“Tidak lah monyet menjadi manusia, apalagi manusia menjadi monyet.” Tatapannya tajam menghantam Faishal. Teori evolusi yang menjadi pijakan segala argumennya tiba-tiba ditolak mentah-mentah oleh pemuda yang belum pernah ia temui sebelumnya. Apalagi, sejak dulu ia memberikan kuliah umum, baru kali ini rasanya ia disanggah tegas.
Jujur saja, dia bukanlah seorang arkeologi. Ia hanya merangkum teori-teori untuk menguatkan fakta perubahan kebudayaan yang dia miliki. Bahwa kebudayaan itu muncul dari proses yang sangat lama. Namun, mungkin ia lupa, teori tidak selamanya diterima oleh orang banyak. Terlebih lagi teori yang bersinggungan langsung dengan kepercayaan. Itu pun kalau dia berkepercayaan.
Raut wajahnya yang datar kini menjadi sedikit lebih tegang. Diiringi oleh seorang penerjemah yang setia menjelaskan ke dalam bahasa yang ia kuasai.
“Tetapi, manusia purba itu memang sudah ada sejak Jaman dulu,” lanjutnya, “banyak bukti berupa kerangka tubuh dan artefak yang mereka gunakan untuk kegiatan sehari-harinya. Banyak pula jurnal yang melaporkan penelitian-penelitian tersebut.”
Professor membenarkan posisi duduknya yang mulai tidak nyaman. Mahasiswa seperti biasa hening tanpa suara. Sesekali terdengar suara pintu di belakang yang terbuka. Kemudian tertutup.
“Manusia purba yang Anda maksudkan itu berkali-kali terbukti pemalsuannya. Tempurung monyet, rahang manusia. Tidak lah heran jika banyak artikel ilmiah mengatakan bahwa rangkaian tengkorak tersebut tidak pas. Karena memang dibuat-buat.”
“Tetapi, banyak juga artikel ilmiah yang mengatakan teori tersebut masih relevan”
“Masih relevan atau memang tidak mau menerima kebenaran teori bahwa semua spesimen berasal dari moyang spesimen masing-masing?”
“Ya, kalau memang demikian yang Anda percayai. Saya tidak memaksakan” argumen ini seperti menjadi kata pemungkas dalam debat kusir.
“Saya ingin sekali mendengar pendapat profesor tentang perubahan DNA dari seekor monyet menjadi homo sapiens saat ini,” pintanya.
Seorang penerjemah dengan sigap menerjemahkan pertanyaan tersebut. Sang profesor kemudian meraih pengeras suaranya, setelah beberapa saat diam memikirkan jawaban. “Ini sangat kompleks dan masih menjadi isu utama di tengah peneliti. Tetapi evolusi itu memang benar adanya.”
“Tolong jangan campur adukan antara kepercayaan bapak yang tidak memiliki bukti kuat dengan keilmiahan ilmu. Karenanya, mohon professor berhati-hati dalam menggunakan teori yang sebenarnya sangat lemah. Teori ini sudah terbantahkan sejak dulu, sejak saya duduk di bangku SMP, bahkan jauh sebelum itu.” Faishal teringat kembali memori perdebatannya dengan seorang guru sejarah kala itu.
Si kecil Faishal tidak bisa menerima dirinya disamakan dengan monyet. Kini dengan pertanyaan yang sama dia tanyakan lagi kepada guru di depannya, “Apakah bapak mau dikatakan keturunan seekor monyet? Jujur saja, saya akan menolaknya, apalagi teori ini tidak ada logika.” Sontak saja auditorium riuh, ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik.
Faishal menatap ekspresi Professor tanpa mengurangi rasa hormatnya. Tampak ia berpikir tanpa membalas tatapan Faishal. Dialihkannya pandangan kepada penerjemah. Ia hanya tersenyum seraya mengangkat bahu. Tanda tak ada lagi yang harus ia interpretasikan.
Terdengar suara getaran gadget milik Faishal.
Professor membenarkan posisi duduknya yang mulai tidak nyaman. Mahasiswa seperti biasa hening tanpa suara. Sesekali terdengar suara pintu di belakang yang terbuka. Kemudian tertutup.
“Manusia purba yang Anda maksudkan itu berkali-kali terbukti pemalsuannya. Tempurung monyet, rahang manusia. Tidak lah heran jika banyak artikel ilmiah mengatakan bahwa rangkaian tengkorak tersebut tidak pas. Karena memang dibuat-buat.”
“Tetapi, banyak juga artikel ilmiah yang mengatakan teori tersebut masih relevan”
“Masih relevan atau memang tidak mau menerima kebenaran teori bahwa semua spesimen berasal dari moyang spesimen masing-masing?”
“Ya, kalau memang demikian yang Anda percayai. Saya tidak memaksakan” argumen ini seperti menjadi kata pemungkas dalam debat kusir.
“Saya ingin sekali mendengar pendapat profesor tentang perubahan DNA dari seekor monyet menjadi homo sapiens saat ini,” pintanya.
Seorang penerjemah dengan sigap menerjemahkan pertanyaan tersebut. Sang profesor kemudian meraih pengeras suaranya, setelah beberapa saat diam memikirkan jawaban. “Ini sangat kompleks dan masih menjadi isu utama di tengah peneliti. Tetapi evolusi itu memang benar adanya.”
“Tolong jangan campur adukan antara kepercayaan bapak yang tidak memiliki bukti kuat dengan keilmiahan ilmu. Karenanya, mohon professor berhati-hati dalam menggunakan teori yang sebenarnya sangat lemah. Teori ini sudah terbantahkan sejak dulu, sejak saya duduk di bangku SMP, bahkan jauh sebelum itu.” Faishal teringat kembali memori perdebatannya dengan seorang guru sejarah kala itu.
Si kecil Faishal tidak bisa menerima dirinya disamakan dengan monyet. Kini dengan pertanyaan yang sama dia tanyakan lagi kepada guru di depannya, “Apakah bapak mau dikatakan keturunan seekor monyet? Jujur saja, saya akan menolaknya, apalagi teori ini tidak ada logika.” Sontak saja auditorium riuh, ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik.
Faishal menatap ekspresi Professor tanpa mengurangi rasa hormatnya. Tampak ia berpikir tanpa membalas tatapan Faishal. Dialihkannya pandangan kepada penerjemah. Ia hanya tersenyum seraya mengangkat bahu. Tanda tak ada lagi yang harus ia interpretasikan.
Terdengar suara getaran gadget milik Faishal.
Sudah lah, Shal.
Pegiat teori Darwin itu sudah dibutakan mata hatinya
Mereka akan terus dalam kesesatannya
Sekeras apapun kamu membantahnya
Biarkan Tuhan yang menunjukkan caranya
0 komentar:
Posting Komentar