Mahesa #11 Jendela



Sejak pagi kendaraan yang ditumpangi oleh kedua wartawan surat kabar lokal tersebut terparkir di salah satu kedai kopi di pinggir jalan. Dedaunan tampak berguguran tersapu oleh angin pagi. Tempat ini jelas lebih hijau dibandingkan Krung Thep. Udaranya lebih segar. Meskipun rasa panasnya tidak jauh lebih baik.

Bas menyeruput kopi hitam yang mengepulkan asap. Tampak matanya merah menahan kantuk karena semalaman berkendara. Begitu pula Toi dan Hen yang bergantian menguap. Mereka tidak bisa memejamkan matanya sama sekali sejak laju kendaraannya menerobos memasuki hutan. Diiring-iringi oleh dua orang pengendara motor yang akhirnya mengantarkan mereka hingga ke sebuah pondok tua.

Seorang ibu-ibu setengah baya menghampiri dan membawa roti sandwich dan telur rebus pesanan mereka. Ia mengenakan sebuah jilbab hijau tua dengan beberapa helai rambut yang muncul dibalik celah dahinya. “Silahkan,” serunya dengan logat Thai melayu yang mengganggu pendengaran Hen.
 
Toi mulai mengambil sepotong sandwich ayam di atas piring. Sedang Hen masih memperhatikan pelayan paruh baya menuju ruang belakang. Tempat ini memang tidak terlalu buruk untuk disebut kedai kopi pinggir jalan. Beberapa ornamen Islam terpajang rapi di dinding-dinding. Berbeda dengan kedai kopi atau restoran di Krung Thep. Pada umumnya mereka akan menghiasi dengan berbagai macam foto Raja dan Sammi atau pendeta Budha.
 
“Aku hampir tidak percaya, bagaimana mungkin mereka memasang ranjau di berbagai titik jalan.”
 
“Ranjau itu hanya mereka aktifkan pada malam hari. Paginya mereka lumpuhkan sementara,” jawab Bas sambil menatap buih ampas kopi di pinggir cangkirnya.
 
Hen memperhatikan Bas, kemudian dia mengambil selembar kertas dari dalam saku bajunya. Kertas tersebut diperoleh dari Ahmad, salah seorang yang mengiri kendaraan mereka semalam. “Serahasia itu kah informasi ini?” dia mengamati tulisan tersebut yang ditulis dalam bahasa Jawi.
 
“Sepertinya, tidak akan mudah menemukan mereka,” Toi berhenti mengunyah, “penerapan Martial Law memaksa mereka untuk berhati-hati kepada siapa pun. Mereka harus merahasiakan identitasnya. Aku sejak awal sudah menaruh curiga, jangan-jangan Ali itu sebenarnya adalah pemberontak yang melarikan diri ke Krung Thep.”
 
“Aku juga demikian. Tugas ini terlalu tendensius.” Bas hanya memperhatikan isi pembicaraan mereka berdua sebagai orang asing yang tidak mengerti apapun.
 
“Ya, kita tidak punya pilihan lain,” jawab Toi. Ia melanjutkan kembali sarapannya yang sempat terhenti.
 
“Yang jelas kita tidak mengerti isi tulisan ini,” Hen menatap lekat pada secarik kertas di tangannya, ”dan tidak mungkin kita menanyakan isi pesan ini ke sembarang orang pattani.” Ada ketakutan di kalimat terakhirnya. Bisa jadi pesan tersebut adalah pesan yang berujung maut.
 
“Engkau ada ide, Bas?” Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Toi menghela napasnya dalam-dalam. Ada banyak sekali spekulasi yang menari-nari di dalam pikirannya.
 
Ia menoleh ke jendela luar, ada sebuah mobil jeep militer tanpa pengendara terparkir di pinggir jalan.

“Sejak kapan mobil itu di sana?” tanya Toi. Ia seakan baru menyadari kehadiran jeep tersebut. Sebab ia dan Bas duduk membelakangi jendela yang dilapisi kaca one way. “Sudah ada sebelum kita ke sini,” jawab Hen yang sejak awal memperhatikan kondisi sekelilingnya. Tampak jeep tersebut basah oleh embun pagi.
 
“Aneh,” Toi berlirih pelan. Ia memperhatikan lebih seksama lagi. Namun memang tidak ada siapa-siapa di mobil tersebut.
 
“Jam berapa kita akan sampai ke pondok tersebut?”

Bas mulai menghitung-hitung dalam benaknya. “Mungkin satu setengah jam dari sini.”
 
“Selesaikan sarapan kalian secepatnya,” perintah Toi. Bas mulai melahap potongan sandwich-nya. Perutnya tidak boleh dibiarkan kosong selama perjalanan. Kopi tidak cukup membuatnya kenyang. Hen menyudahi sarapannya dengan potongan telur terakhir dan segelas air mineral. Ia bergegas ke belakang.
 
Toi menunggu sambil membuka iPad-nya. Mencari-cari berita terbaru untuk menyegarkan pengetahuan terkini-nya. Beberapa saat kemudian, suara air flush diikuti oleh suara pintu terbuka. Hen kembali. “Toi, Toi,” suaranya berbisik. “Lihat ke jendela,” ia menunduk sambil memberikan aba-aba kepada dua orang rekannya.
 
Sebuah mobil merah menghampiri jeep militer tersebut. Ada empat orang keluar dari mobil. Tidak lama kemudian mereka membopong dua karung goni secara berpasang-pasangan dari balik jeep tersebut. Dua-duanya dimasukkan ke dalam mobil merah.
 
Mereka tampak mengintai sekelilingnya. Memastikan tidak ada seorang pun yang menyaksikan aksi mereka. Toi melihat ke atas langit-langit. Beruntung, lampu kedai tidak dinyalakan. Mereka bertiga mengamati sambil menunduk. Berharap tidak ketahuan. Mobil tersebut tidak lama kemudian melaju kencang meninggalkan TKP.
 
“Sedang melihat apa kalian?”
Tiga orang tentara muncul dari belakang. Tentu mengagetkan mereka bertiga yang tampak seperti penguntit. Ada perasaan lega mengalir di dalam dada mereka. Toi mengatur napasnya.
 
“Kami melihat kejadian mencurigakan di sana, Pak,” jawab Toi. Kegugupan masih belum hilang dari getar suaranya. Mereka pun berdiri berhadapan.
Askar atau tentara tersebut mencari-cari kejadian mencurigakan tersebut dari luar jendela. “Apa yang kalian lihat?”
 
“Empat orang membopong dua karung berisi mayat,” jawab Hen yang tidak kalah gugup.
 
“Kalian yakin?” tanya salah seorang Askar memastikan. “Yakin, Pak. Kami bertiga melihatnya.”
 
Ketiga Askar tersebut berjalan keluar. Diikuti oleh mereka bertiga. Rasa penasaran mereka mengalahkan ketakutannya. Hen tidak lupa membawa kameranya, antisipasi ada sesuatu yang bisa diabadikannya lewat lensa.
 
“Tidak ada berkas darah disini! Dimana kalian melihat mayat tersebut?”
 
“Di balik mobil jeep ini, Pak,” jawab Toi sambil menunjuk dengan jarinya. Tampak Askar tersebut memeriksa keadaan sekelilingnya. Seperti tidak ada bekas apapun kecuali bau mesin diesel yang bisa saja datang dari kendaraan mana pun yang lewat.
 
“Tidak ada apa-apa disini,” kata salah seorang Askar.
 
“Mereka sudah membawanya pergi. Sepertinya operasi mereka bersih dan teliti sekali, tanpa meninggalkan jejak apapun,” jawab Toi.
 
“Baiklah, kalau demikian, tolong beri keterangan ke posko militer kami terdekat. Jawab Askar tersebut.”
 
“Kami ada urusan lain yang mendesak pagi ini, Pak.”
 
“Kami pun sedang menjalankan tugas negara,” tatapan ketiga Askar tersebut seakan mencurigai mereka bertiga."Informasi kalian sebagai saksi sangat kami butuhkan di markas," lanjutnya.
 
“Boleh saya melihat identitas kalian?”
 
Lagi-lagi, pikir Toi dalam hati. Mereka pun memberikan kartu tanda penduduk mereka untuk di periksa. “Satu orang Yala, dua orang Krung Thep.”
 
“Kalian Muslim?”
 
“Kami semua Buddhist, pak.”
 
“Baik, mari ikut saya,” perintah seorang Askar. “Dua orang ikut saya dengan jeep. Satu orang lainnya, bisa menggunakan kendaraan kalian sendiri,” ia melanjutkan sambil masuk ke dalam jeep.
 
Toi memberikan uang kepada Bas untuk membayar sarapan mereka tadi. Ia juga meminta Bas untuk mengambil barang-barang mereka yang tertinggal di kedai.
 
Toi dan Hen masuk ke dalam Mobil bersama dua orang Askar. Seorang Askar lainnya menumpang ke mobil sewaan bersama Bas. Kendaraan melaju ke arah timur. Sedang mentari sudah mulai sumringah di atas langit, seakan ingin menceritakan kepada semua penduduk Pattani arti kedamaian sesungguhnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut