Tentang Toilet dan Kotak Infaknya



Di salah satu toilet musholah di Indonesia


Bukannya gue sok pandai berbahasa. Tapi, tulisan ini mengganggu pikiran gue. Memang cuma 6 kata, setelah, menggunakan, toilet, isilah, kotak, infaknya, tapi mungkin ada yang salah dengan pemahaman si empunya tulisan.

Satu hal yang menjadi pertanyaan dan bercokol di otak gue: "Sejak kapan infak menjadi suatu paksaan?" Coba anda perhatikan, di akhir kata infaknya telah eksis tanda seru sebanyak 2 buah. Sekali lagi, 2 buah. Ini sebuah gaya penekanan yang nyentrik.

Mungkin masyarakat setempat menganggap kotak sumbangan yang biasa eksis di toilet-toilet umum adalah sama dengan infak. Mungkin lebih tepatnya: infak yang dipatok dengan tarif -semisal Rp. 2.000 untuk kencing, Rp. 3.000 untuk BAB, dan Rp. 5.000 untuk mandi. Ya, mungkin aja. Justru dari situ lah terjadinya transformasi arti kata.

Saya teringat kata-kata Sugiharto dalam pengantar sebuah novel Filsafat, "Filsafat digunakan untuk mengurai masalah remeh temeh yang ada di masyarakat." Mungkin seperti kali ini.

Damm juga mengatakan, "Kebenaran adalah repetisi dari sesuatu dan diterima oleh masyarakat saat itu."

Sama halnya dengan masalah toilet. Filsafat menjawab. Karena masyarakat setempat menganggap suatu kelaziman, bahwa ketika masuk toilet umum, maka harus nyetor duit ke kotak sumbangan biasanya dijaga oleh si karyawan. Nah, berhubung gambar yang gue dapat itu berasal dari musholah, maka oleh si empunya mengganti kotak retribusi dengan kata yang lebih soleh: Infak.

Bukannya gue terlalu mempermasalahkan. Ini tentang pemahaman,bung. Apalagi kalau udah menyangkut dengan musholah, tempat peribadatan muslim. Jadi, oleh masyarakat akan dianggap pembenaran: Infak adalah suatu keharusan.

Padahal, inti dari menginfakkan adalah mensucikan jiwa. Apalah kata jika infak dijadikan suatu paksaan, esensinya tidak akan tercapai: menyucikan. Artinya, menginfakkan adalah memberikan secara ikhlas. Saran gue sih, kata-kata itu lebih baik diganti dengan sesuatu yang lebih tepat. Misalnya: mohon mengisi kotak retribusi kebersihan setelah menggunakan toilet.

Orang pun tak akan salah kapra. Apalagi kalau ada yang ekstrim berpendapat: Mengatas namakan agama untuk sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Wallahu'alam sih, itu dari pemahaman gue, mungkin ada benarnya, mungkin dari lu yang baca juga ada benarnya. :)

Gue jadi teringat sebuah tulisan di salah satu Masjid yang sering gue datangin (suatu saat nanti gue foto, insya Allah), begini:

Setelah buang air, disiram yang bersih dong!
 Oleh salah seorang warga, kemudian direvisi demikian:

Saudaraku, Setelah buang air, mohon disiram ya, supaya yang bersih dong!
 Gue suka senyum-senyum sendiri baca tulisan itu. :)

Yak, sekian dulu.
Tha...

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut