“Pada dasarnya manusia adalah tanah gersang. Darinyalah kita belajar bijaksana”
Foto: Doc. Pribadi
“Nama saya alfa, dari Bima.” Mungkin terlalu kaku untuk sebuah pembukaan alinea. Tapi memang ini yang selalu saya ucapkan ketika memutuskan singgah di tanah orang. Hiruk pikuk kota yang tak bisa saya samakan dengan kota saya dibesarkan. Bima. Kota melimpah matahari.
Tak bisa dibilang gersang juga. Darinyalah aku hidup. Makan ditempat itu. Tidur. Belajar. Mendapatkan teman. Sampai akhirnya, terdamparlah di pulau terberat di Indonesia. Pulau jawa. Penduduk terpadat, polusi melipah, dan modernisasi tercetak hebat. Begitu pun puing-puing ceritanya, tak kalah hebat dengan cerita sangaji yang kudapatkan sewaktu SD dulu.
Sejujurnya, tak pernah ada sedikitpun bayangan saya akan memijakkan kaki di tanah orang, apalagi bertemu dengan banyak manusia-manusia yang sebelumnya hanya bisa saya dengarkan dari mulut ke mulut. Semuanya berjalan begitu saja. Mungkin ini yang disebutkan ketentuan Allah. Saya hanya bisa menjalankan skenarionya, bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Indonesia, mahasiswa-mahasiswa berprestasi nasional, dosen-dosen yang menjadi tokoh-tokoh nasional dan dunia, peneliti-peneliti, dan trainer-trainer terkenal. Everything. Termasuk bertemu dengan tokoh-tokoh politik Indonesia. Positif maupun negatif. Anton apriyantono, Anies Baswedan, Taufik Ismail (sastrawan idola saya sejak SMP), Suharna Surapranata, Sugiarto, Susilo Bambang Yudhoyono, Musholi, (Purn) Husein Ibrahim, Marwah Daud Ibrahim, Surya Paloh, Siti Fadhillah Supari, Faisal Basri, Joko Susanto, Amien Rais, Ahmad Fuadi, Prof. Ahmad Mansyur, Endang Gumbira Said, Kemal Istambul, dan masih banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Adakah saya juga pernah bermimpi menginjakkan ke tanah penjajah yang dulu menjajah kita? Tidak. Saya tidak pernah bermimpi demikian. Jepang tidak pernah terbayang oleh saya sekalipun. Yang saya tahu saat dulu adalah bagaimana mendapatkan peringkat pertama. Cukup. Cukup dengan itu, agar memuaskan keinginan saya. Bila mana tidak saya tersesat di tanah orang ini. Tidak mungkin pula saya merasakan begaimana hiruk piruk partai dan perpolitikannya. Hingga akhirnya saya hanya akan berkata, “saya benci dengan politik”. Tidak. Tidak demikian adanya.
Ternyata saya hidup di lingkungan orang-orang seperti itu. Hidup diantara positif dan negatif. Baik dan buruk. Kebencian dan kasih sayang. Kemunafikan dan keikhlasan. Ya, sepertinya saya mengalami semua. Berbagi kisah dengan orang-orang yang aneh. Orang-orang yang menginspirasi. Sedikit. Banyak. Ya, dari manusia saya banyak belajar. Belajar tentang manusia dan mati.
Bilamana kita terjebak pada suatu rutinitas, maka saya pastikan kita akan menjadi seorang yang merugi. Seperti halnya yang disampaikan oleh seorang mantan direktur organisasi yang juga sempat saya pegang, “Alfa, kalau setiap harinya hanya digunakan sebagai waktu kuliah, rapat, dan mengerjakan tugas semata. Pasti kamu termasuk golongan yang merugi. Kenapa? Tidak ada waktu untuk diri kamu sendiri. Aktualisasi diri. Mungkin hanya bermanfaat bagi orang lain. Tapi tubuhmu akan memprotes pada dirimu sendiri.” Ini tentang sebuah kelugasan tubuh berbicara dan kita merelakan diri kita sendiri untuk menjadi seorang “aktivis” yang tidak “aktivis”. Memanjakan diri kepada sebuah idealisme yang tidak pernah kita dapatkan momentum dan arti dari idealisme itu sendiri. Saya lebih mengenalnya dengan sebuah arogansi dalam diri.
Berbicara soal idealisme, maka tak jauh-jauh dari ungkapan Salim A Fillah, “Pada dasarnya manusia adalah tanah gersang. Darinyalah kita belajar bijaksana.” Entah kenapa saya belakangan ini suka sekali dengan ungkapan ini -setelah ungkapan yang saya buat sendiri, “mari merajut mimpi dengan benang Spiderman.” Sebenarnya, saya bosan juga berbicara idealisme. Karena sarat arti. Oh, bukan. Mungkin lebih baik saya bilang meaningless saja. Manusia muda, selalu tegenjot untuk berbicara idealisme, menyanyikan lagu-lagu perjuangan, membicarakan risalah-risalah pergerakan, dan lain halnya sedangkan mereka (mungkin termasuk saya juga) belum mengetahui esensi dari pergerakan itu sendiri, makanya saya katakan, ini tidak lebih dari sekedar arogansi semata.
Tetapi memang begitulah manusia. Saya tidak pernah terbayang untuk bertemu manusia mana. Meskipun saya memiliki peta hidup, tapi tidak menjamin saya akan menemui orang-orang seperti apa? Pemarah? Lemah Lembut? Bijaksana? Perhatian? Pembuat Masalah? Problem Solver? Pencitraan? Pembual? NATO? Ya... semunya, hampir saya temui. Lantas, untuk apa? Saya selalu bertanya dalam sela shalat malam. “Tuhan, untuk apa engkau menciptakan aku dan mempertemukan aku dengan manusia-manusia lain?” Ternyata jawaban ini masuk dalam ungkapan sebelumnya. Ya, untuk belajar bijak.
Tak perlu dari orang bijak kita belajar bijaksana. Karena tak pernah ada jaminan kita akan bijak. Semuanya dikembalikan atas kesadaran kita. Kita mungkin banyak bertemu dengan orang yang senangnya mengintervensi, senangnya mengklaim, senangnya membuat masalah, senangya membuat orang khawatir, senangnya membuat orang jengkel, dan hal lainnya yang negatif. Pasti pernah. Lalu apa yang kita lakukan? Mungkin kita malah menjauhi dan membencinya. Manusia adalah tanah gersang. Kosong. Kalaupun kita membenci, seharusnya kita membenci sifatnya, bukan orangnya. Kalaupun kita tidak menyukai orangnya, bukan dijauhi, tetapi diberikan sikap. Mungkin Itulah kebijaksanaan yang saya pelajari dari orang-orang. Meskipun itu masih sangat sulit saya lakukan. Tetapi, mungkin itulah bijak.
Saya pernah memandang lebih kepada seorang yang sejak dulu saya anggap tokoh. Cerdas dan terampil. Apapun yang ia katakan seperti maklumat yang banyak benarnya (bukan mutlak). Sangat menyenangkan jika berada dengannya. Banyak ilmu yang bisa ditarik darinya. Namun, suatu saat ia berubah menjadi pribadi yang lain. Akankah saya harus menyalahkan dia? Tentu tidak. Dia punya jalan lain dengan hidupnya. Tetapi, pembelajaran saya tentang orang ini akan terus berlanjut. Mau sebaik apapun dia, atau seburuk apapun jadinya. Dia tetaplah manusia yang bisa kita ambil pelajaran. Karena manusia adalah kita.
Semoga bermanfaat.
Terimakasih kepada sahabatku yang memberikan banyak sekali kenangan, Atikah Luthfiyyah, Septian Suhandono, Nazrul Anwar, Muhammad Iqbal Nurul Haqq, Afdhilah Gievari, Aminudi, M. Taher, Bambang Suhadi, Arief Rahman, Ragil Faiturrahman, Fathul Zulmi, Ahmadun, Wahyu Ekasari, Ahmad Jaelani Manurung, Reihan Akira, Syaefuddin, Laela Gianita Veralyn, Miftahul Jannah, Manuel Leonard Sirait, Susi Susanti, Angga Galih Pradana, Dyah Ayu Larasati, Destania Adiyaningtias, dan masih banyak lagi yang membuat saya menjadi seperti saat ini. Termasuk orang-orang yang senantiasa meresapi hidup saya, MR, orang tua, dan keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar