Mahesa #10 Terhadang



Malam telah mengambil siang. Kini, Yala menjadi gelap ditemani remang-remang lampu jalanan. Keheningan sudah menjadi pemandangan yang biasa di daerah ini. Tatkala kumandang adzan Isya digaungkan, para jemaah mendirikan sholatnya. Jalanan menjadi ramai. Kemudian sepi kembali.

Sudah cukup lama diberlakukan jam malam. Kemah-kemah militer di beberapa perempatan jalan berdiri dipapah oleh sak-sak pasir yang dibungkus dalam karung. Mereka menenteng senjata taktis siap tempur, lengkap dengan peralatan keamanannya. Jubah anti peluru dan helm loreng-loreng. Beberapa di antaranya ada yang menggenggam alat komunikasi berupa radio terbatas. Ada pula yang stand by di depan mobil humvee atau jeep militer.
 
Setiap kendaraan yang dianggap mencurigakan akan melewati beberapa spot pemeriksaan. Terutama mereka yang ingin menuju Pattani. Barikade-barikade militer dipasang sedemikian rupa agar memaksa pengendara memperlambat laju kendaraanya. Mereka akan mengecek secara sangat detail seluruh penumpang yang akan menggunakan jalanan publik tersebut.
 
Sawasdee, krub. Tolong kartu identitasnya Pak, ” pinta seorang junta militer.
 
Mereka memberikan masing-masing kartu identitas penduduknya.
 
“Pai nai krub?*”
 
“Pai Pattani krub**”
 
“Ada urusan apa Bapak ke Pattani malam-malam begini?” Ia memberi jeda, “Tolong anda sekalian keluar dulu dari dalam mobil.”
 
Mereka mengikuti tentara tersebut ke arah camp hijau yang paling terang. Tampaknya camp tersebut adalah base camp yang digunakan oleh para militer untuk membahas hal-hal taktis lainnya.
 
“Kalian Muslim?”
 
“Tidak, Pak. Kami Buddhist."
 
“Orang Krung Thep? Apa yang membawa kalian bertiga ke Pattani malam-malam begini dari Yala?”
 
“Seorang sahabat kami meninggal kemarin. Kami ingin menghadiri kremasi besok” jawab seseorang dari mereka.
 
“Siapa nama panggilanmu?”
 
“Toi, Pak. Ini Hen,”  menunjuk ke arah sahabatnya, “dan ini Bas. Dia hanya mengantar kami dengan mobil sewaan.”
 
Tentara tersebut menghela napas. Kemudian berpikir keras.
 
“Apa kalian tidak bisa menunggu hingga pagi?”
 
“Kami khawatir tidak akan keburu, Pak. Upacaranya jam 9.”
 
“Kemarin baru saja ada tiga tentara kami yang luka-luka di jalan ke arah Narathiwat. Kalian tentunya sudah mengerti resiko perjalanan malam ini kan?”
 
“Kami tidak punya pilihan lain, Pak.”

“Baiklah. Saya hanya bisa menyarankan untuk melanjutkan perjalanan di pagi hari saja. Tetapi kalau Anda sekalian ingin mengambil resiko tersebut,” tentara tersebut mengembalikan lagi kartu identitas mereka, “semoga nasib baik terus bersama kalian.”

Bas menelan ludah. Dia sudah tahu informasi ini sejak dulu. Tetapi tuntutan nafkah membuatnya tidak bisa mengambil keputusan apapun dalam tugas kali ini.
 
“Kondisi sedang tidak aman. Itu pilihan kalian,” junta tersebut mempersilahkan mereka kembali ke kendaraan. Mereka memberikan hormat dengan mendekapkan kedua telapak tangan di bawah dagu mereka.
 
Lampu rem berwarna merah menjauhi base camp. Mereka terpaksa melaju zig-zag karena terhalang oleh barikade yang berdiri di sepanjang ruas jalan. Semakin lama lampu tersebut semakin menjauh.
Junta tersebut memperhatikan dari kejauhan, kemudian menggenggam radio komunikasi tepat di depan mulutnya.
 
“Pers. Urus mereka.”
 
“Laksanakan, Komandan!” 

o o o

Keheningan merambat hingga ke hutan-hutan yang menjadi gelap. Cahaya rembulan tertahan oleh mendung awan. Gelap menjadi semakin pekat dibuatnya. Sebuah mobil melaju kencang di atas mulusnya aspal jalanan menuju Pattani. Bas mengemudi dengan penuh konsentrasi. Beberapa kali ia memainkan lampu jauhnya untuk memberi tanda pada setiap tikungan yang cukup tajam.
 
Sedangkan Toi dan Hen duduk sambil memperhatikan di sekelilingnya dengan penuh was-was. Sesekali Hen menggerutu. “Nggak akan lagi aku ke tempat ini untuk sebuah tugas konyol.”
 
Toi hanya terdiam sambil sesekali melihat sepion di sebelah kirinya.
 
“Ada yang mengikuti sepertinya,” ujar Bas gugup.
 
Suasana menjadi semakin menegangkan. Dua buah lampu kendaraan bermotor mengiringi mereka dari belakang. Beberapa kali mereka memainkan tombol on off lampunya. Perintah memelankan laju kendaraan. Kini mereka sudah menyalip dan memberhentikan mereka di pinggiran jalan. Empat orang di luar mobil dengan jaket kulit tebal menghampiri.
 
“Mau kemana kalian?”
 
“Pattani, Pak.”
 
“Identitas?”
 
Sesuai dengan perintah Bosnya, Toi mengeluarkan kartu pers-nya. “Ini,” katanya sembari memberi hormat dengan isyarat menundukan kepala.
 
Seseorang di antara mereka memperhatikan seksama identitas dalam kartu tersebut. “Baiklah, saya akan mengantarkan hingga ke depan. Ikuti jejak kendaraan kami.”
 
Ia memberi isyarat kepada ketiga rekannya yang lain untuk menaiki kendaraan mereka kembali. Kendaraan melaju tenang. Tiga pasang lampu rem berwarna merah menghilang dari kejauhan tertutup oleh bukit.
 
Sedangkan di balik semak-semak, ada tiga pasang mata lain yang mengintai.

_______
* Mau kemana?
** Ke Pattani

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut