Kampusku Diperawani Parpol

Kampus: Lahan Politik Strategis

Saya pikir, bukan rahasia lagi, jika partai politik sudah masuk di banyak universitas. Institusi pendidikan yang konon katanya “forbidden for politic”, kini sudah tidak perawan lagi. Bahkan, peniupan ruh-ruh politik itu sudah tidak gerilya lagi, justru semakin nyata dan jelas.

Seharusnya sudah menjadi sebuah kekhawatiran saat partai politik bermain-main di kampus di negeri ini. Mahasiswa yang disemarakkan sebagai agen pemantau kebijakan pemerintah –bahkan tidak jarang sebagai oposisi– kini tidak absah lagi, hanya semata legalitas, dan penuh pepesan kosong slogan. Jika memang demikian, siapa lagi yang akan mendompleng pemerintah apabila semua mahasiswa ditumpangi kepentingan politik?

Saya tersentak ketika mendengar pernyataan salah seorang kader partai –dulunya adalah aktivis kampus yang paling disegani. “Memangnya ada yang salah dengan Parpol masuk kampus? Kalau alasannya adalah menyiapkan kader politik dan dakwah, tentunya kita harus mendukung.” Sayangnya tidak, lebih dari sekedar itu, partai politik bahkan menunggangi pergerakan mahasiswa. Bukankah ini hal yang konyol?

Saya tidak pernah menyalahkan, jika secara personal mahasiswa ingin belajar ilmu politik, mempraktekkannya, atau bahkan menjadi kader sekalipun. Silahkan saja, itu hak asasi setiap orang untuk berpartisipasi aktif dalam membangun bangsa. Tapi, saya menyayangkan, jika belajar ilmu politik tersebut sampai harus merenggut kebebasan pergerakan mahasiswa. Apalagi dijadikan boneka yang di-setting untuk keberkuasaan partai. Kita seakan diperkosa secara halus.

Di kampus saya, aksi demi aksi kerap dilakukan. Saya mengamati, entah kenapa kebijakan yang diusung selalu percis dengan kebijakan yang dilontarkan oleh suatu partai politik di negara ini. Bukankah ini suatu anomali? Di saat perangkat negara ini sakit, justru yang menuntutnya adalah orang-orang yang ditunggangi kepentingan. Ironis.

Sepertinya, budaya ini memang sudah mendarah daging (terutama di kampus saya). Tidak ada lagi kebenaran yang masuk akal ketika mahasiswa ditanyakan, “kenapa harus bigini?” Lantas dengan sopan mereka menjawab, “Ini sudah konsekuensi dari ikrar mengikuti jamaah (parpol, red), keputusan dari atas tetaplah keputusan yang harus ditaati. Kita harus percaya mereka.”

Kadang terbesit dalam pikiran, demokrasi kita ini demokrasi yang sinting. Dalam prakteknya, demokrasi yang identik dengan pemilu, menjadikan mahasiswa sebagai pemilih lugu yang potensial dan strategis. Maka tak ayal, jika saat pemilu (atau pilkada sekalipun) sering beredar selebaran-selebaran partai. Sulit terbantahkan, jika saya mengatakan yang menyebarkan kampanye terselubung itu berasal dari kalangan mahasiswa itu sendiri? What a joke of politic?

Ini gila, benar-benar gila. Sebuah replika wajah nusantara yang membuat hati miris. Tidak menafikkan, suatu saat saya, anda, atau kita semua akan terjun ke jalur politik. Tapi tidak saat ini. Kampus adalah sarana netral untuk belajar, bukan untuk kepentingan suatu partai politik. Maka, sudah seharusnya pergerakan mahasiswa bersih dari parpol, sekalipun mengatasnamakan misi dakwah, kebangsaan, ataupun demokrasi.

Wallahu’alam bishowab. Kebenaran hanya milik langit. Manusia hanyalah perantara, jika ia benar-benar berpikir. Saya mencintai keterbukaan dan perbedaan.

Wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut