Mahesa #9 Senja



Irama ketukan sol sepatu menggema di dinding. Seseorang tengah melewati koridor tua yang sepi. Sesekali terdengar suara kepakan sayap merpati yang terbang melintasi kaca jendela.
 
"Kenapa engkau tidak mempercayai kata-kataku?"
 
"Engkau berbohong."
 
"Tidak ada yang aku sembunyikan darimu. Aku sudah menceritakan semua informasi yang aku tahu."
 
"Lebih dari itu. Kami sudah membaca semua gerakanmu. Manuvermu"
 
"Manuver apa? Tidak usah berbelit-belit. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku ingin pulang!"
 
"Jawablah dengan jujur!" Suaranya setengah membentak.
 
Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan mereka. Mar menatap kedatangan seseorang dengan pandangan dingin. Ia berkemeja putih dengan lengan digulung. Menemukan pandangannya kepada mata Mar.
 
"Omong kosong apa lagi ini?" Lirihnya hampir tanpa suara.
 
Pria itu berjalan ke arah Mar hampir tanpa ekspresi. Ia meletakkan sebuah berkas di atas meja. Kemudian membuka beberapa dokumen yang terbungkus plastik kedap. Mendehem pelan sambil mengenggam sebuah dokumen berwarna merah.
 
"Masih mau membual, huh?" Sambil menunjukkan dokumen rahasia di tangannya.
 
"Apa maumu sebenarnya?" Lanjutnya tanpa jeda.
 
Mar hanya tertunduk menatapi ujung meja kayu. Dua orang lelaki tersebut memperhatikan gerak-gerik wanita tertuduh. Mar terdiam sesaat, "berikan aku panggilan untuk seseorang"
 
- - -
 
Udara hari ini terasa lebih segar dari biasanya. Sambil menenteng sepatu di tangannya, Zabeela menendang geli buih ombak yang membasahi kaus kaki putihnya. Jilbab krem panjangnya berkibar ditiup angin pantai. Tampak susana hatinya ceria sekali. Beberapa orang anak sedang asik menerbangkan layang-layang mereka. Beberapa lainnya  duduk-duduk sambil asik mengomentari.
 
Tidak jauh dari lokasi, sebuah bus merah berhenti. Seorang wanita dengan potongan rambut pendek memanggil dan melambaikan tangan ke arah Zabeela. Dikalungkannya sebuah kamera untuk menambah kesan melancongnya. "Hei... Bee!"
 
Zabeela membalas lambaian tangannya. Kemudian berlari kecil ke arahnya. "Kenapa tidak mengabari aku?" tanya Bee setengah kesal, "aku kan bisa menjemputmu."
 
"Ah, aku hanya ingin membuat kejutan kecil buatmu"
 
"Dan kamu berhasil membuat lebih dari itu," Zabeela tersenyum sambil menarik tangan sahabat yang ada di depannya. "Ayo, kita ke sana."
 
Setelah puas bergurau bersama mencari kulit kerang, mereka menepi untuk beristirahat. Dua kursi di bawah pohon. Sambil meneguk sebutir kelapa muda.
 
"Aku senang sekali saat mendengar bahwa engkau memutuskan untuk bersyahadat"
Ia hanya menjawabnya dengan senyuman.
 
"Tentunya bukan karena aku kan?" Zabeela menggoda lagi sahabatnya.
 
"Ya, semua itu berlalu begitu cepat. Sudah sebulan ini aku benar-benar mencoba memahami Tuhanku"
 
"Tidak usah terburu-buru. Semua ini ada prosesnya," menghela napasnya, "tapi aku jadi penasaran, apa yang membuatmu jadi berubah pikiran? Aku tahu kamu orang yang sangat berpegang teguh pada pendirianmu," ia menatap lekat-lekat sahabatnya, kemudian memiringkan sedikit wajahnya ke kanan. Menunjukkan rasa penasarannya. Justru karena itu, jawabnya ringkas.
 
Ia tahu Zabeela tidak puas dengan jawabannya, "Islam," lanjutnya setelah membasahi tenggorokannya dengan beberapa teguk air kelapa, "bagiku secara logika, paling masuk akal menjelaskan konsep Tuhannya." Bee membentuk bibirnya  seperti huruf O. Ia kemudian tersenyum lagi.
 
"Bisa jadi karena itu juga yang membawaku hingga ke Yala," lanjutnya.
 
"Untuk?"
 
"Untuk bertemu kamu," kemudian tertawa lepas. Zabeela hanya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang mungil dan tersusun rapi. Tidak lepas dua lesung pipitnya yang cantik.
 
"Ayahku akan pulang dalam sebulan lagi," wanita itu menghentikan tawanya, "mungkin setelah itu kamu bisa menemuinya," kata Zabeela.
 
"Pattani?" Ia mencoba menebak. Bee hanya menganggukkan kepalanya. Tatapannya tertuju pada tumpukkan kerang yang mereka kumpulkan. Kerang-kerang itu menjadi objek foto dalam lensa.
 
"Aku kadang berpikir, untuk apa dia melakukan semua ini?"
 
"Hmmmh... Kita akan mengerti suatu hari nanti," dia menatap Bee dengan lembut. "Hampir di seluruh bagian bumi ini, minoritas akan selalu tersisih, dan akan memberontak ketika memiliki sedikit saja harapan. Aku sudah banyak melihatnya."
 
Bee menggeleng, "bukan. Ini hak asasi."
 
"Baiklah," kemudian mereka saling tersenyum. Wajah mereka diterpa cahaya keemasan dari ujung sana.
 
"Hei coba lihat itu, Mar!" Sahut Zabeela. Mereka berdiri.

Hari sudah menjadi petang. Pohon kelapa menyiur ke arah laut. Orang-orang dewasa sibuk mempersiapkan peralatan mereka untuk berlayar. Garis jingga mengantarkan kepergian mentari. Menyemburat di antara garis samudera dan langit. Senja. Letak keindahan yang sempurna. Sebuah mahkota yang dimiliki bumi.
 
Zabeela Narukhan berdecak mengaguminya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut