"Alfa, dia Muslim bukan?" kujawab iya. "Kenapa dia tidak mengenakan kain penutup kepalanya?"
Sebenarnya agak awkward jika mendapati situasi semacam ini berkali-kali. Namun dapat dipahami, di negara yang mayoritas beragama budha ini, hanya 5,5% warganya yang muslim. Sekalipun mereka bertemu para muslimah, mereka pasti akan menutupi kepalanya sebagai identitas agamanya.
"Kamu beragama Budha bukan?"
"Ya, kamu pastinya tahu itu."
"Apakah dalam ajaranmu, alkohol itu diperbolehkan?"
"Aku tau itu salah. Tetapi, kamu tahu? Alkohol itu sangat enak."
"Bagus. Lalu, apakah dalam ajaran Budha, perkawinan antara sesama jenis itu diperbolehkan?"
"Tentu tidak," jawabnya, "namun ini negara Thailand, kalian bebas melakukan banyak hal yang tidak dilarang."
"Hal yang serupa dalam ajaran Islam. Mungkin mereka tahu bahwa Islam sangat menganjurkan (bahkan mewajibkan) penganutnya untuk mengenakan hijab-nya. Namun, tidak ada paksaan dalam beragama. Karena itu urusan mereka dengan Sang Pencipta. Bukan urusan aku, apalagi kamu. Apa yang menjadi urusan saya, adalah menasehati dengan cara yang dibenarkan. Dan seperti yang engkau bilang 'bebas melakukan selama tidak dilarang'. Tidak ada larangan di negaraku. Namun, setidaknya kita bisa mengetahui seperti apa pandangan dia tentang perintah Tuhan di dalam Al-quran. Kitab suci kami."
Dia mengangguk-angguk, sambil memperhatikan aktivitas puluhan manusia di depannya. Rambutnya tergurai ditiup angin petang. "Aku dulu pernah tinggal beberapa hari dengan seorang wanita muslim," matanya melirik kepadaku, "memang mereka tampak terlihat lebih manis dengan kain pembalut kepalanya."
Aku hanya tersenyum mendengarkan pengakuannya.
[Based on true story]
keren euy ceritanya .... dalem
BalasHapus