Saya mendapati salah satu poin penting dari diskusi panjang dan menarik kala itu bersama seorang sahabat. “Saya memilih untuk menjadi orang yang beda, Fa. Bukannya kenapa. Karena di dalam suatu keseimbangan konflik sosial itu, niscaya akan ada pihak pro dan kontra.”
Tatapan tegas. Sepertinya seseorang yang berbicara di depan saya ini, paham betul jalan pemikiran saya yang hampir serupa dengannya. Mengambil jalan lain, meski orang menganggap dirinya pengganggu atau tidak sesuai dengan kebiasaan yang ada. Change maker! Mungkin ini yang tepat untuk menjuluki dirinya.
“Apa yang salah ketika seorang wanita mencalonkan diri sebagai ketua BEM fakultas?” Tentu beliau pun tahu, di dalam agamanya, sebaik-baiknya pemimpin adalah dari kalangan laki-laki. Karena (mungkin) dia memahami bahwa kaum adam lebih menggunakan otak ketimbang hatinya. Beliau juga pastinya memahami, arti gender dalam islam dan batasan-batasannya. Tapi, bukan itu sebenarnya yang dicarinya, apalagi sekedar mendapatkan jabatan. Ini perkara yang sangat konyol.
Dengan bangga, beliau bercerita, “Saya nggak lolos, Fa. Entah alasannya benar atau tidak. Calon ketua tunggal pun lolos, tanpa saingan. Dan saya dicecar oleh mereka kaum hawa yang dulu tempat saya berbagi pendapat. Mungkin lebih tepatnya mereka shock.”
Entah apa yang merasuki dalam jiwa-jiwa mahasiswa (manusia), sehingga isu kesetaraan gender disebutkan sebagai momok. Bahwa wanita, tidak boleh memimpin. Entah kabar angin dari mana, bahwa islam masih mengimi-imingi wanita hanya untuk bersolek di dalam kamar atau sekedar meracik bumbu-bumbu masakan di dapur?
Kita berbicara soal kapasitas. Siapa yang berani menjamin, seorang wanita memiliki kapasitas yang lebih jongkok di banding laki-laki? Buktinya, banyak juga mereka, para kaum wanita, yang menghasilkan karya-karya maha dahsyat. Bahkan sebagian besar dari teman-teman saya ketika SD hingga kuliah adalah kaum wanita. Kurang pandai apalagi kah?
“Bukan ketua BEM tujuan saya, Fa. Saya hanya ingin membuka mata mereka, ini loh, wanita juga punya hak yang sama. Perkara laki-laki sekalipun harus memimpin, tiada masalah bagi saya.” Lanjutnya, “Ingat! Perkara mencalonkan diri dan tidak sama sekali mencalonkan diri, adalah hal yang berbeda. Dan saya membuktikan, bahwa wanita juga memiliki hak yang sama: Kesetaraan.” Sehemat saya, beliau memikirkan step-step merubah mindset masyarakat. Bukan menjadi superhero yang terkenal sendiri. Buat saya, ini luar biasa.
Mohon maaf, ini sebenarnya hanya opini saya dan pengalaman sahabat saya. Tidak termuat data-data atau rujukan langsung seperti halnya sebuah karangan ilmiah. Karena sebuah kebenaran akan diterima kebenarannya karena sesuai memang dengan kondisi saat ini. Dan saya pun mencoba menemukan kebenaran baru itu.
0 komentar:
Posting Komentar