Mahesa #1 Prolog

 

Di kota ini, seperti tak ada harapan engkau mendengar suara adzan yang sahut menyahut. Semua sayup-sayup hilang ditelan kesibukan penduduknya. Jika engkau berjalan ke trotoar jalan, jejer berjejer akan engkau temui para pedagang yang menjajakan makanannya. Sebuah pemandangan yang dengan mudah menyimpulkan bahwa makanan halal sukar ditemui.

Bahkan yang kata mereka "hanya menjual ayam". Kadang mereka tidak peduli dengan status kemuslimanmu, atau lebih tepatnya memaksakan mengerti tentang Islam. Halal adalah ayam, dan yang haram hanyalah babi.

Sederet lampu lampion China menghias sudut kota di bawah langit mendung. Bendera kuning dan biru menghias sambung menyambung. Rumah ke rumah. Pasar ke pasar. Jalan ke jalan. Ini lah kebanggaan mereka sebagai sebuah negeri monarki.

"Assalamualaikum, Bang,"

Aku menoleh ke samping, desiran angin menghembus halus ke telinga. Kuhentikan seketika kayuh sepedaku. "Walaikumsalam, Sira. Where will you go?" terlihat simpul senyum diwajahnya sambil menunjukkan selembar uang lima ratu baht. "Kin khao [1]." Jika anda seorang Muslim di negeri ini, sangat mudah mengenali mereka yang berasal dari daerah selatan. Bang, seperti halnya kita, Abang. Kata yang mereka serap dari negara border. Sangat senang sekali mereka jika mampu mengucapkan satu atau dua kata melayu.

"Anda hendak kemana, Bang?"
 
"Oh, ya, saya sedang ada urusan ke kampus."

Sira adalah seorang yang sering aku temui di Mushola. Ah, tidak, lebih tepatnya ruang shalat dan tempat berkumpulnya anak-anak muslim. Dia sangat gemar membicarakan segala hal yang berbau dakwah, termasuk membahas konflik bangsa timur. Ada yang mendesir dari setiap kata-katanya dan juga kengiluan hatinya setiap kali ia berbagi informasi yang didapatnya. Mereka saudara kita yang juga kurang beruntung, ungkapnya.

"Ya, silahkan, Bang," Ia mempersilahkan.

Aku kembali mendayung sepedaku. Kembali sebuah perasaan de javu. Setidaknya, menyadari apa yang telah dilakukan oleh seseorang seperti aku di tempat ini. Negeri para gajah putih. Negeri arogan. Negeri yang tidak pernah dijajah. Juga negeri yang penuh ambisi. Siam.

Kembali mengayuh memasuki area pertokoan dan pedestrian. Banyak mereka yang tengah menyiapkan makanan. Menguras air genangan. Berjalan pagi. Juga memberikan dupa pada sembahan mereka. Oh ya, namaku Faishal. Ali Faishal Al Mujad.

[1] Makan nasi, yang bisa diartikan juga membeli makanan.

2 komentar:

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut