Pecahan Kaca Kereta Commuterline |
“Nak, sini Abi kasih tau dulu. Uang ini nanti masukin ke kotak itu ya,” kataku sambil menunjukkan sebuah kotak amal di ujung ruangan, “Atau kalau ada orang yang tidak mampu, berikan ya.”
“Orang tidak mampu, Bi?” tanyanya polos.
“Iya, yang biasa meminta-minta di jalan. Ingat kata Abi, Nak, ‘tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah,’” anak kecil yang baru berumur sekitar 4 tahun itu mengangguk.
“Nah, kalau yang ini, buat kamu. Adil kan?”
“Makasih Abi,” dia terlihat lebih ceria dengan senyumnya berlesung.
***
JEGLEK... JEGLEK... JEGLEK... Kereta masih melaju dengan kecepatan penuh. Commuterline itu, kereta yang biasa digunakan oleh penumpang menuju Jakarta Pusat. Aku ternyata tertidur. Di deretan bangku 23. Posisinya lebih dekat dengan pintu. Suara rel kereta membangunkanku.
“Ma, masih jauh nggak?”
“Sebentar ya, Nak. Kita tadi naiknya nggak di stasiun Bogor sih, jadinya nggak dapat tempat,” seorang ibu dengan tas ransel loreng menenangkan anak putrinya yang berusia 6 tahun.
Aku masih menerawang kondisi di sekitarku. Kereta sudah semakin sesak, commuterline yang katanya AC Ekonomi, kini tidak terasa lagi dinginnya. Sudah pengap dan jenuh. Aku mengusap keringat yang membasahi dahiku. Di sampingku, seorang bapak-bapak sedang tertidur, sepertinya pura-pura tertidur.
“Ma, aku capek sekali,” gadis cilik itu pun duduk di bawah kaki ibunya, tepat di depanku percis.
“Iya, duduk di sini aja ya, Nak. Sebentar.”
Aku merasa tidak enak. Sudah kembali dalam kesadaranku.
“Ibu, anaknya disini saja.”
“Wah, makasih sekali ya, Dek,” Aku hanya membalas dengan senyuman.
Aku mencari tempat yang lebih sejuk. Di bawah kipas angin kereta. Meski agak pengap, setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Citayam. “Ternyata aku tertidur sebentar sekali, hanya selang dua atau tiga stasiun,” batinku dalam hati.
Hari ini, Minggu, 24 Juli 2012. Aku hendak ke Grand Indonesia, dekat Bundaran HI –tempat Mahasiswa biasa berteriak-teriak lantang– untuk menemui sebuah keluarga kecil yang insyaAllah bahagia (semoga Allah selalu merahmati mereka). Pemimpin keluarga kecil itu kakak Kelasku. Seseorang yang sangat Aku hormati. Aku hendak menengok bayinya yang baru berumur beberapa bulan. Itu janjiku beberapa hari yang lalu. Sebuah pertemuan yang akan sangat menyenangkan.
Stasiun Gambir, setelah Cikini dan Manggarai. “Wah, ternyata masih jauh,” pikirku. Stasiun itu masih harus melewati beberapa stasiun lagi, kira-kira 45 menit lamanya. Di sana, aku sudah ditunggu oleh seorang seniorku. ‘Mbak, aku baru di Citayam,’ Aku kirimkan sebuah pesan singkat melalui handphone-ku. Kereta ini memang ramai, tapi hening. Penumpangnya lebih memilih untuk diam, dan menanti setiap stasiun pemberhentiannya.
Stasiun Depok Baru. Sesaat sebelum menuju stasiun lainnya, aku melemparkan pandanganku ke gerbong sebelah, sebuah asap putih mulai memenuhi gerbong. Keadaan seketika berubah. Aku berdiri mematung di antara keramaian. Orang-orang mulai panik. Mulai menggedor-gedor kereta. Apa yang melintas di kepalaku, adalah sebuah kematian massal. Mungkin ada sebuah kereta di jalur yang sama dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan yang hendak menabrak. Suasana semakin rusuh. Tangis anak-anak mulai pecah. Ibu-ibu mulai berteriak histeris. Dan bapak-bapak menggedor lebih keras kereta.
“Hoi!!! Bukakan pintunya! Kami tidak mau mati di sini!”
Aku hanya terdiam kaku. Tak tahu harus apa. Tatapanku kosong. Sepertinya aku sedang menerka-nerka, kejadian apa ini? Takut dan bingung membuatku seperti shock berat.
Seorang bapak mulai mengambil ancang-ancang. Memecahkan kaca kereta. PRANG!. Beberapa pecahan kaca itu mengenai jaketku. Aku hanya memperhatikan, percis seperti orang bingung. Bapak-bapak yang lainnya pun, melakukan hal yang sama. Sedangkan ibu-ibu semakin panik. “Ada apa ini sebenarnya? Ada apa?”
Hah? Aku? Aku sedang apa?
Sesaat kemudian, keadaan semakin ricuh. Bunyi gedoran semakin membuatku ngeri. Ini persis seperti kejadian pembunuhan warga yahudi oleh tentara Nazi dalam misi Apocalypse. Mungkin terlihat agak berlebihan, tapi memang begitulah suasananya.
Pintu perlahan terbuka, sepertinya dibuka paksa. Massa keluar. Aku yang berdiri terpaku pun ikut terdorong. Anak-anak sibuk dengan tangisannya. Aku sudah keluar. Kami semua sudah di luar. Barulah aku merasakan, sekujur tubuhku bergetar hebat. Ini sebuah kejadian luar biasa bagiku.
Sebuah pengumuman terdengar, “Mohon maaf, kereta commuterline tujuan Jakarta Kota mengalami gangguan. Kami umumkan, kereta di jalur satu tidak akan diberangkatkan. Kami umumkan sekali lagi, kereta di jalur satu akan dipulangkan ke stasiun Depok. Mohon kesediaan pengguna jasa menunggu kereta commuterline selanjutnya di jalur dua.”
Ternyata kereta ini mengalami konslet. Asap putih itu, akibat dari hubungan singkat arus listrik. “Huh, tidak bertanggung jawab. Sudah harga tiket dinaikkan dua kali lipat pula. Masih saja ada kejadian seperti ini,” seorang bapak-bapak tua mengumpat di sebelahku.
Tak mengapa lah, yang penting Allah masih memberikanku hidup. Hidup ini kalau tidak bersyukur, ya bersabar. :)
0 komentar:
Posting Komentar