Sejarah Singkat Kerajaan Thailand


Thailand sudah melewati banyak sekali detik-detik peralihan kekuasaan. Sejarah sendiri telah mencatat 4 periode kerajaan yang mengantarkan mereka kepada negara kebebasan ini. Perang fisik antar kerajaan, kondisi politik, pengaruh agama dan keterlibatan di perang dunia pertama dan kedua, menjadikan perjuangan Thailand di setiap periode kerajaan berbeda. Ada pun saya rangkum menjadi:


1. Sukhothai (1238-1438): Inisiasi.
  
Gambaran Masyarakat Sukhothai dan Raja Sri Indraditya (google.com)
Asal muasal negara Thailand tidak terlepas dari mozaik Kerajaan Khmer (Khmer Empire), negara Kamboja saat ini. Sri Indraditya yang saat itu menjabat semacam kepala wilayah daerah Bang Yang, merasa kebijakan kerajaan terlalu memberatkan rakyatnya, terutama pajak. Pada sebuah kesempatan, dia bersama rekannya berinisiatif mendeklarasikan diri lepas dari Khmer dan membuat kerajaan baru, kerajaan Sukhothai, dengan ibu kota Sukhothai. Sri Indraditya (ศรีอินทราทิตย์) sendiri merupakan gelar yang berarti Raja Matahari dengan Kekuatan Sang Indra. Sedangkan, sukhothai berarti tanah kebahagiaan.

Kerajaan ini dikuasai oleh dinasti Phra ruang. Setelah Sri Indraditya wafat, ia digantikan oleh anaknya Ban Mueang yang hanya menjabat satu tahun. Tidak diketahui apa penyebab kematian sebenarnya, hanya saja diceritakan dalam inskripsi pertama Ram Khamhaeng, bahwa Ban Mueang sang kakak, wafat ketika ia masih kecil. Kemudian Ram Khamhaeng yang sekarang diabadikan menjadi nama salah satu distrik di Bangkok, menjadi raja dengan gelar, Ram Khamhaeng the Great. Kerajaan ini berdiri hingga raja yang kesembilan, dan berakhir pada Raja Boromappan.


2. Ayutthaya (1351-1767): Identitas.

Daerah Ayutthaya yang dikelilingi oleh sungai dan Raja pertamanya (google.com)
Seperti halnya kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia, Ayutthaya dan Sukhothai sebenarnya berdiri secara bersamaan. Tetapi pada akhirnya, Ayutthaya yang berdiri lebih lama, bahkan mengokupasi Sukhothai. Jika Sukhothai adalah kerajaan inisiasi Thailand, Ayutthaya tidak kalah penting berpengaruh dalam sejarah negara ini. Sebab, hingga saat ini menjadi kerajaan terlama, sekira 400 tahun lebih berdiri. Kerajaan inilah yang menguatkan identitas masyarakatnya menjadi orang Siam.

Mayoritas masyarakat Ayutthaya adalah Budha aliran Theravada. Sekarang wilayah kerajaan ini pecah di enam bagian negara meliputi Thailand, China, Myanmar, Kamboja, Burma, dan Laos. Pada pertengahan abad keempat belas, Uthong, raja pertama kerajaan Ayutthaya berpindah ke sepanjang sungai chao phraya karena alasan ancaman penyakit. Ayutthaya mulai terpandang saat mengalahkan beberapa kerajaan di sekitarnya seperti Sukhothai, Khamphaeng Phet, dan Phitsanulok. Bahkan mereka berhasil memukul mundur kekuatan klasik, Angkor (Khmer Empire), pada akhir abad keenambelas, sehingga menjadi sebuah kekuatan besar baru.


Belum hilang dari catatan hitam Myanmar (dulu Burma), Ayutthaya pada masa Raja Trailokanat di tahun 1451 mendukungan pemberontakan Thao Choi, saudara Tilokaraj, Raja Lan Na. Hal ini memicu buruknya hubungan antara kedua kerajaan dan berujung pada perang Ayutthaya-Lan Na. Kerajaan Lan Na di bawah dinasti Konbaung semakin menekan kerajaan Ayutthaya. Sebenarnya kerajaan Ayutthaya terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang tunduk kepada lingkaran kekuatan (Circles of power), mereka memiliki tentara sendiri masing-masing. 


Kerajaan ini juga sempat memiliki minat kepada beberapa wilayah yang ada di semenanjung Malaysia. Namun karena hubungan diplomasi yang kuat antara kesultanan Malaysia dan Kekaisaran China Dinasti Ming, dibawah jendral Cheng Ho, Malaysia dilindungi. Hal ini lah yang menjadikan Malaysia sebagai salah satu musuh besar Ayutthaya sampai datangnya masa penjajahan bangsa barat.


Thailand memang tidak pernah dijajah oleh bangsa barat, namun dalam sejarahnya, Thailand yang saat itu masih menjadi Ayutthaya pernah ditaklukan oleh kerajaan Burma dan berada dibawah kendalinya. Perang diawali pada tahun 1547 oleh Dinasti Taungoo (Burma), mereka melakukan pengepungan pertama namun gagal. Pengepungan kedua dilakukan pada tahun 1564 di bawah komando Raja Bayinnaung, pengepungan ini membuat Raja Maha Chakkraphat menyerah dan membawanya ke ibu kota kerajaan Burma, Bago. 

Rupanya raja Bayinnaung ini cukup tangguh, gelombang pemberontakan demi pemberontakan berhasil ia redam. Sepeninggalnya, muncullah Raja Naresuan mendeklarasikan diri untuk merdeka dari Burma. Pertarungan itu berlangsung pada tahun 1584–1593, Burma yang saat itu dipimpin oleh raja Mingyi Swa berhasil dikalahkan. Ayutthaya merdeka. Perang ini kemudian menjadi momentum kebanggaan Thailand, bahkan difilmkan saat ini. 

Tidak hanya sampai disitu, pada tahun 1594-1605, Raja Naresuan kembali melakukan penyerangan terhadap kerajaan Burma. Alhasil, Burma takluk dan dikuasai oleh Ayutthaya hingga wafatnya Raja Naresuan. Peristiwa ini juga sangat bersejarah, sehingga dinobatkan sebagai hari militer kerajaan Thailand. Perang ini terus berlangsung hingga tahun 1767. Jadi wajar jika masih ada anggapan bawa Burma adalah musuh bebuyutan Thailand. Mereka sudah berperang kurang lebih delapan belas kali.

Simbolisasi Raja atau Rama di Thailand sangat kental akan ajaran Budha dan Hindu. Mereka dianggap sebagai titisan Dewa yang mengurusi bumi. Mereka memiliki kekuatan absolut, oleh karena itu "ke-monarki-an" mereka hampir menyerupai sistem feodal. Meskipun demikian, kehadiran seorang raja lebih banyak dipengaruhi oleh kharisma dan dukungan, tanpa itu kudeta berdarah pasti akan terjadi. 

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kerajaan Ayutthaya ini berlangsung lebih dari empat abad. Rajanya silih berganti dari beberapa dinasti, seperti Dinasti Uthong, Dinasti Suphannaphum, Dinasti Sukhothai, Dinasti Prasat Thong, dan Dinasti Ban Phlu Luang. Kerajaan ini berakhir pada dinasti Ban Phlu Luang di bawah Raja Somdet Phra Chao Ekkathat oleh perang selama dua tahun pada 1765-1767. Ekkhathat sebenarnya ingin menyerah dengan perjanjian upeti, namun Raja Hsyinbushin tidak setuju, dan ingin Ayutthaya menyerah tanpa syarat kepada Burma.

Di saat yang bersamaan, sebenarnya China sedang melakukan invansi terhadap Burma, hal tersebut awalnya tidak terlalu dihiraukan oleh Burma, terlebih Rajanya. Sehingga, kemenangan Burma terhadap Thailand tersebut hanya dinikmati sesaat. Mereka kemudian sibuk menghadapi gempuran tentara China. Peluang tersebut tidak dilewatkan begitu saja oleh masyarakat Siam. Serpihan kerajaan Ayutthaya kemudian bangkit lagi dalam bentuk kerajaan lain, Kerajaan Thonburi, selama lebih kurang tiga tahun mereka melakukan penyerangan dipimpin oleh Raja Taksin. Raja ini akhirnya memindahkan pusat pemerintahan dari Ayutthaya ke Thonburi. Berakhirlah era Ayutthaya. 

3. Thonburi (1768-1782): Penguatan.


Kerajaan Thonburi dan Raja Taksin. (google.com)
Masa kerajaan Thonburi adalah salah satu masa keemasan sekaligus suram bagi Thailand. Ia merdeka, lalu berdarah. Somdet Phra Chao Taksin the Great, Raja yang menggiring Thailand lepas dari kerajaan Burma. Ia memimpin sekira 14 tahun. Selepas membawa ibu kota kerajaan dari Ayutthaya -yang telah hancur porak ponda akibat invansi Burma- ke Thonburi, Kerajaan ini hanya pernah dipimpin oleh satu Raja. Dikatakan bahwa pada masa ini, kondisi politik sangat panas, perang terjadi dimana-mana. Thailand menghadapi berbagai peperangan dari Burma, penaklukan Lanna, kerajaan Laos, dan serangan Kamboja.

Meskipun demikian, Taksin adalah raja yang piawai, ia juga fokus membenahi politik kerajaan, ekonomi, administrasi, infrastruktur, dan kesejahteraan rakyatnya. Dia menjalin kerjasama perdagangan dengan beberapa negara semisal China, Belanda, dan Inggris. Dalam hal keagamaan, dia membangun dan merenovasi banyak kuil. Dia pun menghidupkan kembali berbagai cabang ilmu seni, mengumpulkan berbagai teks kuno, dan menata pendidikan umum serta pendidikan agama. Oleh karena itu, ia digelari Maharaj (The Great).

Taksin sangat dekat dengan China. Di dalam tubuhnya bahkan dikabarkan masih mengalir darah keturunan China. Taksin mengutus utusannya untuk menghadap kekaisaran China saat rezim Qianlong. Lima tahun kemudian, China mengakui kedaulatan Siam. Imigran China banyak tumbuh dan berkembang pada masa ini. Ia juga berusaha membangun hubungan diplomatik dengan negara lain. Bahkan ia membangun hubungan baik dengan negara belanda -yang saat itu menjajah Indonesia. Thailand banyak membeli senjata modern dari negara-negara Barat.

Raja yang dulunya adalah Gubernur Tak pada masa Raja Ekkathat, Ayutthaya, diakui memiliki kemampuan militer yang mumpuni. Setelah terlepas dari Burma, Thailand sebenarnya terbagi menjadi lima regional. Taksin menyatukannya kembali, mengeksekusi raja-raja yang membangkang. Taktik ini berhasil. Sayangnya, raja yang Agung ini harus mati dalam kesalahan. Satu tahun sebelum kematiannya, ia dikabarkan memiliki masalah mental yang parah.

Taksin mengakui dirinya sebagai Budha masa depan. Dia bahkan berani mengajar para biksu yang suci. Lebih dari itu dia mulai membuat propaganda, dan menyuruh para biksu untuk menganggapnya sotapanna, Dewa yang memulai pertama dari empat tahap pencerahan. Adapun biksu yang menolak akan diturunkan status kastanya. Demikian bagi rakyat yang menolak untuk menyembahnya, akan dicambuk dan dipekerjakan kasar.

Pada masa ini, kelaparan merajalela, politik mengalami ketidakpastian, korupsi menjamur. Dia mengeksekusi beberapa pejabat bermasalah menurutnya dengan cara yang kasar. Hal ini menyebabkan ketidaksukaan publik yang lebih besar. Raja yang dianggap "sakit pikiran", mengakibatkan dimulainya kudeta. Jenderal Chao Phraya Chakri, yang juga rekan Taksin, saat itu sedang berperang ke Kamboja, seketika kembali ke Thonburi setelah mendengar kabar dilangsungkannya kudeta. Dia meredam kudeta dengan melakukan penyelidikan, penangkapan, dan penghukuman. Kedamaian kemudian kembali di ibu kota kerajaan. Chao Phraya Chakri mengambil alih kekuasaan dari tangan Taksin. 

Ada beberapa versi eksekusi yang dialami oleh Taksin. Pertama, ia dipenggal di depan Benteng Wichai Prasit (10 April 1782), setelah permintaan audiensi dengan Chao Phraya Chakri ditolak. Kedua, Taksin dieksekusi dengan cara tradisional siam, yaitu dimasukan dalam karung kemudian dipukul sampai mati. Ketiga, ada juga yang mengatakan, Taksin diasingkan disebuah istana di daerah terpencil Nakhon Si Thammarat hingga tahun 1825. Beberapa isu yang berkembang juga bahwa Taksin dibuat seolah-olah mangkat, karena Thailand memiliki hutang beberapa juta baht ke China dan agar perjanjian dengan China tersebut bisa diakhiri. Dengan kematian Taksin, kerajaan Thonburi yang singkat ini berakhir pula.

4. Rattanakosin (1782-sekarang): Stabilitas.


Sembilan Rama. (google.com)
Kerajaan ini adalah kerajaan yang masih bertahan hingga saat ini. Rattanakosin hanya dipimpin oleh Raja dari dinasti Chakri. Diawali oleh Chao Phraya Chakri, dia menjadi Rama I dengan gelar Phra Bat Somdet Phra Paramoruracha Mahachakkriborommanat Phra Phutthayotfa Chulalok. Total keseluruhan Raja yang memimpin Thailand di kerajaan ini hingga saat ini adalah sembilan orang. Akan sangat panjang jika membahas satu persatu, oleh karenanya, akan saya bahas secara terpisah di postingan berikutnya.

Pada masa kerajaan ini, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Thonburi ke Krung Thep, saat ini Bangkok. Masa Rattanakosin secara kasar dibagi menjadi 3 periode, pertama masa konsolidasi dengan kerajaan tetangga (Burma, Vietnam, dan Laos). Kedua, masa kolonialisme, dimana siam melibatkan dirinya dengan kekuatan Inggris dan Prancis. Hal ini lah yang membuat Thailand menjadi satu-satunya negara yang tidak pernah dijajah bangsa kulit putih. Ketiga, periode perang dunia hingga saat ini.

Setiap rama memiliki eranya masing-masing, dimulai dari Rama I hingga Rama IX secara berturut-turut dikategorikan sebagai periode permulaan, perdamaian, konsolidasi, pencerahan, reformasi, modernisasi, revolusi, konspirasi, dan stabilitas. Thailand melepas Monarki Absolutnya menjadi Monarki Konstitusional pada tahun 1932 di masa kepemimpinan Rama VII, Somdet Chaofa Prajadhipok Sakdidej.

Thailand sekarang

Bhumibol Adulyadej (theorientalhotel.wordpress.com)
Thailand saat ini dipimpin oleh seorang Rama yang berkharisma dan sangat dicintai oleh rakyatnya, Phrabat Somdet Phra Paramintharamaha Bhumibol Adulyadej (ภูมิพลอดุลยเดช)Rama IX. Stabilitas tumbuh di Thailand, menjadikannya negara dengan pertanian tropika dan industri pariwisata terdepan. Hubungan diplomatik Thailand dengan negara-negara maju lainnya sangat kental, tidak heran jika banyak kerjasama internasional yang telah mereka tanda tangani guna membangun negerinya.

Meskipun Rama tidak lagi memiliki hak politik, peranan Rama sudah lebih dari sekedar simbol negara. Dia adalah simbol kedaulatan dan kesejahteraan Thailand. Di masa modern ini, Rama masih mendapatkan dukungan yang besar, baik dari kalangan bangsawan, pemerintah, dan militer. Tidak ada tendensi dan ketakutan militer, yang ada adalah bentuk penghormatan mereka terhadap Rajanya.

Thailand adalah salah satu negara dengan bentuk kerajaan yang masih bertahan hingga saat ini. Sangat unik bagi saya yang memiliki kewarganegaraan republik. Di negara yang menganut sistem monarki, teladan adalah hal yang sangat penting. Hal tersebut tercermin dari tindak tanduk rajanya. Itulah yang terjadi di Thailand saat ini. Segala prioritas negaranya adalah untuk rakyat, persis seperti apa yang dilakukan oleh rajanya.

Semoga sang Rama IX diberikan umur yang panjang.



Long Live The King



1 komentar:

  1. wow... memang menarik sejarahnya. tapi dalam ramai2 raja thai, saya cuma kenal chulalongkorn sebab beliau raja yang peintar dan ternama

    BalasHapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut