Di dalam sebuah masjid ini aku bersila, mencoba menerka-nerka maksud Tuhan. Berkali-kali bersujud. Memohon terampunkannya dosa-dosa yang tidak pernah luput. Berbekas. Aku takut Tuhan mulai bosan dengan ketidakkonsitenan ini. Meminta ampun, kemudian bernoda lagi. Dan lagi.
Duduk bersila di barisan tengah saf. Menunggu subuh ditegakkan. Tak seperti masjid pada umumnya, kami ini minoritas, menunggu jemaah penuh baru iqomah mulai dikumandangkan. Terlihat dua orang anak membuka pintu dengan wajah yang penuh dengan jejak-jejak bunga mimpi. Mereka bangun dalam setengah kesadaran.
Dua orang anak yang tidak ingin kusebutkan namanya. Karena ingin sekali aku mengagumi sosok bapaknya dalam diam. Tidak ada lagi suara cilik yang terdengar. Pemaklumanku bagi kelompok minoritas yang dibelenggu oleh konsep diktator siamisasi. Tentunya pemakluman ini salah dan tidak bisa dibenarkan dalam tataran konsep keimanan.
"Laailla hai'lalllaah" Kami pun berdiri. Kuperhatikan seorang bapak, yang kukagumi dalam diam, dipersilahkan maju. Ia tidak pernah menolak. Tetapi tidak segarispun wajahnya menggambarkan kepongkahan. Ia, bapak yang kukagumi dalam diam, membacakan ayat-ayat Tuhan yang entah apa artinya. Nasehat demi nasehat terucap dalam-dalam, sesekali ia melirihkan suaranya. Sesekali ia meninggikan. Terasa betul getarannya, hingga beberapa rambut ini tak henti berdiri.
Suara kegelisahan manusia mulai terdengar dari ujung ke ujung. Membuatku merasakan arti penghambaan lebih jauh. Mereka tidak jarang membasahi lantai-lantai mereka yang sejuk dengan air mata ketakutan. Kecintaan. Dan kepasrahan kepada Sang Cinta. Zat yang aku sendiri tidak tahu kenapa begitu kuat kasih sayang-Nya.
Dalam suasana seperti ini, mulai terbayangkan semua fitnah-fitnah akhir zaman yang menyakitkan. Kerinduan kami kepada sosok Nabi. Wahai bapak yang aku kagumi dalam diam, cukuplah engkau lantunkan suara merdumu itu. Tak kuasa lagi aku menahan bendungan lara ini. Rasa-rasanya lutut ini tak mampu lagi dijadikan tumpuan. Ingin sekali aku rebahkan tubuhku kebelakang.
Salam terucap. Tidak sedikit hamba-hamba Pencipta ini menghapus bekas aliran air matanya. Dengan penuh ketakutan, mereka menengadahkan tangannya. Mencium doa-doanya dalam kepasrahan. Aku hanya bisa mengambil napas dalam-dalam. Subuh telah mengambil malam, siang mulai jumawa dalam urusannya.
Ia, bapak yang kukagumi dalam diam, menjabat tanganku, hanya sekedar menanyakan kabar. Aku hanya bisa menjawab pertanyaan lembutnya dengan syukur. Kemudian memperhatikan bagaimana ia mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang tanpa mengurangi ketegasannya. Berapa banyak orang tua muslim di dunia ini yang memoles harta bendanya berupa anak dengan keimanan? Aku hanya tersenyum dalam diam.
Bagiku, biarlah seperti ini saja, kami memang kadang berbeda dalam beberapa pemikiran. Sikap bijaksana menjadikan manusia belajar menghargai perbedaan. Ia, bapak yang kukagumi dalam diam, biarlah seperti ini saja. Tidak perlu engkau mengetahui bahwa aku mengagumimu. Cukup kucontoh semua ahlakmu yang tentu Allah perlihatkan kepadaku. Sesungguhnya, hanya Allah yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia hamba-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar