Menjadi Muslim Minoritas



Salah satu hal yang paling saya syukuri di hidup ini adalah apa yang saya dengar pertama kali saat menghidup udara di dunia ini, ialah Adzan. Secara langsung saya dibaiat masuk ke dalam agama yang saya yakini kebenarannya sepenuh hati. Islam. Entahlah, apa yang terjadi jika saya dilahirkan di keluarga yang bukan muslim. Akankah Allah masih memberikan hidayah-Nya kepada saya? Naudzubillahimindzalik.

Saat ini, sebagian hidup saya lebih banyak dihabiskan di Indonesia. Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Maka tidak heran bagi saya jika sarana dan prasarana banyak dibangun untuk kelangsungan berislam disini. Masjid. TPA. Badan Amil zakat. Majelis Ulama Indonesia. Pengajian. Partai Islam. Kurikulum pendidikan. Dan masih banyak lagi.

Dan kini saya terlempar ke negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Mungkin hampir 96% penduduknya, dan muslim kira-kira sekitar 2% atau lebih. Jadi, tidak heran jika di tempat baru ini, saya jarang sekali mendengarkan suara adzan.

Bagi saya, menemukan Masjid di sini sama halnya dengan menemukan mutiara, bahkan lebih. Saking jarangnya menemukan masjid, jika hendak shalat saya biasa shalat di mana saja. Lapangan, di bawah tangga, atau ruangan kosong.

Tetapi justru hal ini yang membuat saya semakin bangga menjadi Muslim. Ya, kadang kita butuh menjadi minoritas dulu baru mengerti bagaimana rasanya memiliki itu. Di sini saya merasa memiliki Islam sekaligus Indonesia sebagai identitas.

Shalat Jum'at di kampus dilaksanakan tidak di Masjid, tetapi di sebuah ruangan kosong, atau kadang di sebuah musholah kecil yang mungkin hanya mampu menampung kurang dari 100 orang. Tapi itu lah seperti yang saya bilang, menunjukkan diri sebagai seorang Islam di sini benar-benar membanggakan. Jauh lebih membanggakan dari sekedar mendapatkan medali saat Pimnas atau IPK 4.

Saya sering mendapati pertanyaan teman-teman mengenai Islam. Kebanyakan mereka terheran-heran pada muslim, terutama ketelatenan mereka dalam hal beribadah. Satu hal inti yang saya coba berikan jawaban kepada mereka bahwa Islam mengajarkan kita tentang hidup, bagaimana caranya bergaul dengan manusia, bagaimana bergaul dengan alam, dan bagaimana bergaul dengan Tuhannya. Islam mengatur segala hal, itulah mengapa Islam diyakini oleh penganutnya sebagai agama yang sempurna.

Bentuk ibadah vertikal yang Muslim lakukan adalah bagaimana mereka memposisikan Tuhan sebagai Pencipta. Kita yang membutuhkan Tuhan, bukan Tuhan yang membutuhkan kita. Jadi, ibadah itu bukan sekedar penghambaan tapi kebutuhan. 

Sehemat saya, orang yang tidak membutuhkan Tuhan adalah orang yang tidak pantas untuk hidup di dunia ini.

Anyway, menjadi muslim minoritas itu ada enaknya dan ada tidak enaknya. Enaknya adalah kita semakin dipersaudarakan, bahkan kepada muslim lain yang kita tidak kenal atau tidak mengerti bahasa kita. Kita punya bahasa yang lain, bahasa hati dan bahasa iman. Tidak enaknya, makanannya susah euy, mau makan aja harus dipastikan dulu kehalalannya, maklum di sini banyak yang jual babi. Dan seafood, mahalnya bukan main. :p

2 komentar:

  1. Sambil membayangkan suatu waktu di negeri entah berantah: sudah jadi muslim minoritas, ditekan, dan sesama muslim minoritas saling baku hantam atas sesuatu yang tak prinsipil...

    Somehow, mungkin sebagian orang membayangkan kondisi seperti itu absurd. Tapi di mata sebagian yang lain, konsep "minoritas" bisa diartikan sama sekali lain dari sekedar soal jumlah. Sehingga ibarat suku bunga, nominalnya mayoritas, tapi sejatinya, hekekatnya, riilnya mereka "minoritas"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya belum mengerti tuh kak tentang konsep lain dari minoritas. Apakah itu berarti 'keislaman' yang sesungguhnya, atau bagaimana?

      Hapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut