Tersenyum. Membuat Zabeela lebih anggun dari bidadari. Matanya yang bulat memancarkan kemilau permata. Dan garis wajahnya melukiskan keindahan nirwana. Sebilah cahaya menerpa satu sisi wajahnya. Pipinya yang merona itu berbekas tipis, dibasahi oleh bulir-bulir air mata. Bisa dibayangkan, bagaimana dia melewati sepertiga malamnya. Sunyi senyap menemani setiap renungannya menjelang fajar.
Rok panjangnya terurai menutupi telapak kaki. Ia berjalan menyeret ujung roknya menuju serambi depan lantai dua rumahnya. Untuk kesekian kalinya ia terpaku memandangi bintang kejora yang bertengger di ufuk. Dirinya sendiri memandang, phophorus mengalihkan kegundahan hatinya. Sang venus, bidadari kecantikan yang dipuja bangsa yunani.
Semilir angin masuk perlahan dalam sukmanya. Perlahan ia memejamkan mata. Membenamkan cerita hidupnya pada warna-warni dunia yang akan dimulai pagi itu. Ia menghela napas dalam-dalam. Membasuhi pikirannya dalam dingin udara. Sebuah perasaan terdalam yang hanya ia seorang diri yang tahu.
Berderai-derai dedaunan pohon. Mereka yang dibasahi oleh embun pagi. Seakan mengkuti apa yang Zabeela lakukan. Sambil tersenyum. Senyum yang membuat para malaikat tak berhenti berzikir mengesakan Tuhan yang menciptakannnya.
"Andai engkau tahu, Mar."
Ia menyadari kehadiran seorang wanita di sebelahnya.
"Aku selalu mendambakan kedamaian seperti ini terjadi setiap saat," ucapnya dengan mata yang masih terpejam. Kemudian ia memalingkan wajahnya ke hadapan Mar.
Ternyata ia tengah melihat kedamaian yang sama.
"Bilamana, Bee?"
"Mungkin suatu saat nanti. Saat semua ini berakhir di tanah airku."
"Pastikan aku tidak absen untuk menemanimu di sini," tatapannya masih terpaku pada planet murni itu. Zabeela menatap sahabatnya lekat-lekat dengan penuh kasih sayang. Ia mencintai sahabatnya, seperti matahari yang menghangatkan bumi.
Zabeela bersender membelakangi pagar pembatas teras. Ia membenarkan letak ujung jilbab merah mudanya. "Engkau jadi akan bertemu hari ini?"
Mar menganggukkan kepalanya. "Kudengar mereka tengah menuju kemari."
"Mar, jangan pernah berpikir aku tak mempercayaimu. Aku hanya sedikit penasaran, pikiranku terusik, apa sebenarnya yang sedang kamu lakukan?"
"Membuka hati manusia, Bee."
"Dari?"
"Tidak ada tempat untuk sebuah keadilan. Kamu mestinya sudah tahu itu. Keadilan ada di setiap hati manusia yang tidak mencampurkan urusan pribadinya dengan hak orang lain."
"Engkau akan menyusul atau menunggu di sini?"
Mar menggelengkan kepalanya, "kita lihat nanti" ucapnya lirih. Tatapannya lurus ke depan.
"Semoga Allah membesertai kita, Mar."
"Tuhan sedang tidur. Ia seharusnya tak akan membiarkan semua pembantaian ini terjadi." Zabeela memperhatikan semilir angin yang membelai rambut Mar.
"Tidak, Mar. Tuhan tidak tidur. Pertolongan-Nya semakin dekat."
o o o
Mobil merah itu terparkir di halaman samping rumahnya. Lima orang duduk di ruang tamu. Termasuk Zabeela yang sedari tadi hanya memperhatikan tiga orang di sekitarnya terlibat dalam pembicaraan serius.
"Tidak. Sudah tidak ada waktu lagi, Mar. Kita harus menyusulnya segera."
"Jangan gegabah. Ini bukan Krung Thep," akhirnya Bee angkat bicara setelah sekian lama membisu.
"Apa kalian tidak bisa bersabar lagi?" lanjutnya.
"Saya tahu taruhannya sangat berbahaya, untuk itulah bahan berita ini sangat istimewa. Iya, kan Hen?" Toi menoleh ke arah rekannya. Hen tengah berpikir keras, menimbang-nimbang keputusan apa yang harus mereka ambil saat ini. Tiba-tiba suara telepon terdengar.
Halo? // Kalian sudah tiba? // Sudah, Pak. Kami sedang berdiskusi. // Berangkatlah malam ini juga // Harus malam ini juga, Pak? // Ya, malam ini. Atau tidak untuk selamanya. // Baik, Pak. // Bagus. Jangan membawa wanita.
Telepon ditutup, Toi memperhatikan Mar yang bangkit dari kursinya. "Pergilah." Nampaknya dia mendengarkan apa yang disampaikan oleh atasannya. "Bagaimana?" tanya Hen kepada Bas. Ia hanya meraba pelipisnya. Ada keraguan yang muncul di dalam benaknya.
"Siapa yang menjamin keselamatan kami?"
"Ingat. Berikan kartu pers itu kepada orang-orang selain milliter," jawab Mar setengah dingin.
0 komentar:
Posting Komentar