Apa yang akan Anda rasakan, ketika berada di kota besar pertama kali? Selain panorama lingkungan, ternyata ketimpangan sosial lebih besar lagi terjadi di kota-kota besar. Mohon izin, saya meminjam hasil cuap-cuap saya dengan seorang teman tiga setengah tahun lalu, “Beneran, Fa, baru disini saya liat pengamen, pengemis, dan anak-anak terlantar. Biasanya saya hanya liat di TV waktu di Kampung.” Ya, kami anak kampung. Kami bangga menjadi anak kampung.
Di kota besar ini kami –saya pun termasuk– banyak mendapatkan pelajaran tentang modernisasi. Ah, apa pula itu? Entahlah, saya belum punya padanan kata yang tepat. Ia melintas begitu saja di benak. Bangunan-bangunan yang modern, mobil-mobil, buku-buku, segalanya serba modern, termasuk manusia. Saya lebih senang menyoroti mahasiswa, karena saya mahasiswa di salah satu institusi pendidikan negeri (kita acuhkan sementara tentang ketidakjelasan badan hukum pendidikan). Institusi pendidikan yang selalu menyambut mahasiswanya dengan kata, “SELAMAT DATANG PUTRA-PUTRI TERBAIK BANGSA”. Ini membuat bulu kuduk saya berdiri, dulu. Entahlah, saya pikir hal yang sama juga akan dikoarkan kepada seluruh mahasiswa baru, termasuk universitas di daerah saya.
Mahasiswa. Beragam. Apa lagi saya berada di institusi yang mahasiswanya sebagian besar berada di remote area –mencukil istilah dosen bahasa inggris saya– jadi jelas sudah, beragam kebisaannya. Kita kembali pada pokok bahasan: realita sosial kota besar. Sejak awal di kampus, saya mengenal lebih dini banyak aktivis (mungkin ini semacam pengkaderan. Tak tahulah). Banyak orasi yang mengagumkan. Banyak aksi yang mengobarkan semangat. Banyak ini, banyak itu. Politik kampus lah. Partailah, apalah semua itu, saya terlalu dungu untuk memahami ini semua.
Saya hanya ingin sederhana berpikir saja. Tak ingin terlalu dalam menjemput parade-parade pergerakan mahasiswa. Saya hanya ingin mengkritisi saja, kiranya sudi ketika yang merasa aktivis saya ingatkan beberapa hal. Sehingga tidak ada lagi yang marah-marah, melarang saya untuk menulis, atau memusuhi saya seperti halnya seorang kriminil. Saya terima, selama saya tidak berpegang kepada kebenaran dan realita. Mohon maaf.
Saya atau kita sering melihat aksi-aksi kemanusiaan yang diliput oleh media –dan saya yakin, banyak aksi yang tidak sempat atau memang dirasa tidak menarik untuk diliput oleh wartawan. Terus terang, saya sangat terharu. Sungguh, terharu. Mereka (tidak semuanya) mengatasnamakan rakyat yang kelaparan, buta huruf, terlantarkan, dan terdzolimi. Banyak berkas data yang mereka kumpulkan. Semua. Semuanya disatukan menjadi sebuah tuntutan (dan semoga sistem pencerdasan aksi masih digunakan dengan benar, agar yang lainnya tidak hanya bersuara saja). Tuntutan kepada pemerintah. Kira-kira begini:
“Wahai yang sedang duduk berpusing memikirkan rakyatnya di kursi pemerintahan sana. Kami menuntut janji yang pernah Anda ucapkan kepada kami. Memberantas kemiskinan dan buta huruf! Banyak kelaparan, banyak pengangguran, banyak yang tidak layak di Indonesia ini! Tuntaskan kasus korupsi yang menjerat beradarah bangsa ini! Kami meminta pertanggung jawaban itu! Jika tidak mampu, silahkan turun dari kursi itu –dan digantikan dengan yang lain.”
Jujur. Ini kata-kata saya saja. Saya tidak bisa membikin kata-kata yang lebih baik dari mereka, para aktivis. Tapi, saya jamin, esensinya sama. Setidaknya mirip. Ya, bagus betul tuntutan itu. Kita acuhkan juga dulu apa yang sekiranya akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang ketika mereka menjabat, seperti yang terjadi pada para sebagian masa aksi demonstrasi 1998 itu. Mereka yang koruptor, baik kentara maupun tidak.
Ini kisah pribadi saya, jadi bolehlah saya share:
Ketika di sepanjang jalan mahasiswa, saya diboncengi, aktivis, teman saya yang tidak enak disebutkan namanya. Tiba-tiba ia berhenti di sebuah warung makan.
“Fa, tunggu disini.”
Dia segera turun dan mengambil kunci motornya. Dia masuk untuk membeli nasi.
Saya memperhatikan abang-abang gondrong yang sedang memegang kardus. Beliau seorang tukang parkir, tanpa peluit seperti pada umumnya. Beliau melihat saya yang duduk di atas motor yang terparkir tepat depan warung. Sepertinya beliau hendak meletakkan kardus tersebut –kardus itu digunakan untuk menutupi jok motor, selain untuk menandai bahwa motor terparkir di wilayahnya, juga untuk mencegah kebasahan sekiranya gerimis. Beliau tidak enak menghampiri, apalagi saya.
Oh, mungkin sudah tugasnya. Saya mengalah dan turun.
Dia menghampiri motor teman saya tanpa ekspresi. Kaku. Dan pergi lagi setelah meletakkan potongan kardus itu di jok motor saya. Saya pun hanya memperhatikan.
Tak lama, teman saya datang.
Dia kaget, “Fa, kok lu turun sih? Kan gue udah suruh nunggu di atas motor”
Akhirnya saya mengerti, dia menginginkan saya duduk di atas jok biar tidak kena ongkos parkir. Saya terdiam, bingung mau tersenyum. Akhirnya datar.
Petugas parkir itu datang lagi. Dan mengambil potongan kardusnya, sambil membantu mendorong motor ke belakang.
“Pelan-pelan dong, Bang!” Katanya dengan nada kesal.
Setelah menyalakan mesin motornya, dia memberikan uang kepada tukang parkir. Saya memperhatikan 500 IDR atau setara dengan “Gope”. Saya naik di jok belakang. Motor melaju.
“Dimana-mana ada tukang parkir. Di jalan, di warung, di hotel, di bank, bahkan di toilet umum dan musholah pun ada tukang parkirnya. Heran gue? Apa semua jadi privatisasi?” Katanya masih dalam nada sebal.
Saya terdiam sebentar. “Ini gue ganti gope-nya”
“Nggak usah. Kayak preman aja itu, maen nagih-nagih,” gerutunya.
Saya terdiam dan bermain dalam pemikiran sederhana, layaknya seorang awam.
“Katanya aktivis sosial, pelindung rakyat, menuntut kesejahteraan rakyat. Masa cuma dimintai duit gope aja nggak ikhlas, beratnya setengah mati. Kayak nggak ngerti aja, padahal dalam tuntutannya menginginkan terbukanya lapangan pekerjaan. Kalau mereka ada pekerjaan lain, mana mungkin mereka mau jadi tukang parkir. Seharusnya ini sudah dimengerti jauh-jauh hari. Jauh sebelum mereka menuntut ke pemerintah. Masa rakyat yang nggak berpendidikan tinggi yang harus mengerti? Meminta ke atas nggak mau membantu yang dibawah.”
Kami pulang. Dan kejadian serupa sering saya temui di kehidupan-kehidupan saya di kampus. Mungkin termasuk saya ketika khilaf. Lebih memilih parkir jauh-jauh yang tidak ada tukang parkirnya, ketimbang parkir di tempat yang sudah “dikuasai” mereka.
Kawan, ini hanya segelintir kisah sederhana tentang realitas sosial antara aktivis dan rakyat yang dibelanya. Sebenarnya masih banyak lagi, diantaranya:
1. Lebih memilih berbelanja di mini market di banding ke toko kelontongan. Gengsi katanya. Padahal mini market murni untuk keuntungan semata, sedangkan toko kelontongan adalah tempat si pemilik –rakyat kecil– menggantungkan hidupnya.
2. Mengatakan tidak untuk memberikan uang kepada anak-anak terlantar –yang mengemis atau mengamen– padahal saya yakin banyak diantara mereka yang masih sanggup mengeluarkan barang seribu atau dua ribu rupiah. Ada alasan paling kuat yang saya dapat, tentang peraturan pemerintah yang melarang untuk memberikan uang kepada anak terlantar, agar populasi mereka tidak banyak katanya. Saya dahulu menelan saja. Tetapi ternyata tidak, saya menyadari ini ketika menyaksikan sahabat saya dari Lampung. Ia memberikan uang sambil berbincang-bincang dengan anak-anak tersebut. “Saya tahu, mereka tidak bekerja untuk dirinya sendiri. Tetapi, hati nurani manusia seharusnya ikut iba melihatnya,” katanya santun. Saya menyadari, peraturan itu tidak mutlak benarnya, karena tidak dibarengi dengan fasilitas yang tampak. Mereka anak yang terlantar akan makan apa kalau tidak difasilitasi? Seharusnya kita menyadari itu, termasuk saya.
3. Marah-marah kepada supir angkot yang ngetem lama dan sembarangan. Padahal, mereka berbuat demikian selain karena dampak dari tidak adanya pendidikan yang lebih tinggi, dengan demikian, pikir mereka akan mendapatkan banyak uang –dengan menunggu penumpangnya penuh.
Ya, demikianlah pemikiran sederhana saya sebagai seorang yang bukan aktivis. Semoga dapat diterima dengan lapang dada. Jika memang masih ada yang keberatan saya menulis semacam ini lagi, mohon berikan alasan yang lebih logis dari saya, dan mohon jangan bawa kepentingan kelompok. Tolong.
Mohon maaf apabila ada yang merasa tersakiti. Tidak ada niat untuk itu, tidak ada niat untuk mengkhianati pergerakan mahasiswa. Apalagi menyakiti diri sendiri. Saya hanya ingin mengingatkan saja, hal-hal sederhana ini kerap terjadi kawan –sekiranya masih menganggap saya kawan. Semoga ada manfaatnya, Terimakasih.
Wallahu’alam
Saya mengharagi perbedaan pendapat yang intelek.
0 komentar:
Posting Komentar