Saat di Ginkakujin Temple |
Hal ini sering gw rasakan banget, saat gw lagi di Kyoto, sangat banyak perbedaan dengan peraturan yang ada di Indonesia. Satu hal yang bikin gw heran nggak karuan adalah tentang lalu lintasnya. Kenapa?
1. Orang jepang -kebetulan saat itu gw lagi di Kyoto- paling suka jalan, sepertinya mereka lebih menghargai apa yang ada pada dirinya dari pada harus beragantung dan bermalas-malasan dengan teknologi. Padahal, gw waktu itu lagi musim gugur, suhu yang paling tepat buat malas-malasan. Jelas saja, harapan hidup orang Kyoto mencapai rata-rata 91 tahun.
2. Nggak ada kendaraan yang ukuran family, semuanya kendaraan pribadi. Padahal, jalanan mereka cukup lebar (lebih malah) untuk ukuran mobil yang besar. Tapi, mereka lebih mernyukai mobil dengan ukuran ekonomis (seukuran dengan garasinya juga yang minimalis, harga tanah mahal, euy). Itupun, populasinya sangat jarang. Pun kalau ada satu atau dua motor, plus mobilnya. Jadi yang namanya macet, kemungkinannya kecilllllllll banget. Kendaraan-kendaraan mereka tergolong antik, terutama taksinya, seperti mobil tahun 70-an, tapi nggak berarti mesinnya mesin tua.
3. Penguasa jalan pertama adalah pejalan kaki, penguasa kedua adalah sepeda, penguasa ketiga adalah sepeda motor, penguasa keempat adalah mobil pribadi, penguasa kelima adalah mobil besar termasuk bus antar wilayahnya. Gw pernah waktu itu jalan ke Innomouri di Universitas Kyoto, masih beberapa meter dari pertigaan jalan ada mobil yang mau lewat, tiba-tiba dia berhenti. Gw heran dong, ini orang kenapa? Ternyata dia nungguin gw lewat dulu, padahal gw masih 5 meteran dari penyebrangan. Si supir memberikan senyumannya saat aku tengok ke arahnya. Ini nilai kesopanan yang nggak pernah aku dapatkan di negaraku sendiri.
Taxi di Jepang |
Masyarakat gemar bersepeda |
Mobil minimalis Jepang |
Dan masih banyak lagi, keunikan keunikan etika yang dimiliki oleh orang Jepang.
Bagaimana dengan rasa nasionalisme mereka? Gw rasa nggak perlu ditanya lagi dah. Mereka paling anti belajar bahasa inggris, bagi mereka itu nggak penting. Dalam mindset mereka, "Ngapain gw belajar bahasa inggris? Gw nggak perlu teknologi dari barat, buktinya banyak teknologi yang dihasilkan dari negara gw. Kalau mau belajar dari gw, bukan gw yang harus mempelajari bahasa lw, tapi lw yang harus belajar bahasa gw." Ya, ada juga c yang bisa bahasa inggris, paling kaum intelektualnya yang terpaksa harus belajar bahasa inggris karena harus berinteraksi dengan dosen-dosen asing, dll. Selebihnya, kalaupun bisa, paling mereka belajar dari game-game yang mereka mainkan: main menu, enter, button right, left, hold, dll (hehe).
Pernah suatu saat, gw tersesat pas lagi mau ke Ginkakujin dari Ginkaquin. Gw bingung dong, enggak ada tulisan yang bisa gw baca, kanjiiiiiiiiiiiiii semua, ada hiragananya juga sih, tapi kan tetap aja, GW ENGGAK NGERTI!!! Alhasil, gw nanya orang yang lewat. Gw masih ingat banget, tuh orang lagi jalan dengan hadsetnya, dengan topi mirip yang dipake Rio Febrian (Entah Rio febrian yang ngikutin dia, atau dia yang ngikutin rio febrian), bajunya warna krem, sepatunya putih kayak sepatu yang sering dikenakan yakuza. And then, gw nanya, "Excuse me, brother. Can you speak in English?" He said, "Oh ya, of course. Little, just a little." "Can you tell me the way to find Ginkakujin Temple?" "Oh, Ginkakujin Temple, ha? OK, just follow the people. You right, and then left.. jojo ba jojo ba jojo ba jojo ba (pake bahasa jepang, red)."
Gw hanya ngangguk-ngangguk aja, seraya berkata, "haik!" yang berulang-ulang.
Inti yang mau gw sampaiin, ada yang salah saat gw pulang. Gw selalu beranggapan, bahwa Indonesia seharusnya begini, bahwa Indoneseia seharusnya begitu. Harus itu harus! Sehingga, saat gw nggak dapetin hal-hal yang gw nggak dapatin di Jepang, terkadang gw mengumpat Indonesia meskipun di hati gw sendiri. Misalkan contohnya, di kota gw (Bogor, red), kendaraannya padaaaaaat banget, apalagi angkotnya. Gw biasa jalan kaki dari kampus, suatu saat pas gw mau pulang, gw mau nyebrang, nunggunya lamaaaaa banget! Alhasil, gw memberanikan diri nyeberang dengan mengangkat tangan gw. Bukannya si angkot mempelambat laju kendaraannya, malah semakin mempercepat. Alhasil, gw keserempet. Enggak ada kata maaf sedikit pun, enggak ada senyum sedikit pun. Berlalu begitu aja. Dalam hati gw berkata, "Dasar orang Indonesia!"
Ini enggak benar, dan enggak bisa dibiarin!
Ada yang salah ketika seorang mahasiswa pulang dari luar negeri. Otaknya seperti dicuci, dan dimasukkan hal baru yang terdoktrin secara cepat dan mengakar kuat. Alhasil, tanah air sendiri enggak dihargai. Ternyata ini enggak terjadi hanya pada gw doang, temang-teman gw yang baru dari Jerman, Thailand, dari Malaysia sekalipun, selalu membandingkan hal itu, dan bertanya, "Kenapa gw harus membela negara gw sendiri? Padahal banyak hal yang enggak benarnya!"
Gw semakin miris mendengar hal itu, kalau gw bandingin dengan orang-orang hebat dulu: Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan lainnya yang selalu mencintai Indonesia apapun bentuknya. Mungkin beda masa, beda sejarah, beda pula semangat perjuangannya. Yang pasti, yang gw rasain, ada yang salah dengan semangat perjuangan kita saat ini. Ada yang hilang semangat yang dulu.
Saat ini, gw hanya berpikir, "Mending gw nggak usah ke luar negeri dari pada harus mengumpat negaraku sendiri!" Buat yang belum sempat kesana, pasti akan berkata "Ambil pelajaran aja dari sana untuk membangun negara sendiri!" Tapi enggak kayak gitu, tekanan dari dalam hati yang terbiasa dimanjakan oleh gaya hidup yang serba teratur dari negara luar akan mengalahkan nalar kita. Gw sih ngerekomendasiin banget, orang yang akan keluar negeri adalah orang yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, hal tersebut agar dia bisa bertahan dengan idealismenya. Membanggakan keunggulan negaranya. Dan pulang membawa hal yang bisa dilakukan untuk merubah negaranya sendiri.
Gw khawatir, hal itu yang enggak dimiliki oleh aparat DPR kita saat studi banding ke luar.
Studi banding DPR 1 |
Membahas Studi Banding DPR |
Studi Bandig DPR2 |
Hello Brother, I completely agree with you. Like your opinion. Success.
BalasHapus