Memperlakukan Mereka yang Murtad


Saya berbicara lagi tentang sebuah teori konflik sosial. Saya memang tidak secara khusus mempelajarinya di bangku perkuliahan. Tetapi, saya menjumpainya dari hasil diskusi panjang dengan salah seorang sahabat yang mempelajari lebih dalam. Bahwa dalam kehidupan sosial yang seimbang, pihak pro dan kontra akan selalu ada. Dan dalam beberapa kasus, pihak pro cenderung jauh lebih sedikit jumlahnya ketimbang pihak kontra. Atau sebaliknya.

Apa yang Anda pikirkan, ketika salah seorang keluarga, sahabat, atau orang yang kita kagumi pindah dari agamanya? Saya pikir, di hati sebagian besar orang akan menggema hal yang sama: “Jauhi dia! Dia sudah melakukan sebuah dosa besar.” Tetapi, tidak untuk orang-orang yang tahu bagaimana caranya memanusiakan manusia.

Coba kita bayangkan, apa jadinya ketika sebuah kain putih yang ternoda kemudian dibiarkan, atau bahkan disimpan di suatu tempat dalam waktu yang lama. Tidak boleh ada satupun orang yang mengganggunya. Kemudian, kita kembali menengok dan berharap kain putih ternoda itu akan kembali putihnya seperti sedia kala. Mustahil! Anda terlalu mempercayakan kepada keajaiban, sedangkan Anda sendiri tidak mau berbuat apa-apa.

Hal yang serupa ketika ada seorang dalam kasus yang sama. Dia menyalahi salah satu ajaran agama yang paling krusial dan nyata dosa besarnya, kemudian kita jauhi, bahkan menciptakan suasana-suasana yang membuatnya lebih merasa nyaman dengan keadaannya saat ini. Saya tidak menyalahi akan sikap ini. Betul. Lantas, pertanyaan selanjutnya, akankah kita melarang bahkan meneriaki orang yang mendekatinya sebagai seorang yang juga murtad? Tentu karena bukan Anda yang tahu bagaimana caranya memanusiakan manusia.

Sebergelimangan apapun dosa yang dimiliki manusia, manusia tetaplah manusia. Tidak praktis menjadikannya hewan atau lebih rendah dari itu. Oleh karenanya, manusia tetap diperlakukan sebagaimana manusia pada umumnya.

Seorang yang murtad, dalam masa transisinya, pasti sedang mencari kebenaran yang hilang dari dalam dirinya. Fase pencarian kebenaran itu lah yang seharusnya kita kejar. Bukan malah menjauhi dan membuatnya merasa diasingkan, sehingga pilihan memilih agama lain adalah satu-satunya pilihan terbaik.

Tapi, memang betul. Pihak kontra akan selalu lebih besar daripada pro. Mereka yang mencemoohnya lebih besar dari pada yang memilih jalan mendekatinya dengan perlahan dan lembut. Seperti halnya seorang bayi yang akan dilahirkan, butuh banyak tenaga yang sangat besar untuk mengeluarkannya lewat lobang yang sangat kecil, hingga dia lahir dengan sempurna. Begitu pula menyadarkan mereka, butuh dorongan yang besar dari lingkungannya, sehingga dia tetap memiliki perasaan bersalah. Tugas mereka yang pro adalah membimbingnya ke arah jalan cahaya itu. Sehingga lahir lah manusia baru, dengan keimanan yang lebih baik.

Mungkin saya seharusnya mendefinisikan lebih awal, arti kata pro. Karena, kebenaran yang diperkenalkan oleh suatu agama tetaplah kebenaran. Tidak dijadikan abu-abu, terutama untuk hal yang sudah jelas dosa dan tidaknya. Oleh karena itu, arti kata pro yang saya maksudkan adalah mereka yang memilih untuk tidak menjauhinya apalagi menggunjing atau melakukan kekerasan kepadanya.

Ingin menjadi pihak pro atau kontra kah kita? Tergantung dari jiwa memanusiakan yang kita miliki. Karena orang seperti ini sangat langka diciptakan oleh Tuhan pemilik kebenaran. Wallahu’alam.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut