Mengapa (Saya) Tidak Suka Dipanggil Aktivis




Tulisan ini berawal dari keresahan saya mengenai kata-kata aktivis. Saya nggak suka aktivis bukan baru-baru ini. Tapi, sudah lama sekali. Terutama sekali sejak asistensi mata kuliah wajib “Pendidikan Agama Islam”.
 
Ini cerita masa lampau
 
Entah kenapa waktu itu handphone saya banyak sekali masuk SMS, saya pun tahu mana yang prioritas dan mana yang kurang prioritas. Lantas saja asisten pengganti menegur saya,
 
“Alfa, coba perhatikan, jangan main hape”
 
“Iya, kak. Maaf, dari tadi ada sms penting”
 
“Simpan dulu! Mentang2 AKTIVIS ya!?” senyumnya yang agak dibuat.
 
*JLEB!
 
Sejak saat itu saya nggak suka disebut aktivis.
 
Perasaan ini kian risih setiap melihat kelakuan kebanyakan teman2 yang mengaku aktivis itu. Sering melintas pertanyaan, “begitu bangganyakah mereka disebut aktivis?” Apa yang telah mereka lakukan sehingga bangga betul. Demo? Terus kenapa? Menyuarakan suara rakyat, tapi ini yang aku temui fakta-faktanya. Mari mengoreksi diri.
 
1.       Konservatif dan defensif
Depend on person. Ya, benar. Tetapi, hal-hal yang saya beberkan ini adalah fakta-fakta yang banyak saya temui. Terutama di kampus. Sekali lagi, tidak semuanya, tapi kebanyakan. Mereka berbicara seolah-olah yang paling tahu di dunia ini. Mengekang pendapat-pandapat orang lain dengan mengambil asumsi-asumsinya sendiri. Ya, mereka kerap menang dalam berdebat. Tapi, kemenangan pendapat mereka jarang sekali diterima kebenarannya. Sia-sia.
 
Sifat konservatif yang berlebihan ini yang cenderung menimbulkan efek jera untuk berdiskusi dengannya. Alih-alih menyampaikan pendapat, baru pertama berbicara saja, orang lain langsung dianggap salah. Pernah suatu waktu sahabat saya menyampaikan pendapat tentang sesuatu di forum, “Bagaimana kalau... bla.. bla... bla...”
 
Lantas apa yang dijawab oleh si oknum. “Jangan hanya meminta doang. Kalau mau kamu yang kerjakan. Padahal, jelas-jelas itu forum mereka buat untuk menyampaikan pendapat. Untuk apa membuat forum semacam itu kalau saat menyampaikan pendapat dicecar juga.
Defensif pada pendapatnya sendiri menimbulkan kekolotan. Sifat seperti ini yang menurut saya sangat menyebalkan. Berhati-hatilah menjadi aktivis.
 
2.       Menyontek
Anyway, saya nggak suci. Jujur saya nggak suci. Saya salah satu korban ujian dengan sms jawaban. Saya jujur. Itu penyesalan terbesar yang pernah saya buat. Dan saya tidak pernah puas dengan hasil NEM saya. Alhasil, berjanjilah saya untuk mengatakan tidak untuk menyontek! Makanya, saya berani untuk menulis kebiasaan terkutuk kali ini.
 
One day, saya sedang makan dengan seorang teman –yang tidak suka juga disebut aktivis- dia mengatakan, “tadi saya sedang ujian. Muak saya, kak.”
 
“lha, kenapa?”
 
“teman sekelas saya nyontek, kak. Yang paling saya benci, aktivis-aktivis di kelas saya juga nyontek”
 
Jujur, dalam hati saya langsung ada yang nulis *Jleb. Ternyata ini nggak hanya saya lihat sendiri. Banyak orang-orang yang memperhatikan, bahwa aktivis itu juga jago nyontek. Mereka yang menolak aksi korupsi atau mempertahankan eksistensi KPK padahal secara sadar melakukan kecurangan-kecurangan sederhana yang berdampak sistem. Ya, saya katakan mereka ini aktivis-aktivis yang “terkutuk”.
 
3.       Mencintai Homogen
Saya pernah membuat suatu tulisan mengenai pergerakan-pergerakan yang mereka lakukan. Mungkin bagi mereka itu agak ekstrim. Ya, saya membuat tulisan tentang penolakan aksi di saat mereka gempor dengan aksi. Karena, saya anggap tidak rasional. Dan itu pembodohan.
Tetapi, tulisan saya itu tidak disukai mereka. Sama halnya pemerintah yang tidak senang didemo oleh mereka. (saya juga pernah melakukan aksi, jadi jangan pikir saya hanya bisa merusak suasana saja). Apa kata mereka, “Kamu apatis sekali.”
 
Ingin sekali saya katakan. “Kalau kalian mengawasi pemerintah. Siapa yang akan mengawasi kelancangan kalian. Tuhan? Kenapa tidak Tuhan saja yang mengawasi pemerintah?” Mereka selalu ingin merasa di zona nyaman. Tidak ada yang mengawasi dengan kehomogenannya. Tidak ada yang berbeda pendapat. “Mengganggu katanya.” Selain itu, yang mengganggu pikiran saya adalah, kebanyakan aktivis ini hanya ingin kesamaan pandangan. Jika ada perbedaan, tidak heran kalau mereka “merengek”. Saya kasihan, bagaimana kalau mereka keluar zona kampus yang luar biasa heterogennya?
 
4.       Tidak Memahami
Duduklah saya di warung kopi sebelah kosan dulu. Saat itu pukul 12 malam. Saya harus begadang karena ada tuga Gambar Teknik yang harus diselesaikan. Sambil menyeruput kopi susu, tiba-tiba hadir tiga orang dengan almamater yang diselempang di pundaknya. Saya pikir, pasti mereka habis mengadakan acara atau memang usai aksi. Pura-pura saya tidak memperhatikan dengan menyamar menjadi anak tingkat 1 yang polos.
 
“Men, jadi kalau tingkat 3, kau mau jadi kadep apa nih?”
 
Oh, anak BEM ternyata.
 
“Hahaha. Kebijakan nasional lah. Gue dari awal sudah di sana. Pasti ditarik disana.”
 
“Hahaha. Organisasi itu penting, Men.”
 
“Iya. Kalau kata dosen gue. IPK itu kuncinya. Organisasi itu melangkahnya”
 
#Beuh. Jadi, ikut organisasi buat ngisi CV nih ceritanya? Kasian yah. Padahal posisinya di kebijakan nasional. Jelas-jelas itu fokus untuk orang-orang yang lantang terhadap kebijakan negara.
 
Contoh yang paling kerap ditemui adalah mereka yang membicarakan secara lantang tentang idealisme, padahal mereka tidak memahami hakikat dari idealisme itu sendiri (mungkin termasuk saya)
 
5.       Peduli dan perasa?
Saya pernah hampir tidak bisa tidur dengan poin ke lima ini. Ada 2 cerita yang saya alami. Pertama, kejadiannya di warung nasi. Saya kenal betul dengan orang yang datang barusan. Ya, dia aktivis yang “tersohor” namanya di kalangannya. Saya sedang mengantri. Memang tidak begitu lama. Tapi, tiba-tiba dia memilih celah lain dan menyeru kepada penjaga warung.
 
“Mbak, saya pake ayam ya 2. Sama es Teh 2.”
 
Sepele memang. Tapi, bukan saya saja yang menyaksikan. Mungkin saya, mengerti bahwa dia lapar sekali. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang berada di depan saya. Ini yang mereka sebut “aktvis yang menyebalkan”.
 
Kejadian kedua adalah di dunia maya. Saya pernah menjabat sebagai ketua sebuah organisasi. Di akhir masa kepengurusan. Seorang wakil saya (sebut saja namanya putih) menulis di dinding facebook saya yang intinya, “ayo kita beresin sekret yuk, sebelum ketua baru menempati sekret organsisasi kita.” Tiba-tiba ada seseorang yang komen. “Ayo, putih. Setelah itu kita pindah ke sekret sebelah ya.” Ngerti nggak maksudnya apa? Ya, wakil saya akan direkrut untuk menjadi pengurus di organisasi lain. Mungkin sekertaris atau sepantarannya. Saya nggak peduli. Tapi cara yang dilakukannya itu, saya pikir sangat tidak etis. Lantas apa yang saya lakukan. Saya cukup memberikan “like” pada komennya. Mungkin dia pikir saya menyukai komennya.
 
6.       Mereka yang bepura-pura
Notabene orang-orang yang saya ceritakan adalah orang-orang yang berpura-pura. Antara titel dan kelakuan tidak sebanding. Jadilah mereka bagaikan topeng yang selalu terlihat aneh di mata saya. Lucu tapi. Karena tidak nyaman dengan sikapnya sendiri. Apa susahnya menjadi diri sendiri? Berusaha menutupi karakter adalah bentuk pembodohan pada diri sendiri.
 
7.       Membetuk golongan elit
Hampir semua “rakyat jelata” –seperti saya- mengungkapkan hal yang sama. “aktivis itu selalu membentuk golongan elit”. Ini adalah turunan dari sikap mencintai homogen. Mereka senang dengan lingkungannya. Dan enggan masuk ke dunia yang lebih heterogen. Karena tadi, terlalu cengeng jika menerima pendapat orang yang berbeda. Padahal, sejatinya, orang yang dirusuhkan olehnya menjadi suara rakyat adalah suara-suara rakyat jelata yang heterogen ini. Miris sekali.
 
Golongan elit ini banyak rahasia yang terpendam. Dan “rakyat jelata” tidak perlu tahu rahasia pergerakan mereka. Lalu, apa bedanya dengan rahasia negara yang selalu mereka ingin cari tahu?
 
8.       Bukan Aktivis
Hal terakhir yang membuat saya tidak suka disebut aktivis adalah karena saya memang bukan aktivis. Titik. Dan saya tidak pernah mengaku menjadi seorang aktivis. Tidak pernah. Malu rasanya mengaku menjadi seorang aktivis dengan karakter yang tiada bedanya dengan rakyat biasa.
Teman, aktivis itu bukan dari seberapa banyak teman melakukan demo. Bukan dari seberapa banyak ke luar negeri. Bukan juga dari banyaknya piagam yang kita dapatkan dari lomba. Atau besarnya keuntungan dari usaha yang kita hasilkan. Bukan sama sekali. Ketika kita berbicara tentang aktivis maka kita berbicara tentang karakter.
 
Terakhir saya mendapatkan publikasi, “Andakah aktivis sejati? Mari bergabung dengan beasiswa xxx”
Lantas saya komen, “Aku bukan aktivis”
 
Saya sedang dikontrak oleh salah satu beasiswa. Awalnya saya berat juga membaca jati dirinya: Aktivis islam, aktivis pergerakan, mahasiswa berprestasi, dan kekeluargaan. Wah, berat sangat bagi saya dengan titel aktivis. Karena saya cenderung tidak suka. Lantas saya mendapatkan jawaban, aktivis itu bukan titel, tapi karakter.
 
Kitakah aktivis sejati? Pelajari dulu karakter kita.
 
Mohon maaf apabila ada yang tersakiti. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyakiti orang. Apalagi diri saya sendiri. Bukan juga untuk mengkhianati pergerakan mahasiswa. Tulisan ini hanya untuk menyadarkan diri kita bersama, akan arti dari Aktivis itu sendiri.
 
Wallahu’alam.
Mari kita terbuka. Saya mencintai moderasi.

3 komentar:

  1. tulisan bagus fa, semoga bisa menjadi kritik yang membangun :)

    BalasHapus
  2. bagus mas, saya kadang juga berpikir brgitu, apalagi yang ingin menambah d CV

    BalasHapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut