Nasionalis Orang Bodoh!


Haruskah sebuah rasa cinta tanah air diterapkan dalam doktrin-doktrin golongan dan kepentingan? Ini yang selalu saya pertanyakan sehubungan dengan asas-asas nasionalis yang berkembang di negeri saya -yang sudah terkenal luas pluralitasnya. Semakin banyak orang-orang bodoh dan congkak yang mengatasnamakan penerus pejuang, semacam soekarno, kartosoewirjo, hatta, dan natsir. Mendilematisir arti hakiki dari sebuah nilai nasionalisme.

Di jaman idiot sekarang ini, pemaknaan sebuah nasionalisme sudah semakin kabur. Batas-batas tanah air sudah semakin buram. Tidak ada lagi orang Indon, Singapur, Malay, Thai. Lantas sebuah makna nasionalis menjadi semakin absurd. Sejatinya, apa yang Soekarno tanamkan dalam rasa cinta nasionalisnya? Begitukah yang dimaksudkan?

Nilai nasionalisme masih begitu absurd bagi saya. Terlebih saat saya menginjakan kaki di tanah gajah putih ini. Dimana-mana bendera merah-putih-biru-putih-merah berkibar-kibar gagah. Sebuah fenomena yang sama ketika perayaan tujuh belas agustus di desa saya dahulu. Hampir tidak ada satu pun bangunan yang tidak bertalikan dan terikat bendera. Ini lah nilai nasionalisme bagi masyarakat Thailand.

Bagi Indonesia, saat ini, nilai cinta tanah air hanya menjadi semboyan belaka. Dimana-mana aset negara dijual. Untuk kepentingan negara katanya. Sampai kapan perabotan rumah tangga kita terus terjual untuk menutupi kebutuhan? Sedangkan tikus-tikus menamakan dirinya nasionalis anti antek asing, sesudahnya sama saja. Tertutup-tutupi dengan guyonan cinta tanah air, tetapi produk dalam negeri dicibir.

Jikalau ada satu saja kelompok masyarakat yang ikut membela kepentingan negara lain, yang jelas-jelas tertuang dalam preambule UUD 1945, dikatakan ikut campur urusan negara lain. Pastinya anda-anda ini lulus pelajaran kewarganegaraan karena mencontek. Atau menghafal pembukaan undang-undang dasar negara dan pancasila seala kadarnya. Negara ini semakin kehilangan akal sehatnya.

Semua berawal dari semakin banyaknya orang-orang bodoh dan congkak berbicara. Dan corong-corong suara semakin terbuka lebar. Sebuah kesan demokrasi yang seluas-luasnya, tetapi PAYAH dalam hal keluaran.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut