Aksel Zoo #1: Laila Gianita Veralyn

Laila Gianita Veralyn alias Pia
Saya tidak berani mengartikan nama ini. Karena saya memang tidak tahu. Entah karena saya lupa atau memang si empunya nama tidak tahu juga. Maka, baiklah kita lupakan sejenak arti nama itu. Sebab ia tidak penting. Apalah arti sebuah nama, apalagi nama itu tidak penting. Oke, baik, kita lupakan.
 
Laila Gianita Veralyn atau yang biasa disingkat LGV (Lady Genius Veil: ngasal) pada awalnya saya panggil Laila, namun seiring berjalannya waktu, nama kecilnya saya dapatkan juga. Pia. Kenapa harus Pia? Entahlah, saya pun merasa aneh. Orang-orang awam biasa memanggilnya Vera. Tetapi menurut saya nama itu terlalu bagus, terlebih lagi untuk sepotong Pia. Saya tidak rela.
 
Sebelum saya menuliskan sedikit profil singkat yang belum pernah dimuat di buku manapun (karena dia belum terkenal), maka saya menanyakan perihal ini kepada Pia. Katanya, ceritakanlah hal yang baik-baik saja. Enak saja, saya bilang. Kita harus adil, hitam katakan hitam, putih katakan putih. Jangan hitam putih kuning. #eh? Tetapi karena saya terdesak alasan reputasi dia sebagai calon hewan dokter –apa dokter hewan ya?– dan khawatir dibaca calon suami, maka saya harus berbaik hati kepadanya. Tapi sedikit saja.
 
Seperti singkatan ngasal yang saya buat di atas, Pia adalah lady, artinya perempuan. Terserah anda mau percaya atau tidak. Menurut banyak orang, Pia punya pesona tersendiri sebagai wanita. Makanya saya menyebutnya ladybukan girl, apalagi boy. Genius hampir mirip dengan genus, yang di dalam taksonomi berada di atas spesies. Artinya, Pia adalah orang yang menyukai Biologi. Maaf kalau nggak nyambung. Karena menurut saya, orang yang pandai biologi adalah orang yang jenius. Dan Pia adalah wanita yang jenius, apalagi dalam hal musik. Sedangkan, veilartinya kerudung. Kenapa tidak hijab? Karena konteks singkatannya LGV, bukan LGH (Sesimpel itu kah?). Saya belum pernah melihat Pia tanpa kerudung, selain di foto yang pernah diperlihatkannya semasa SMP. Semasa cupu. Meskipun saya yakin sekarang dia masih cupu. Jadilah dia Lady Genius Veil.
 
Saya mengenal Pia, semenjak masuk SMA. Saat itu dia tersohor sebagai wanita jenius dari SMP seberang. SMP yang SMPnya bersaingan dengan SMP saya. Saya tahu, Pia adalah seorang yang pendiam. Tapi saya yakin dia orang yang mudah terkontaminasi. Ternyata salah. Dia sudah terkontaminasi dari dulu. Oke, baik. Kalau Pia menatap saya pasti dengan penuh antusias, saya pikir dia suka saya. Ternyata salah. Dia memang seorang yang antusias (kecewa). Dua hal yang selalu saya ingat, Pia tidak boleh ketawa lama dan mendengar musik. Kalau ketawa, dia pasti akan memegang hidungnya. Dan itu membuatnya tersiksa dan sakit perut. Kenapa demikian? Entahlah, saya mendapati prilaku aneh dari cumi-cumi ini.
 
Cumi-cumi adalah tuduhan yang saya berikan kepada dia! Karena perihal kedua tadi: Tidak bisa mendengarkan musik. Saat dia mendengarkan musik, kepalanya akan bergerak kiri kanan, tangannya seolah-olah menekan tuts keyboard piano. Sembari tubuhnya berjoged ke kiri dan ke kanan. Kemudian saya tepuk pundaknya, dengan antusias saya bertanya, “Engkau kenapa, wahai wanita jenius yang selalu mengenakan kerudung?”
 
“Badanku tidak bisa berhenti bergerak, seperti ubur-ubur berenang”
“Bukan. Itu seperti cumi-cumi”
“Oke, baik.”
“Yes!”
 
Pia adalah wanita yang sering saya ganggu di kelas setelah Yati, Anna, dan Vitri. Itu artinya, saya sering mengganggu semua wanita kelas. #shy Tetapi, sejujurnya, saya baru bisa membuat nangis dua orang wanita di kelas: Pia dan Anna. Yah, itulah salah satu kegagalan besar dalam hidup saya.
 
Suatu ketika, saya sedang membuat essai untuk dilombakan. Kertas itu sengaja saya simpan di atas meja. Sekedar untuk pamer. Kemudian, Pia lewat bersama Anna. Anna cuek, karena baru saya jahili. Pia mendekati, “Al, ini essaimu? Mau liat dong.”
 
“Oh, silahkan. Dengan senang hati, mohon koreksinya ya,” saya bijak.
 
Berlalu lah mereka menuju kantin, saya sedang sibuk dengan Ibe yang sedari tadi bercerita yang menurutnya lucu. Menurut saya konyol. Menurut Iqbal autis. Menurut Rolan aneh. Menurut Dayat biasa aja. Okelah, bahasan kita bukan Ibe, tapi Pia. #lossOfFocus
 
Sekembalinya Pia dan Anna dari kantin, saya bertanya, apakah sudah dibaca. Belum, jawabnya. Saya mau memperbaiki dulu, kata saya. Nanti dulu, sebentar, kata Pia. Oke, baik. Kemudian, Pia kembali keluar kelas. Saya iseng, saya ambil kertas itu, saya lipat dan memasukkan ke dalam saku celana. Kembalilah mereka dengan wajah ceria. Wajah saya cool, biasa aja. Pia kaget, setelah mendapati kertas itu hilang.
 
“Al!”
“Hoi, ada apa, wahai wanita jenius yang selalu mengenakan kerudung?”
“Kertasmu udah diambil, Al?”
“Kertas apa? Esai? Mana saya tau?”
“Yang benar Al?” wajahnya panik beneran.
“Loh, kan kamu yang bawa tadi,” wajah saya panik dusta.
 
Pia berlalu, dia berlari ke kantin yang agak jauh dari kelas. Saya kembali bermain. Pia datang lagi, masih dengan wajah paniknya. Bersama Anna. Ada, tanyaku. Belum, jawabnya datar. Beneran, Al, tanya Anna. Ngapain saya bohong, dusta saya. Oke, baik. Mereka balik lagi ke kantin. Terus ke kelas lagi, menanyakan hal yang sama. Saya mengelak. Sampai akhirnya mereka datang lagi.
 
“Ini ya?” saya mengeluarkan kertas sambil tersenyum licik.
 
Pia mendengus, kemudian berbalik kemejanya. Duduk. Tangannya dilipat. Kepalanya menunduk. Oh, saya tau, itu posisi seorang murid yang menangis dari sejak SD sampai SMA. Saya juga pernah begitu dulu di SMP (Bodoh! Itu aib!). Anna mengejar Pia, kemudian jongkok, dan berbicara dari celah lipatan tangan Pia. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Anna membujuk Pia. Pia hanya menggoyang-goyangkan badannya, tanda tidak mau diganggu. Anna datang kepada saya, Oalah mati saya, ini insiden labrak pertama yang saya alami.
 
“Al, tanggung jawab! Pia nangis tuh.”
“Ye, namanya juga becanda!” saya malah naik pitam.
“Becandamu itu berlebihan. Minta maaf sana”
“Pantang bagi saya minta maaf sama wanita,” keras kepala saya.
“Kamu tau, Pia bolak-balik ke kantin tadi cuma buat nyari kertasmu itu.”
“Terus kenapa?”
“Dia mencari sampai di bawah gayung.”
 
Apa? Di bawah gayung? Okelah, saya luluh karena dia begitu konyol, bagaimana mungkin mencari kertas di bawah gayung WC. Saya harus membenarkan mindset-nya yang mulai ngaco. “Pia, minta maaf ya,” saya merajuk. Pia hanya diam. Saya merajuk lagi, menunggu dia mengeluarkan kata “Pergi!” sambil sedikit berteriak. Akan senang sekali saya. Ternyata tidak, dia bilang, “Saya tidak akan bicara kalau lagi marah.”
 
Terus kenapa kamu bicara? Autis, eh, maaf.
 
Begitulah Pia, seorang gadis sederhana yang sangat menyukai musik, biologi, dan bahasa inggris. Speak-nya bagus banget. Saya terkadang tidak bisa mengerti. “Ini aksen British,” katanya. British itu apa, saya saja tidak tahu. Oke, maafkanlah. Beberapa waktu yang lalu, saya meminta dia mentranslet abstrak jurnal saya. Dia mentranslet. Kemudian, saya memperlihatkan ke dosen saya dengan bangga dan pede. “Kamu ngaco ya?” katanya tajam. Bukan saya pak, teman saya, sanggah saya. Dosen saya pucat pasi.
 
Kemudian, Pia sudah lulus, sekarang dia koas, sebelum jadi dokter hewan. Terakhir, saat saya hubungi untuk membuat tulisan ini, dia sedang masak. “Bisa masak?” tanya saya. “Itu pertanyaan sensitif,” katanya.Oh, berarti dia belum bisa masak. Oke, baik. Kurang dan lebihnya, mohon maaf.

8 komentar:

  1. ceritamu sangat bagus dan detail untuk menceritakan vera, Al *curiga

    saya suka dengan kata-kata "panik dusta". keren sekali hahaha..

    *ehm*

    oke, baik. itu saja. ditunggu lagi postingan selanjutnya. kurang dan lebihnya, mohon maaf.

    BalasHapus
  2. Wuaaa...
    Mas denakeren (terpaksa),,
    Itu gaya nulis ngasal saya, Mas e. Terinspirasi dari banyak penulis.

    Panik Dusta itu apa, Mas e?

    Okelah, kita tunggu postingan selanjutnya. haha

    BalasHapus
  3. Panik Dusta? kalau menurut saya, sudah panik, dusta lagi. sungguh hina dia hahaha..

    eh, bukannya itu kamu yang buat istilahnya?

    sudahlah, ngga usah terpaksa gitu. saya aja ngga terpaksa kok dan saya ngga memaksa kamu untuk terpaksa, tapi ada baiknya kalau kamu ngga terpaksa karena saya ngga mau lihat orang memaksakan diri. akui sajalah hahaha..

    *ehm*

    okelah, saya tunggu kalo begitu

    BalasHapus
  4. Kepada Mas denakeren:
    Panik Dusta itu memang istilah yang saya buat, tapi tanpa sadar, seperti anak kecil yang ngoceh nggak karuan. Tapi saya sudah dewasa. #promosi

    Baiklah, saya tidak akan terpaksa kalau tidak dipaksa. Maka jangan memaksa, apalagi memaksa untuk tidak terpaksa. haha.

    Kepada kamuanaktambang:
    Wah, makasih kamuanaktambang alias Kamil. #eh

    BalasHapus
  5. sungguh Pia, saya sebagai teman genk Alfa saat ini memang mengakui kalau Alfa adalah anak paling asem dan hobi bully orang. bersyukur sekali ya kau bisa tabah, Pia... :D

    BalasHapus
  6. Dan sekarang gw merenung "bisa ya, gue punya sobat kayak gini" :p

    BalasHapus
  7. Kepada Rival saya (saya tidak bisa menyebut namanya, karena kami sedang bertikai):

    Kamu bullly aku lebih parah. Awas aja, ya. Setelah 16 orang selesai saya bully (termasuk saya), giliran kamu. *ketawa kecak pinggang.

    Ichigo wannabefighter withouthim: Maaf ya, ada without him, soalnya si him akan nikah. haha. Gue juga merenung, kapan kita berteman? haha

    BalasHapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut