Dimensi Waktu

Ini bukan cerita tentang mesin waktu Doraemon.

Bukan pula film lorong waktu.

Atau tentang teori relativitas Einstein.

Ini hanya tentang waktu dalam pandangan sederhana saya.

Bahwa sejarah itu tepat berada di belakang kita, bisa dilihat tetapi tidak bisa dijamah. Saat saya atau kamu membaca tulisan ini, maka kita berada pada batas antara masa lalu dan masa depan. Bahasa sederhananya sekarang.

Sesekali saya atau kamu berhenti pada masa sekarang, kemudian menengok belakang. Sesekali kita tertawa, kemudian menangis, menarik napas dalam-dalam, dan menjadi jauh lebih tenang. Itu lah sejarah, menyimpan sebuah perasaan yang bahkan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, bahkan air mata.

Hal yang paling saya benci dari sebuah pertemuan adalah perpisahan. Karena setelah kehidupan akan ada kematian. Setelah bermimpi akan ada terjaga. Setelah tertawa akan ada tangisan. Ini lah sejarah, sebuah sari-sari masa lalu.

Tahu kah kamu, mengapa saya tidak suka pada sebuah kenangan manis? Karena, kenangan manis akan membuat kita menangis, atau setidaknya sedih. Masa-masa yang terlalu indah untuk dilewati, sebuah bagian hidup yang telah menjadi abu.

Waktu.

Sebuah dimensi yang tak pernah terpecahkan teka-tekinya. Bahkan oleh sejuta pandai arloji di negeri seberang sekali pun, tak ada yang bisa mengurai misteri sang waktu.

Ah, entah kenapa saya melankolis sekali malam ini, seakan jam dinding menceritakan sesuatu padaku tentang inspirasinya. Tentang sejarah, masa kini, dan masa depan. Semua menjadi satu kesatuan misteri. Waktu.

Entah sudah berapa banyak lembaran sejarah yang telah saya habiskan untuk mencatat semua kejadian masa lalu. Dari kecil lugu, tukang main orang-orangan, remaja ababil yang malu-malu mengenal wanita, hingga dewasa yang terlalu banyak berpikir, tua, dan mati.

Manusia, selalu terpukul oleh waktu.