‘Hutan?’ Bathin Hen, “kita hendak
kemana, Pak?” Toi menoleh ke belakang. Ia memperhatikan mobil merah yang
dikemudi Bas masih mengekor. Askar
tersenyum melirik ke arah kaca spion, kemudian mengintip lewat kaca di
depannya. “Posko militer terdekat memang agak tersembunyi ke dalam. Jangan
kuatir.”
Toi memperhatikan Arloji yang dikenakan
Askar di depannya. Sekitar jam 7
lewat. Dua Askar yang lainnya duduk tegap menghadap ke depan. Mereka semua
dilengkapi sepucuk senjata api. “Kejadian seperti ini sudah lazim terjadi,
Khun.”
“Oleh?”
“Mereka yang tidak bertanggung jawab.”
Toi menelan ludahnya. “Korban dari pihak?”
“Kadang Askar, kadang warga Pattani. Lebih
banyak tak dikenal.”
Mobil mereka memasuki pekarangan sebuah
posko militer. Beberapa camp berdiri di sana. Beberapa tentara sedang
berjaga-jaga. Posko ini lebih tampak seperti posko darurat. “Ayo silahkan,” Seorang
Askar mempersilahkan turun.
Bas memarkirkan mobilnya. Wajahnya
tampak sedikit lebih gugup. Askar tersebut memberikan laporan kepada Askar
lainnya. Kemudian menghampiri mereka bertiga. “Ayo silahkan masuk ke camp ini.”
Tak ada perabotan sama sekali. Yang ada hanyalah sebuah meja dan dua buah kursi
dari kayu. Hen menatap rekannya Toi. “Dimana kami akan membuat laporan, Pak?”
tanya Hen.
“Di bawah sini,” Askar tersebut membuka
gulungan tikar yang ada di bawah pijakan mereka. Sebuah tangga menuju bawah
tanah. ‘Terlalu simpel untuk sebuah tempat persembunyian yang tidak dicurigai’
bathin Hen dalam hati. Mereka berjalan menelusuri terowongan yang hanya
disinari oleh lampu beberapa watt.
Derap langkah mereka terhenti. Ketika
kemudian Askar tersebut berbalik dan
“Siapa kamu sebenarnya?”
Askar tersebut mengarahkan laras
senjatanya tepat ke mereka bertiga. Dua orang yang mereka anggap Askar di
belakang pun melakukan hal yang sama.
“Ada apa ini?” mereka serentak
mengangkat tangannya.
“Merapat ke dinding,” pintanya setengah
berkomando. Ia memberi aba-aba dengan senjata di tangannya. “Lakukanlah apa
yang saya pinta, maka kamu akan selamat, hei orang Thai.”
Mereka bertiga merapat ke dinding.
Wajah Bas pucat pasi. Sejak awal dia khawatir hal semacam ini akan terjadi.
“Jangan membuat gerakan yang mencurigakan.” Ia mulai meraba pakaian Bas. Sebuah
kunci mobil jatuh di lantai lorong yang lembab. Ia menyepak ke arah rekannya
untuk diamankan. Kembali memeriksa pakaian Toi. Ia tak menemukan apa-apa. Hen
tampak tegang. Ada sesuatu yang ia sembunyikan.
“Mana pesan itu?”
Hen terdiam.
“Saya hanya menjalankan tugas. Mari
kita berdamai. Berikan pesan itu.” Ia menempelkan larasnya ke kepala Toi.
Hen tak punya pilihan lain. Mentalnya
belum dilatih untuk menghadapi keadaan seperti ini. Ia mesti lebih memilih
keselamatan rekannya. Ia merogoh kertas di balik ikat pinggangnya. Seseorang
yang berpakaian Askar tersebut mengambilnya.
“Baik,” jalan lah.
Mereka menelusuri lorong tersebut. Tak
ada suara kecuali langkah kaki mereka. Juga detak jantung Bas yang semakin
kencang. Ia mungkin semakin menyesal diikutcampurkan dalam perjalanan kali ini.
Ya, ia mesti menyesal.
Seseorang telah menunggu di sebuah
ruangan putih. Tampak ia seperti warga sipil biasa. Berbaju polo kuning. Celana jeans. Dan sebeatang rokok. Ia tampak menikmati kepulan asap yang menutupi wajahnya. Namun, tunggu, Hen tampak
mengenali seseorang yang ada di hadapannya.
“Kita bertemu lagi rupanya,” seseorang
yang dilihatnya di perbatasan Yala kemarin malam. “Anda....”
“Khob
khun krub, Khun,” ia berjalan mendekati. “Tidak kusangka komplotan mereka
dengan mudah memberikan informasi kepada kalian. Kemudian, saya curiga. Siapa
pimpinan pers kalian, sehingga dengan begitu mudah memiliki akses ke dalam?”
“Ali Yanoogakul dan Zubir
Jeeraghaskhan,” ia melempar dua dokumen ke atas meja. “Apa yang ingin kalian
liput, huh?” ia duduk di atas mejanya.
“Betapa bengisnya Junta militer
Thailand terhadap kaum pendatang di selatan? Begitu? Hei, lihatlah, kalian
orang Thai. Bergunalah sedikit untuk bangsamu.”
Ia kembali ke kursinya. Wajahnya
klimis, tampak sekali ia merawat dirinya dengan sangat baik hari ini. Ia
menoleh ke arah anak buahnya. Mereka bergegas ke luar dan membawakan tiga buah
kursi besi yang dicat warna hitam. Mereka bertiga duduk di sana.
“Aku orang baik-baik. Apa yang ingin
kalian tahu?” ia memasang wajah serius.
Hen. Toi. Juga Bas. Hanya terdiam
mengamati gerakan bibir salah seorang pimpinan di depannya tersebut. Mereka
memilih diam.
“Apakah aku tampak seperti seorang
pembunuh?”
Hen menggeleng.
“Bagaimana jika aku mengatakan bahwa
pimpinan perusahaanmu adalah pembunuh,” ia mengambil sebuah dokumen di atas
mejanya tadi, “dan negara merekam semua catatan buruknya.” Ia membuka sebuah
lembaran dan melemparkannya kembali ke atas mejanya.
“Lihatlah!”
Hen memberanikan diri membaca lembaran
dokumen tersebut. Tampak foto pimpinannya dari samping. Disana tertuliskan
lembar kriminalnya. ‘Perencanaan pembantaian keluarga hakim.”
“Buron?” Toi bertanya.
“Tidak lagi.”
“Ia bebas dari tahanan percobaan,”
lanjutnya.
“Betulkah? Dia tampak seperti orang
baik-baik,” seru Toi.
“Berhentilah bermimpi. Kita ini sedang
perang.”
Tiga orang Junta tersebut membekap
mereka bertiga. Kemudian melepaskannya dalam keadaan tak sadarkan diri.
Jureerat, nama junta tersebut. Di sebut-sebut seorang kolonel. Memberikan
perintah dalam sandi bahasa. Mereka dibawa pergi dari ruangannya. Kemudian
hening kembali. Senyap. Tanpa suara. Sebuah kertas yang diperolehnya tadi dia
buka.
“Bangsat!” pekiknya keras.
Tulisan Jawi tersebut tidak lain
menginformasikan lokasi tempat ia berpijak.|
0 komentar:
Posting Komentar