Sumber gambar: google |
Entah kenapa belakangan ini saya sangat menyukai buku-buku filsafat. Mungkin pada akhirnya buku-buku yang “nongkrong” di meja saya adalah buku-buku yang berbau filsafat modern. Meskipun bagi sebagian orang mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu untuk memuaskan keingintahuan sendiri, tanpa menghasilkan apa-apa, saya tetap menyukai filsafat hingga saat ini dengan kerumitan-kerumitan bahasanya.
Muhammad Damm dalam bukunya “Kematian: sebuah risalah tentang eksistensi dan kehidupan” menyatakan bahwa kebenaran yang diterima oleh masyarakat saat ini adalah sebuah repetisi yang diulang terus menerus dan diterima keberadaannya, hingga akhirnya muncullah sebuah interupsi. Hal demikian sebenarnya selalu kita temui di kehidupan bermasyarakat, mungkin ini yang beliau maksudkan dengan kebiasaan atau budaya.
Interupsi yang dimaksudkan sejatinya adalah keberanian mengungkapkan gagasan baru. Dalam konteks perubahan, gagasan ini yang akhirnya menyadarkan masyarakat bahwa ada sisi lain yang salah pada kebenaran yang mereka yakini. Jadilah gagasan baru tersebut diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran yang baru. Kebenaran ini direpetisi lagi hingga muncul apa yang disebut interupsi lagi. Demikian seterusnya.
Saya juga tercengang mendapati tulisannya Deleuze dalam “Niesthze and philosophy”, “In the world nihilsm nihil does not signifiy non-being but priority marily a value of nil. Life takes on a valus of nil insofar as it is denied and depreciated”. Ketika dunia-dunia bergelimpahan dengan penampakan-penampakan, tanpa makna yang mendalam, semua menjadi begitu transparan dan nihilistik. Ya, yang kita lihat di dunia ini adalah penampakan-penampakan saja, dan manusia menjadi aktor penampakan tersebut. Dalam hal ini, ada dunia lain yang mengkonstruksi nilai-nilai kehidupan manusia, ialah kehidupan yang tidak tampak. Bukan berarti dimensi kematian atau kepercayaan seperti yang diyakini oleh orang-orang shaleh. Nihilistik, sesuatu yang tidak disadari oleh orang banyak. Nihilistik ini erat kaitannya dengan kemunculan sosok-sosok jenius sejarah.
Tidak mudah menjadi seorang yang jenius memang. Untuk memahami arti dari kata genius, saya mengacu dalam buku Hegel “The Philosophy of History” yang mengungkapkan “Such are all great historical men –whose own particular aims involve those large issues which are the will of the World-Spirit.” Sosok hebat dalam sejarah tujuan hidupnya selalu melibatkan isu-isu besar, dalam hal ini Hegel menuliskan adanya keinginan Roh-Kehidupan yang membentuk seseorang menjadi jenius. Artinya, seorang yang jenius dilahirkan pada waktu yang tepat dan mampu memberikan interupsi di kala masyarakat mau menerima interupsi tersebut menjadi sebuah kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, interupsi tidak lagi dinilai sebagai sebuah eksistensi kebenaran baru. Pasalnya, interupsi-interupsi ini sudah terlalu banyak dilakukan pada periode waktu yang bersamaan. Untuk itu, saya memahami bahwa repetisi-repetisi interupsi menghadirkan suatu kejenuhan yang mengaburkan nilai-nilai kebenaran tersebut. Contoh yang paling gampang adalah aksi. Ya, aksi. Dulu, aksi demonstrasi terutama pada tahun 1998, dianggap sebagai suatu hal yang sangat heroik. Menggulirkan suatu rezim kekuasaan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Saya katakan, betul sekali, momentum yang dipilih adalah tepat dan cara yang ditempuh pun tepat. Untuk itulah, interupsi-interupsi semacam ini diterima oleh sebagian besar masyarakat sebagai sebuah kebenaran baru yang “laik” untuk diperjuangkan.
0 komentar:
Posting Komentar