Rawamangun Undercover Journey


Astagfirullahal’adzim... Maafkan hamba ya Tuhan. Jika hamba sudah banyak berbuat dosa hari ini. Mohon maaf juga sebelumnya kepada Aldian Farabi. Gw hanya ingin merekonstruksikan kejadian suram hari ini (24/03/12).

Gw merasa bodoh sekali hari ini. Kata tepat untuk mewakili kekhilafan gw yang terjadi bertubi-tubi. Bogor, pukul 11.00, panasnya mulai menyilet. Mengenakan helm dan motor yang plat motor belakangnya selalu lupa dipasang, gw melaju ke stasiun Bogor. Entah setan apa yang membisikkan gw hari ini, biasanya dari jalan Yasmin gw akan memutar arah menuju terminal laladon. Jalan biasa gw dari kampus IPB Darmaga menuju Stasiun Besar Bogor.

Tapi tidak hari ini. Tepatnya setelah gw lupa, putaran itu terlewati dengan sukses. Alhasil gw lurus, menuju jalan Baru. Gw harus istighfar sekali lagi atas fenomena yang menimpa ini: MACET. Kenapa harus macet, ya Tuhan? Protes gw dalam hati. Oke, gw menenangkan diri sambil menyanyikan lagu Bondan yang sempat gw setel pagi-pagi di Asrama: Everything is gonna be Ok.
 
Dari lampu merah satu ke lampu merah lainnya, gw harus menyita waktu 23 menit. Apa? 23 Menit! Singo Edan! Gw udah mati-matian ngebut ginih. Okelah, gw jalani. Menuju jalan Padjajaran, gw berharap akan menemukan monumen air mancur. Ini satu-satunya akses yang paling menggiurkan untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan yang diridhoi Allah agar cepat tiba ke stasiun.
 
Kembali lagi, setan membisikkan gw dengan mengacaukan tampik konsentrasi. Air mancur itu pun sirna. Kelewat lagi. T.T “Oke, pokoknya dari IPB Gunung Gede gw harus mutar ke arah Sempur. Harus.” Gw mengumpulkan segenap tenaga untuk terus berkonsentrasi. Tujuan: Belokan Harapan IPB Gunung Gede. Motor Jupiter Z itu pun melaju dengan sukses. #uyeah.
Anteng. Hati menjadi teduh. Alhasil, gw sampai di stasiun Bogor dengan keramaian yang tiada terkira. Gw menitipkan motor di penitipan. Sembari menyimpan helm, mata gw tiba-tiba melotot: Asem, ban depan kempes, boi.
 
Yasudahlah, itu urusan nanti. Yang penting beli tiket dulu. Rambut kusut. Jaket bau asap. Seorang Aldian Farabi memeriksa duit di dompet. Kosong. Celingak-celinguk, memperhatikan sekeliling, berharap ada ATM yang nongkrong. ATM apa pun itu ya Allah. Nggak ada. Sambil harap-harap cemas, gw merogoh. Aha! Ada beberapa lembar kertas lecek. Benar saja, ini uang dude! Satu lembar puluhan ribu, empat lembar dua ribuan, dan sekeping uang gope. Gw tersenyum puas. “Okeh, gw selamat! Empat belas ribu tiket kereta pulang pergi. Tiga ribu buat sewa parkir motor. Dan tersisa dua ribu lima ratus. What the lucky I am?” Sekali lagi, gw tersenyum menang.
 
Teng... Teng... Teng... Teng... “komuterlain menuju Jakarta Kota berangkat pukul 12.20. Saat ini kereta sedang berangkat dari Tanjung Barat menuju stasiun Bogor.” Gw menyadari, menyimak jam tangan hitam kesayangan: sekarang jam 11.45. T.T Nunggu lagi...
***
 
Eniwei, gw mau ke Rawamangun. Mau kumpul Forum Indonesia Muda. Gw panitia loh. #apasih? Jadi begini duduk ceritanya, gw janjian untuk rapat besar di Markas Besar FIM. Lokasinya di perumahan Golf. Tepatnya di rumah keluarga Pak Elmier. Jadi, gw janjian sama teman-teman di Bogor. Sesaat gw nyampe di stasiun. Ada yang sms:
“Alfa, maaf, aku ndak bisa pergi. Dilarang, baru sembuh.”
 
Gw menyadari. GW BURUK DALAM HAL MENGINGAT JALAN. Makanya gw nyari teman lain. Gw nggak putus asa. Gw telpon sahabat gw:
“Anu, Fa. Gw harus mendampingi teman-teman di acara asrama.” T.T
 
Satu lagi harapan gw, orang yang akan pergi juga:“Lha, aku ndak pergi Fa, lagi datang ke suatu tempat.”
 
Yasudahlah, gw perlu alamat detailnya. Dari orang-orang yang gw tanya, akses ke lokasinya beda-beda: KENAPA HARUS BEDA-BEDA SIH? GW KAN NGGAK TAU JAKARTA!? Oke, gw bingung sesaat. Meratapi langit Bogor yang hari ini cerah. Namun tak berbintang. #halaaah...
 
Eniwei, gw haus. Sumpah gw haus. Seingat gw, tadi pagi gw makan bubur, tapi nggak minum air cukup. Akhirnya gw tergiur dengan tulisan “AQUA Rp. 2.000”. Seingat gw nih ya, gw masih ada stok Rp. 2.500. Aha! Gw beli ah.. Ya, gw beli dan meneguknya dengan sukses. Gw mulai mengeluarkan buku roman filsafat timur yang baru terbaca 77 lembar: Hayy Ibn Yaqhzan. Sembari menunggu kereta.
 
Aha! Gw di kereta, dengan segala akses yang masih membingungkan. Oke, gw pilih akses dengan patas 59 menuju kompleks golf. Fix. Dikereta gw menyibukkan diri untuk membaca. Meskin nggak pernah dapat tempat duduk –emang asalnya gw yang selalu mengalah saat rebutan tempat duduk, atau karena nasib- gw bersandar di samping pintu.
 
Kereta semakin penuh. Dan berdiri dihadapan gw seorang ibu-ibu tua. Di samping gw juga ibu tua gahol. Ibu tua gahol itu mengenakan jaket italy dan mendengarkan lagu dari dua buah Black Berry di tangannya. Sambil mengikuti irama lagu, si ibu bernyayi. Gw menghentikan laju membaca. Terusik. Sedangkan di depan gw seorang ibu tua yang masuk angin. Sejak pertama masuk kereta sampai ke tujuan, kerjaannya hanya sendawa. Asem. Ditambah lagi AC kereta yang nggak mampu menyaingi hembusan napas penumpang yang kian padat. Jadilah kami sekereta seperti dipepes.
***
 
Singkat cerita, gw nyampe di stasiun cawang. Sangat mudah bagi gw menghafal lokasi ini. Asal udah melewati terowongan gelap aja. Pasti ini cawang. Yak, benar. Stasiun ini penuh dengan dewi fortuna buat gw. Gw sukses melandas di Cawang. Melintasi terowongan, gw melihat sekeliling para penjual barang abal-abalan. Gw nggak tertarik. Terlebih karena nggak ada duit.
Datang sms. Gw baru nyadar ternyata baterai gw cuma ada 13 %. Hape yang diambang kematian saudara-saudara. “Fa, turun di cawang, naik patas 57 aja. Bilang ke Bea Cukai ya, turun di Kramat.”
 
Lah, mana yang bener nih? Patas 57 atau 59? Atau rekomendasi canggih 1 orang lagi: Naik busway. Gw pikir, kalau naik busway, duit gw abis, tak bersisa. Kalau naik patas, saving cenggo (Rp. 1.500, red). Ya sudah, gw ambil keputusan bijak. Patas 57. Kenapa? Karena dia sms yang datang terakhir. Biasanya kan kebenaran munculnya terakhir. Kayak film ultramen.
 
Lima belas menit gw tunggu patas. Gw merasakan guncangan air mineral di tas. Oh God, gw nggak mau buku-buku berharga gw basah kayak waktu itu! Nggak mau! Alhamdulillah, nggak ada apa-apa. Gw meneguk. Tiba-tiba si bus datang secara paralel bersama bus 45. Gw berjalan menghampiri. Sedangkan penumpang lainnya berlari. Gw nggak mau kalah! Gw lari. Di depan gw seorang bertopi, saat gw naik, tiba-tiba dia menyenggol hingga jatuh air minum mineral berharga gw. Bus berlalu. Dan gw mulai bete. Teman tak ada, duit pas-pasan, dan gw ditinggalkan air mineral gw. Mas yang menyenggol itu meminta maaf sekenanya. Gw masih enggan. Itu harta berharga gw di jakarta.
 
Gw bertanya, “Pak, lewat Kramat kan?” “Kramat RS Medistra?” “Ya, pokoknya keramat.” “Iya.” Gw mengangguk tanda setuju, sambil memberikan uang pecahan 10 ribuan. Patas berlalu begitu saja. Waktu begitu lambat. Gw berdiri, mengantisipasi Kramat itu lewat. Lama. Lama. Waktu begitu lama. Sedangkan asam laktat di otot betis gw menumpuk.
 
Gw merasa begitu asing dengan tempat ini. Gw memberanikan diri nanya lagi sama kerneknya. “Pak, Kramatnya masih jauh?” “Yah, si mas. Saya kan udah bilang tadi, Kramat... Kramat... Medistra! Nggak ada, ya udah jalan.” “Jauh ya, pak?” “Dari tadi.”
Muka bete. Gw udah kucel gini ndak tau harus berbuat apa. Selama ocehan si kernek nggak gw hirauin. Satu yang keluar dari mulut gw, “Terus gimana pak?” Si kernek diam. Dia tampak  berpikir. 
 
“Naik ini lagi aja, Mas.”
 
Huuft. Gw harus meredam rasa sebel. Handphone gw yang kira-kira baterainya tinggal 11% bergetar. Ada sms: “Dimana fa?” Gw jawab sekenanya: “Kesasar” Begitu seterusnya.
 
 “Duduk, disitu aja, Mas. Biar nggak kelewatan lagi.” Sebelnya kernek patas melebihi sebelnya gw. Gw acuh. Sambil membenarkan posisi duduk. Hape berdering lagi. Nomor baru. Pasti mereka  yang nanya tadi. Hati gw masih sebel. Bukan karena apa? Gw lagi mencaci maki diri gw sendiri: 
Bego banget sih lu, Fa. Kelewat mulu. Ini udah 3 kali. Anak siapa sih lu?
 
Begitulah kira-kira perasaan gw. Karena takut kesebelan gw berdampak sama yang nelpon. Telpon itu gw rijek. Ditelpon lagi. Gw rijek lagi. Telpon. Rijek. Gw matiin. Titik. Maaf ya, mbak. Gw khawatir marah-marah sama orang yang nggak bersalah. Gw menenangkan diri.
 
“Gw harus menjadi orang lain,” pikir gw. Amboi, nyanyian cempreng pengamen semakin buat gw risih. Tapi yang terakhir, agak membaiklah. Meski pun gw ga bisa ngasih duit. Gw nggak ada duit boy.
 
“Mas, turun sebentar lagi.” “Iya.” Gw berusaha senyum.
 
Patas berhenti. Dan gw merasa terasing. “What kind of Jakarta?”
 
Gw nanya sama orang pejalan: “Mas, komplek golf dimana ya?” “Nggak tau, Mas. Nggak ada disini.”
 
Gw bingung. Sumpah. Ini bingung namanya. Nggak ada cara lain. Gw nyalain lagi handphone. Sms masuk banyak banget. Semuanya nanyain posisi gw. Gw nelpon, “Mbak, ini udah di Kramat. Di rumah sakit Medistra.”
 
“Hah? Dimana itu?”
 
”Nggak tau. Kata si bapaknya di Kramat.”
 
“Kamu naik dari mana?”
 
“Dari Blok M, tadi putar.”
 
“Wah... salah, Fa.”
“Terus gimana deh?” Gw menghindari percakapan berunsur seharusnya.
 
“Ntar, tanya dulu ya.”
 
Gw nunggu. Nelpon balik. “Fa, naik 57 lagi, turun di beacukai gitu. Jangan lupa bilang beacukai ya. Kamu tadi nggak bilang beacukai dulu ya?”
 
“Kalau naik busway aja gimana, mbak?”
 
“Ya udah. Pake busway aja.”
***
 
Oke. Gw mau fokus sama solusi. Setelah gw mengetahui kesalahan gw: Bukan kramat ini yang dimaksud. Gw berhipotesis: Jakarta adalah kota keramat, dimana-mana ada keramatnya. Oke, gw nyebrang di jembatan. Merogoh duit, tinggal 10.500. Gw tau, ini krisis. Gw harus nyari ATM. Masa iya di kota besar ini nggak ada ATM?
 
Aha! Gw ketemu ATM BNI. Secercah harapan menyelimuti hati yang peluh ini. Plang BNI itu seperti susu yang menambah cita rasa kopi. Gw tertolong. Bukan. Ternyata itu bukan ATM. Tapi plaza. Apa itu? Entahlah. Ya sudah, uang urusan nanti lah. Gw nyebrang lagi ke seberang, beli tiket Busway setelah salah loket. “Di loket sana, Mas.” Jelas petugas. Gw beralih.
 
“Mbak, ke Bea Cukai nggak.” Petugasnya mengangguk.
 
“Tapi transit, Mas.”
 
“Dimana?”
 
“Kalau yang bus gandengan: turun di BNN. Kalau yang nggak, turun di CAWANG UKI”
Gw memverifikasi. “Bener nih, mbak?” Khawatir nyasar. “Nanti nanya aja sama petugasnya,” sambil mengambil dua lembar dua ribuan gw. Dia mengembalikan gope.
 
Busway tiba. Nggak bergandeng: Berarti turun di... ARRRGHHH... Gw lupa turun dimana?
Gw masuk di busway, berharap ada “malaikat”: Petugas. Sayang, gw ngambil pintu yang salah. Oke, gw harus bergerak. Pindah ke pintu lainnya. Sambil meminta izin penumpang yang lain  menyingkir, gw bertanya sama si petugasnya, “Pak, kalau mau ke Beacukai, transit kemana?” 
 
“Oh... CAWANG UKI” Gw mengangguk setuju. Gw berharap nanti si petugasnya ingat.
 
Gw merasa bersalah, banyak sms yang nggak gw balas. Oke gw balas, karena hati sudah tenang lagi. Lama. Gw merasa lama. Gw melihat tulisan Sutoyo. Raut muka berubah pasi. Asem.
 
“Pak, saya turun dimana tadi?”
 
“Yah... Si mas, tadikan Cawang UKI”
 
Tepok jidat. Ini kali keempat, gw kelewat dengan naas. Dan gw harus menghindari kata bertema seharusnya. “Terus gima, pak?”
 
“Yaudah, ntar balik lagi aja. Turun di Cawang UKI ya, Mas.” Petugasnya menertawakan gw dengan tawaan nggak bagus. Pengen banget bilang: Dosa loh, pak.
 
Ya, Busway mutar. Gw transit. Lama. Emang agak lama. Gw nyampe di Cawang UKI. Setiba langsung gw tanya petugas. “Ke Beacukai lewat jalur mana, Pak?” “Kiri ujung, Mas. Arah Tanjung Priok.” Dia terlihat sibuk menyobek karcis. Asem. Kiri yang mana? Kiri gw ngadap ke dia? Atau berbalik dari dia? Gw nggak mau nyasar lagi. “Kiri mana, pak?” “Nggak ngerti kiri ya, Mas. Yang itu.” T.T
 
Oke, gw sabar. Mengikuti. Bus nomor 10 tiba. “TANJUNG PRIOK!” Teriakan petugas. Gw diantrean terakhir. Giliran gw masuk. Si patugas menyetop. “Yak, sudah penuh. Tunggu lagi ya.” Pintu tertutup. Bus datang lagi, kali ini nomor 9. “Tanjung Priok, Pak?” “Kampung Melayu, kan saya udah bilang.” Hadeeeh... Gw kan cuma nggak mau kesasar lagi. Oke Busway no. 10 tiba. Gw naik.
 
Di dalam bus, gw bertanya selalu sama petugas. “Pak, saya mau ke Beacukai. Lewat nggak?”
 
“Lewat kok.”
 
“Sebelum halte mana?”
 
“Jatinegara?” gw mengangguk.
 
Asem. Gw lupa lagi. “Apa tadi pak nama haltenya?” “Jatinegara” pandangan petugasnya mulai aneh.
 
Sampai! Yak, akhirnya gw sampai dengan selamat sentosa. Pas lagi mau keluar gw ketemu sama teman FIM gw.
 
“Alfa! Gw mau pulang.”
 
“Lha? Udah selesai?”
 
“Rapat besarnya udah selesai. Sekarang rapat divisi”
 
Gw menengok jam. 16.13. Hadeeeh... T.T
 
Sms: Mbak, saya udah nyampe. Gimana nih?
 
Bls: Tunggu ya, yang bawa mobil lagi shalat.
 
Sms: Saya naik angkot aja ya?
Bls: Nih udah selesai.
 
Oke, gw memutuskan untuk menunggu. Sambil melanjutkan bacaan: Hayy Ibn Yaqhzan. Mereka tiba. “Alfaa...” Oh, Oke. Gw naik. Ternyata berbalik arah sama angkot yang semula mau gw naikin. Kalau gw naik tuh angkot, gw nggak tau udah dimana sekarang. Dengan kondisi belum shalat.
***
 
Kapok nggak ya? Awalnya punya pikiran kayak gitu. Tapi, happy ending. Nggak percuma perjuangan gw. Masalah duit di ATM, gw mampir ke Muamalat sebelum pulang. Dan pulang dengan selamat, dengan hape yang baterainya 0% tapi tetap hidup, bahkan untuk nelpon. Ajaib betul nih hape kesayangan. Nggak bakalan dah gw ganti, sebelum benar-benar sekarat. :)
 
Eniwei, terimakasih Tuhan. Ini pembelajaran. Ternyata, selepas shalat Dhuha, gw lupa do’a. Mungkin gw ditegur, begini kira-kira: “Sombong sekali kamu hamba-Ku. Nggak ada do’a yang kamu minta. Sudah tidak bergantung lagi sama Allah, Tuhanmu?” Maafkan saya ya, Allah.
 
Terimakasih juga untuk teman-teman FIM, terutama kak Riesni, Kak Sule, kak Ivan, Kamil, kak Rifki, kak Huda dan istrinya (nunuy), Ichi, Sigit, dan lainnya yang nggak bisa saya sebutkan satu per satu. Terakhir, pas gw nyampe, ada anak Bogor yang nyapa: “Nyampe juga, Fa. Kenapa nggak bareng aja tadi?”
 
-_-“ #YaAmpun.

7 komentar:

  1. Biarin. Kan catatan perjalananku. hahaha

    BalasHapus
  2. eh terus cerita tentang motor elu yg kempes bannya pegimane???

    BalasHapus
  3. hahaha.
    ketawa lagi ah fa.
    hahaha.
    ketawa lagi deh.
    hahaha.
    apes bener fa :p bukannya aku ngeledek ente, tapi emang kalo Jakarta itu nyebelin rutenya, tiap orang pasti beda info kalo tanya jalan. aku aja yg udah tanya jalan sebelum berangkat mesti kacau lagi pas udah di jalannya. Jakarta oh Jakarta.
    BTW, kemaren aja aku juga sampe kelewat beberapa halte busway, muter-muter, dapet info yg beda dari petugas2 yang ada, dan akhirnya menelpon temen di bogor *masih untung masih ada batre ga kayak ente* haha

    BalasHapus
  4. Fika: Haha. Itu beda cerita lagi. Kasian si Juji (Nama motor gw), gw paksain sampai di Bogor. Soalnya sepanjang jalan gw g ingat. Sekalinya ingat. gw ngisi angin di pom bensin. Tapi, Alatnya rusak.:(

    Fiya: hahaha. Puas bener ketawanya dari kemarin. Ya, tetap aja ada hikmah di baliknya. Lain kali kalau mau kesasar barang siapa gitu kek. Biar bisa aku ejekin juga. hahaha.

    BalasHapus
  5. hahahah
    ternyata ada yg lebih gatau jalan drpada gue. *ketawalicik

    BalasHapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut