Pernah suatu saat, saya bertemu dengan salah seorang mahasiswa. Lebih tepatnya mahasiswa berprestasi Indonesia. Kami sempat berdiskusi singkat tentang kebudayaan negara-negara maju. Melalui pengulangan opininya beliau begitu yakin, “Mental Inlander –terjajah– menjadikan Indonesia tidak maju, tidak mau, dan tidak mampu bersaing dengan negara lainnya. Indonesia belum selesai dengan dirinya sendiri.” Saya yang tidak memiliki wawasan seluas beliau, tentu akan mengamini apa yang diutarakannya. Bahwa, Indonesia tak akan maju karena bermental inlander.
Namun, semakin saya sadari, mental inlander semacam apa? Lihatlah China, negara terjajah Jepang. Atau Israel yang lebih parah dari sebuah penjajahan: terasingkan. Masih bisakah kita sandingkan mereka ini sebagai negara ketiga –berkembang? Tentunya saya tidak akan menyinggung negara Malaysia, Australia, atau negara persemakmuran lainnya, itu beda cerita. Tetapi, kita bisa belajar dari negara komunis-sosialis China, atau negara zionis Israel, mereka mampu “berlari mengejar angin”.
Tidak ada yang salah dengan sejarah. Justru sejarah tercipta sebagai pelajaran masa lalu untuk berbenah diri. Kalau memang sejarah hanya digunakan sebagai sarana mengingat masa kelam. Saya sarankan, hilangkan saja pelajaran-pelajaran sejarah itu. Kita telah terlena oleh arti ungkapan “bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat sejarah besar bangsanya sendiri.” Saya, yakin, arti kata mengingat disitu tidak secara harfiah berarti ingat, tetapi pelajari.
Semua orang Indonesia tentunya tahu, 68 tahun sudah kita merdeka. Dan hampir semua orang sepakat, kita tidak merdeka sepenuhnya. Tetapi, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya untuk kita amati. Enam puluh delapan tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk memotong jalur-jalur inlander. Generasi-generasi terjajah dulu, saat ini tak sebanding dengan generasi merdeka. Lalu kenapa kita masih dikatakan inlander, sedangkan pemikiran kita sudah jauh lebih maju. Apakah ini yang dinamakan dengan neo-colonialism? Menurut saya, istilah ini hanya omong kosong.
Saya percaya konspirasi. Tapi, saya lebih yakin, ada hal yang lebih besar dari konspirasi, ialah justification –pembenaran. Kita telah larut dalam pembenaran-pembenaran konspirasi, tanpa banyak melakukan perbaikan yang berarti. Hal inilah yang membuat kita minder. Saya tak sampai hati lagi kalau menggunakan kata inlander. Kita sudah merdeka, tak layak lagi jika kita disebut penduduk terjajah. Apakah harga dari sebuah kemerdekaan begitu mudah dirusak oleh sebuah kata: inlander? Saya menentang pernyataan ini.
Kalau memang minder itu disebabkan oleh mental inlander. Atau kemajuan suatu bangsa disebabkan oleh terjajah atau tidak terjajahnya suatu bangsa. Coba tengok negara-negara tidak terjajah lain, Thailand misalnya, apakah mereka sudah pantas disebut negara maju? Tidak. Bahkan kaum intelektual mereka pun membantah hal itu. Apakah ada korelasi antara majunya suatu bangsa dan inlander? Anda yang berhak memutuskan sendiri.
Kita terlalu banyak alasan. Ini dan itu. Pembenaran ini dan itu. Padahal bukan itu yang dikehendaki para pendahulu kita. Ingatlah, mengisi kemerdekaan itu jauh lebih susah dari meraih kemerdekaan. Jangan karena negara kita belum maju-maju, lantas kita mengatakan bahwa kita belum merdeka. No! Kita sudah merdeka, hanya saja, kita masih bingung tentang bagaimana cara mengisi kemerdekaan kita.
Belajar dari China, lebih baik dari pada belajar dari Amerika. Karena, kita punya latar belakang sejarah yang sama dulunya. Dan juga, kita memiliki kebudayaan yang kental, tak sama dengan Amerika. Ini bukan berarti saya pro China atau kontra Amerika. Negara kita terlalu banyak alasan. "Amerika sudah merdeka lama, lah kita?" Ini salah satu alasan yang menurut saya omong kosong belaka. Bagaimana dengan negara baru merdeka lain tetapi sudah maju?
Jangan terlalu banyak beralasan. Pembenaran lah yang sebenarnya ‘menjajah’ kita. Semua orang tahu caranya mengeluh, tetapi tidak semua orang tahu caranya menyelesaikan masalah.
oke sip...jangan ngeluh
BalasHapuscharacter is destiny or the darker the skin the less developed ?
BalasHapusSuper bung!
BalasHapusPernah Almarhum Presiden Soeharto mengundang pakar masa depan Alvin Toffler ke Indonesia,Untuk memberikan Ceramahnya. Setelah selesai acara pada penutupannya Pakar Amerika ini Bertanya. kepada para peserta," Apakah Indonesia sudah siap menyambut Era Globalisasi" ? Banyak para pejabat,pemuka agama,dan Kalangan Ilmuwan pada waktu itu dengan sombongnya mengatakan Indonesia siap menyambut Era Globalisasi tsb. Namun bertolak 180 derajat dengan apa yang di katakan oleh Pujangga kenamaan Sutan Takdir Alisyahbana beliau berkata " Indonesia tidak bisa mengikuti Era Globalisasi karena masyarakatnya Agamis dan Agraris !!! " Tolong renungkan kata - kata ini " Agamis dan Agraris " Kata kata ini mengandung makna dan fakta yang tidak bisa dipungkiri dari mayoritas masyarakat kita kan ?
BalasHapus