima itu dimana?” Untunglah, tidak terlalu sulit untuk menjelaskannya, karena hampir setiap orang mengetahui dimana letak percis pulau Bali. Bima dekat dengan Bali, tapi tidak di pulau lombok.
Kota kecil itu seakan-akan terisolasi dari hiruk pikuk kota metropolitan. Satu-satunya kebanggaan sejarah yang kami miliki bahwa dulu masyarakat Bima juga ikut berjuang mati-matian melawan Belanda. Sultan Hassanudin juga pernah duduk berunding dengan Soekarno dalam koordinasi kemerdekaan RI. Selain itu, kalau kami pernah masuk televisi, tidak lebih banyak dari kasus-kasus pembunuhan dan kekisruhan antara daerah.
Di besarkan di kota Bima, menjadikan saya berpikir tentang lingkup Bima saja. Belajar di Bima, mengabdikan hidup di Bima, dan pada akhirnya akan mati juga di Bima. Tak pernah saya mengenal, apa itu Singapura, apa itu Amerika, apa itu Israel, Mesir, Turky, Palestina, China, dan negara lainnya lebih mendetail. Jangankan itu, suku sunda saja saya tidak pernah tahu dulu. Yang saya tahu hanyalah suku mbojo (suku asli daerah Bima), suku sasak (lombok), jawa, betawi, dan suku samawa (sumbawa).
Pada akhirnya, saya terlempar ke kota Hujan, Bogor, di bawah alamamater Institut Pertanian Bogor. Di sini lah orang-orang mulai bertanya, gerangan apa yang membawakan saya hingga ke Bogor. Pertanian lagi. Setiap orang Bima yang menanyakan saya, kuliah dimana? Saya jawab, IPB. ‘Oh, Bandung, toh.’ Pasti mereka menganggapnya itu ITB. Bukan, saya IPB. Pertanian.
Jadi teringat dulu, ketika saya berdebat dengan bapak mengenai universitas mana yang akan saya masuki. Saya ngotot ingin ikutan ujian seleksi masuk Universitas Indonesia, jurusan sastra Indonesia. Bapak saya melarang, alasannya hanya satu, ‘Mau jadi apa kamu nanti?’ Saya yang tidak punya cukup alasan, akhirnya mengalah. Tergodalah saya untuk memilih jurusan Teknologi Industri Pertanian. Lebih sangar terdengar, karena ada industrinya. Lagi pula saya harus keluar dari kota ini.
Bogor. Tidak ada penyesalan saya memilih kota ini. Karena letaknya di pinggiran ibu kota, jadi aksesnya lebih mudah. Satu hal yang saya tidak suka dari bogor. Apalagi kalau bukan indentitasnya: Kota Hujan. Saya tidak suka hujan. Sepele, karena hujan selalu berujung becek. Dan dulu saya sering atsma ketika diguyur oleh hujan.
Usai menyandang gelar Sarjana Teknologi Pertanian, sebuah gelar yang menyesaki nama saya yang genap 12 huruf, kini menjadi 15 huruf. A.L.D.I.A.N.F.A.R.A.B.I.S.T.P Saya berada di persimpangan. Kuliah lagi, atau kerja, atau bisnis, atau pengangguran. Pilihan terakhir lebih tepat untuk orang-orang yang galau dan tidak mau bergaji sedikit. Dan saya dijatuhkan pada pilihan pertama. Lanjut kuliah. Dan orang pasti bertanya lagi, kenapa harus ke sana?
Thailand. Memang tidak banyak yang berimpian untuk melanjutkan kuliah di negeri siam ini. Apalagi yang tersohor dari Thailand selain Ayam Bangkok? Jambu Bangkok? Atau Duren montong? Dan setiap orang yang bertanya kepada saya, ‘kenapa tidak ke Eropa saja atau Jepang?’ Saya memang punya cita-cita dulu hendak kuliah di Swiss. Tapi, ini lucu. Entah kenapa saya mau kuliah di Swiss, saya tidak tahu. Kata profesor pembimbing saya dulu, ‘Kamu mau kuliah perhotelan di sana?’
Lantas saya mengubah, setelah mencari beberapa info, saya mau melanjutkan kuliah di Osaka University, jurusan management industry. Tapi, yah begitu lah takdir. Kita hanya merencanakan, Allah lah yang memutuskan. Rencana Allah lebih baik dari pada rencana manusia. Saya percaya itu lebih dari keyakinan apapun. Dan saya mulai tertawa, betapa bodohnya saya, mimpi jangka panjang itu tidak bisa dicampur dengan keinginan jangka pendek.
Menteri Perindustrian RI periode 2036-2040 adalah impian saya. Kenapa saya harus belajar ke Eropa kalau core base industri Indonesia adalah pertanian? Kenapa saya harus belajar ke Jepang kalau Jepang tidak menghasilkan pertanian Tropis sebaik Thailand? Ternyata Allah ikut campur tangan dalam semua rencana hamba-Nya. Saya percaya bahwa Dia telah memeluk mimpi saya beberapa tahun yang lalu hingga sekarang.
Dan lihatlah, betapa pertumbuhan perekonomian Asia hingga saat ini mulai meresahkan negara-negara barat. Betapa angka penduduk produktif di Indonesia mulai menggila dan orang-orang Eropa serta Jepang mulai merosot tajam. Dan saya berharap dengan adanya AEC, kondisi ekonomi Indonesia menjadi lebih baik lagi. AEC adalah alasan spesifik saya belajar di Thailand.
Kota kecil itu seakan-akan terisolasi dari hiruk pikuk kota metropolitan. Satu-satunya kebanggaan sejarah yang kami miliki bahwa dulu masyarakat Bima juga ikut berjuang mati-matian melawan Belanda. Sultan Hassanudin juga pernah duduk berunding dengan Soekarno dalam koordinasi kemerdekaan RI. Selain itu, kalau kami pernah masuk televisi, tidak lebih banyak dari kasus-kasus pembunuhan dan kekisruhan antara daerah.
Di besarkan di kota Bima, menjadikan saya berpikir tentang lingkup Bima saja. Belajar di Bima, mengabdikan hidup di Bima, dan pada akhirnya akan mati juga di Bima. Tak pernah saya mengenal, apa itu Singapura, apa itu Amerika, apa itu Israel, Mesir, Turky, Palestina, China, dan negara lainnya lebih mendetail. Jangankan itu, suku sunda saja saya tidak pernah tahu dulu. Yang saya tahu hanyalah suku mbojo (suku asli daerah Bima), suku sasak (lombok), jawa, betawi, dan suku samawa (sumbawa).
Pada akhirnya, saya terlempar ke kota Hujan, Bogor, di bawah alamamater Institut Pertanian Bogor. Di sini lah orang-orang mulai bertanya, gerangan apa yang membawakan saya hingga ke Bogor. Pertanian lagi. Setiap orang Bima yang menanyakan saya, kuliah dimana? Saya jawab, IPB. ‘Oh, Bandung, toh.’ Pasti mereka menganggapnya itu ITB. Bukan, saya IPB. Pertanian.
Jadi teringat dulu, ketika saya berdebat dengan bapak mengenai universitas mana yang akan saya masuki. Saya ngotot ingin ikutan ujian seleksi masuk Universitas Indonesia, jurusan sastra Indonesia. Bapak saya melarang, alasannya hanya satu, ‘Mau jadi apa kamu nanti?’ Saya yang tidak punya cukup alasan, akhirnya mengalah. Tergodalah saya untuk memilih jurusan Teknologi Industri Pertanian. Lebih sangar terdengar, karena ada industrinya. Lagi pula saya harus keluar dari kota ini.
Bogor. Tidak ada penyesalan saya memilih kota ini. Karena letaknya di pinggiran ibu kota, jadi aksesnya lebih mudah. Satu hal yang saya tidak suka dari bogor. Apalagi kalau bukan indentitasnya: Kota Hujan. Saya tidak suka hujan. Sepele, karena hujan selalu berujung becek. Dan dulu saya sering atsma ketika diguyur oleh hujan.
Usai menyandang gelar Sarjana Teknologi Pertanian, sebuah gelar yang menyesaki nama saya yang genap 12 huruf, kini menjadi 15 huruf. A.L.D.I.A.N.F.A.R.A.B.I.S.T.P Saya berada di persimpangan. Kuliah lagi, atau kerja, atau bisnis, atau pengangguran. Pilihan terakhir lebih tepat untuk orang-orang yang galau dan tidak mau bergaji sedikit. Dan saya dijatuhkan pada pilihan pertama. Lanjut kuliah. Dan orang pasti bertanya lagi, kenapa harus ke sana?
Thailand. Memang tidak banyak yang berimpian untuk melanjutkan kuliah di negeri siam ini. Apalagi yang tersohor dari Thailand selain Ayam Bangkok? Jambu Bangkok? Atau Duren montong? Dan setiap orang yang bertanya kepada saya, ‘kenapa tidak ke Eropa saja atau Jepang?’ Saya memang punya cita-cita dulu hendak kuliah di Swiss. Tapi, ini lucu. Entah kenapa saya mau kuliah di Swiss, saya tidak tahu. Kata profesor pembimbing saya dulu, ‘Kamu mau kuliah perhotelan di sana?’
Lantas saya mengubah, setelah mencari beberapa info, saya mau melanjutkan kuliah di Osaka University, jurusan management industry. Tapi, yah begitu lah takdir. Kita hanya merencanakan, Allah lah yang memutuskan. Rencana Allah lebih baik dari pada rencana manusia. Saya percaya itu lebih dari keyakinan apapun. Dan saya mulai tertawa, betapa bodohnya saya, mimpi jangka panjang itu tidak bisa dicampur dengan keinginan jangka pendek.
Menteri Perindustrian RI periode 2036-2040 adalah impian saya. Kenapa saya harus belajar ke Eropa kalau core base industri Indonesia adalah pertanian? Kenapa saya harus belajar ke Jepang kalau Jepang tidak menghasilkan pertanian Tropis sebaik Thailand? Ternyata Allah ikut campur tangan dalam semua rencana hamba-Nya. Saya percaya bahwa Dia telah memeluk mimpi saya beberapa tahun yang lalu hingga sekarang.
Dan lihatlah, betapa pertumbuhan perekonomian Asia hingga saat ini mulai meresahkan negara-negara barat. Betapa angka penduduk produktif di Indonesia mulai menggila dan orang-orang Eropa serta Jepang mulai merosot tajam. Dan saya berharap dengan adanya AEC, kondisi ekonomi Indonesia menjadi lebih baik lagi. AEC adalah alasan spesifik saya belajar di Thailand.
Kalau kata mbak Dati, 'Bukan masalah kuliah dimana. Tapi, siapa yang kuliah'
Saya rasa tak perlu lah saya jauh-jauh ke eropa kalau sekedar ingin belajar pertanian tropis. Biarlah teman-teman yang lebih jago dalam hal engineering, art, law, atau apapun yang berbau eropa ke sana. Biarlah saya tidak perlu menghirup aroma sakura yang berjatuhan di musim gugur, saya hanya perlu merasakan keindahannya kelak saat menjadi orang yang tanda tangannya bernilai 2 miliyar.
Saya mulai menyadari, saya lahir di Indonesia, mengabdikan hidup di Indonesia, dan pada akhirnya saya (semoga) akan mati juga di Indonesia. Biarkanlah saya melanjutkan perjuangan-perjuangan M. Hatta. Natsir. Sultan Sjahrir. Dan para pejuang lain. Tentunya dengan cara saya sendiri.
Hidup ini mudah. Jadi lah apa yang menjadikanmu bahagia. Berjuanglah untuk apa yang kamu anggap patut diperjuangkan. Dan musuh terbesar kita adalah keinginan untuk memuaskan nafsu diri.Salam. :)
Akan selalu ada alasan untuk sesuatu, kalau dicari... hihihi
BalasHapusbut anyway, goodluck brother :)
haha, pengalaman ente mirip ane banget bro, bedanya ane dlu mw nya ke perancis. tapi skenario Allah beda men, mimpi jadi menteri pertanian membawa ane kesini,
BalasHapusnih selengkapnya, haha, http://anshary90.wordpress.com/2012/11/22/skenario-tuhan-dan-harapan-kita/#more-95
oh, AEC. Aku bantu kampanye deh \m/
BalasHapussampe aku link postingan ini di post ku :D
BalasHapuskarena Allah SWT punya rencana yang selalu indah untuk hambaNya...Selamat berkarya ;) oiya satu university sama intan?
BalasHapus