“Ini bukan bahasa Arab, Nong kha. Ini bahasa melayu kuno yang ditulis menggunakan huruf Arab. Orang-orang menyebutnya tulisan Jawi”
Seorang wanita berjubah hitam panjang mencoba menjelaskan. Pad mengamati sepasang mata cokelat di antara celah cadarnya. Ini kali pertamanya ia berbicara langsung dengan seorang wanita bercadar. Biasanya ia hanya menyaksikan di berita-berita huru hara timur tengah tentang kasus-kasus makar terorisme.
Pad tersenyum ketika tampak matanya menyipit ramah.
“Apa yang tertulis di lembaran itu?”
Wanita bercadar itu mencoba mengamati dengan lebih seksama. Bukan karena ia lupa cara mengucapkannya. Bukan. Ia hanya ingin memastikan apa yang ia baca adalah benar.
“Ada urusan apa ke tempat ini, Nong?”
Pad tampak kikuk. Ia harus memberikan alasan, sedang ia bahkan tidak tahu tempat apa yang harus ia kunjungi tersebut. “Saya hendak berekreasi,” jawabnya setengah tidak percaya diri.
Wanita tersebut menatapnya dengan penuh keheranan. Lantas ia memanggil suaminya yang sedang sibuk membersihkan kabin mobil di samping warung. Ia bercakap-cakap dalam suara yang direndahkan. Sesekali mereka menatap Pad yang berdiri menunggu. Lelaki paruh baya tersebut kemudian berjalan menghampiri.
“Ada yang bisa saya bantu, Nong?”
“Saya, umm...”
“Lebih baik Nong pulang saja. Tempat itu bukan untuk berekreasi.”
“Saya ada urusan disana, Pak. Ada seseorang yang harus saya temui.”
Ia bertanya, siapa. Pad semakin cemas. Ia tidak mengerti apa lagi yang harus ia katakan. Posisinya semakin tidak nyaman, apalagi lelaki tersebut menunggu jawaban dari Pad. Segera.
“Seorang peminta-minta memberikan kepada saya lembaran kertas tersebut,” Pad terpaksa berkata jujur, “saya pikir, tentu tulisan tersebut sangat lah penting. Karena setelah itu ia menghilang entah kemana. Ada sesuatu yang ingin saya berikan.”
“Tadi kamu bilang ingin berekreasi. Apakah Nong menyembunyikan sesuatu?” lelaki tersebut bertanya curiga.
“Tidak, Pak. Itu saja.”
Lelaki tersebut memanggil kembali istrinya. Kemudian berdiskusi sesuatu. Pad merasa terganggung dengan pemandangan di hadapannya. Tetapi, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia menunggu.
“Tidak jauh dari sini, ada sebuah Masjid. Namanya Nurul Muttaqien. Masuklah ke sebelah kanan gang. Lurus. Hingga Nong menemukan sebuah pagar bangunan tinggi berwarna biru muda. Nong belok ke kiri. Lurus hingga menemukan sebuah sekolah asrama. Namanya Pondok Sholihin Az Zikrullah,” lelaki tersebut menjelaskan sambil memastikan bahwa lawan bicaranya paham.
Pad mencoba mengingat-ingat sambil menunjuk arah dan melafazkan kembali apa yang diucapkan oleh laki-laki di depannya. “Pondok apa tadi pak namanya?” Pad mencatat dalam note iPhone-nya.
“Sholihin Az Zikrullah.”
Bunyi tuts mengiringi ketukan jemari Pad.
o o o
Faishal mengamati Kolonel di depannya yang sedang menikmati kunyahan demi kunyahan makan malamnya. Ia tidak merasa terusik oleh pertanyaan mahasiswa yang ada di hadapannya tersebut.
“Ya, demikian lah, Dek,” ia menjawab singkat kemudian membersihkan sisa makanan di pinggir kumis hitamnya dengan menggunakan setangan putih di samping piring.
“Kasus pembajakan kapal sudah banyak terjadi sebenarnya di perairan Indonesia. Hanya saja tidak banyak media yang mengekspos. Baru kali-kali ini, karena pembajaknya sudah kelewatan hingga membunuh tiga oknum polisi laut kita.”
“Mayatnya?”
“Jelas tidak ditemukan. Mungkin sudah dicincang dan dijadikan pakan ikan. Atau mungkin ditenggelamkan ke dasar laut setelah diikat menggunakan jangkar.”
“Sekejam itu kah, Pak?”
“Dunia kelautan itu kejam, Dek. Ibaratnya kita melintasi dimensi lain. Kita tidak pernah tahu kapan bahaya menghadang. Bisa jadi bahaya itu dari alam. Atau pun dari manusia seperti yang kita dengar di berita-berita saat ini.”
“Dan itu kebiasaan pelaut Thailand,” lanjutnya sebelum mengunyah kembali potongan sosis lembut yang terhidang di piringnya. Faishal menatap heran terhadap apa yang didengarnya. Militer Indonesia di hadapannya ini menceritakan hal ini seperti biasa saja.
“Kenapa hal ini terus terjadi, Pak? Bukankah kita sudah sepakat berdamai sejak dulu?”
“Ini bukan perkara antara negara lagi, Dek. Meskipun, saya sangat yakin bahwa pemerintah kerajaan Thailand tahu, bahkan sangat melindungi nelayan-nelayannya. Dari mana lagi sumber tuna mereka selain dari perairan Indonesia?”
“Licik,” lirih Faishal hampir tak bersuara.
Tawa lepas mengguncang kumis Kolonel Mahdi. Ia kemudian membasahi tenggorokkannya dengan seteguk air putih. Kemudian melipat telapak tangannya ke arah mukanya.
“Perdamaian itu cuma omong kosong politik, Dek. Di balik kata perdamaian, militer-militer sedang menyiapkan strategi-strategi penaklukannya. Militer itu diciptakan bukan untuk gagah-gagahan. Kami diciptakan untuk berperang. Pertanyaannya adalah, kapan perang ini akan dimulai lagi?” Ia menggenggam telapak tangannya.
Faishal tersenyum kecut. Kemudian menggelengkan kepalanya. Ketertarikannya kepada dunia militer selalu berhasil dipancing oleh kolonel Mahdi.
“Bagaimana buku yang saya berikan kemarin? Sudah dibaca semua?”
“Sudah, pak. Saya bawa di dalam tas. Bukunya menarik sekali. Saya tidak menyangka-nyangka, apa yang sebenarnya terjadi di Asia ini, Pak.”
“Hahaha. Begitulah,” ia menuangkan sesendok gula ke dalam teh hangatnya, “Oh ya, kemarin militer Thailand meminta kepada saya untuk mencarikan seseorang yang mau mengajarkan bahasa dan kebudayaan Indonesia. Bisa tolong bantu saya carikan?”
“Saya saja, Pak,” Faishal tidak mau kehilangan kesempatan.
“Hahaha. Yakin kamu bisa?”
“Memang ada yang salah, Pak? Atau mereka butuh seorang budayawan asli?”
Kolonel Mahdi menyeruput tehnya, sementara Faishal mengamati uap tipis yang keluar dari cangkirnya. “Tidak. Mereka hanya ingin tahu saja tentang Indonesia. Baiklah, kalau kamu bersedia. Tapi tolong, jangan kecewakan saya. Kamu membawa nama baik saya.”
“Baik, Pak!”
Ada sesuatu di pikiran Faishal yang pastinya tidak luput dari mata Kolonel Mahdi.
o o o
Pad berjalan menelusuri gang sempit dengan sepeda motornya, persis seperti apa yang dijelaskan oleh laki-laki yang ditemuinya tadi. Jalanan tersebut tak diaspal dan lembab. Beberapa sampah berserakan memberikan kesan kumuh. Padahal letaknya tepat di samping Masjid Nurul Muttaqien. Masjid tersebut berdiri gagah menjulang langit. Kontras sekali dengan pemandangan Ayuthaya yang dipenuhi oleh candi-candi Budha.
Pad memperhatikan sebuah papan kayu bercat hijau dengan dua tulisan, Jawi dan Thailand. Dia mengeja dalam bahasa Thailand dan mencocokan kesamaan dengan tulisan Jawi tersebut. Sholihin Az Zikrullah.
Pintu gerbangnya terbuat dari kayu. Halamannya tidak begitu luas. Sebuah bangunan tua berdiri di tengah-tengahnya. Namun tampak masih cukup terawat. Seorang wanita berjilbab sambil menggendong anaknya di punggung sedang menyapu halaman depan. Ia menyadari kehadiran Pad.
“Ada yang bisa saya bantu, Nong?”
“Eh, Iya, saya Pad. Apakah saya bisa bertemu dengan pimpinan sekolah ini?”
“Ada urusan apa ya?”
“Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan.”
“Bapak sedang tidak di Pondok. Kemungkinan ia akan datang pada sore hari selepas sholat.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya datang lagi nanti.”
“Tidak masuk aja, Nong?”
“Ah, tidak usah, nanti saya merepotkan.”
Bayi yang digendong oleh wanita tersebut tiba-tiba menangis. Mungkin tidurnya terganggu oleh percakapan singkat di antara mereka. Wanita tersebut kemudian mengayun-ayunkan bayi yang di dalam rangkulannya. Agar dia terlelap kembali.
“Mari, Nong. Pasti Nong dari jauh.”
“Apakah tidak apa-apa? Saya orang asing kan.”
Wanita tersebut hanya tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam. Pad mengikutinya dari belakang dengan perasaan yang tidak biasa.|
0 komentar:
Posting Komentar