Tanah Surga, Katanya

Saat saya membuat tulisan ini, enam lembar tisu tergeletak lusuh di samping.
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kita kehilangan rasa cinta kita kepada negeri ini.... Aku bangga Indonesia. La ilaha ilallah”
Seorang veteriner. Bekas prajurit perang Indonesia yang menetap di Kalimantan Barat, dekat batas wilayah Indonesia – Malaysia. Di sebuah danau, ketika hendak berobat ke Malaysia, karena sakitnya, beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Film “Tanah Surga, Katanya” ini memang fiksi, tetapi esensi yang ingin disampaikan oleh Dedi Mizwar beserta krunya, sangatlah kental. Indonesia, Malaysia, Kesejahteraan, dan Nasionalisme.

Sudah lama sekali saya tidak pernah menonton film yang membuat saya menangis. Film yang keluar tahun 2012 lalu ini,  sejak awal kali menonton saja membuat saya tidak bisa menahan tangis. Akhirnya, saya memutuskan untuk menonton sendiri. Kalau-kalau saya yang melankolis ini, menangis sejadi-jadinya.

Dalam sesegukan, keinginan saya untuk berkunjung ke perbatasan wilayah dua Bangsa Melayu ini semakin bertambah. Ingin sekali. Negeri yang kaya, gemah rimpah loh jenaweh, terkikis oleh ketamakan-ketamakan oknum yang berkuasa. Mereka inilah yang sering saya sebut cecurut.

Saya percaya, seorang pemimpin yang akan memakmurkan rakyatnya, adalah pemimpin yang setidaknya pernah merasakan penderitaan rakyatnya. Bukan mereka yang SELALU ongkang-ongkang duduk di bawah ruangan ber-AC dengan jas tebal menyelimuti tubuhnya. Kemana-mana dengan kawalan. Naik mobil elit. Sepatu kulit impor. Beraninya hanya di kota saja. Atau akan ke daerah pelosok-pelosok kalau ada Pemilu saja. Munafik.

Adalagi, katanya, Indonesia ini terlalu besar untuk diurusi. Saya kemudian melihat peta. Tak sebesar China. Tak sebesar Amerika. Tak sebesar Rusia. Tak sebesar negara-negara lainnya. Lalu kenapa? Berapa lama lagi?

Perhelatan politik semakin menjadi-jadi. “Racun dan perangkap tikus” dimana-mana. Siapa menunggangi siapa. Keloyalan terhadap kelompok mengalahkan segalanya. Sehingga tujuan dan cita-cita bersama menjadi omong kosong belaka.

Orang yang tidak tahu sejarah, bagaimana mungkin mereka bisa memahami bagaimana mahalnya kemerdekaan ini. Mahalnya nasionalisme ini. Andaikan para pahlawan yang ada di kuburan bangkit kembali. Saya akan menjadikan mereka pemimpin di Indonesia ini. Sampai mati. Ingat. Sampai mati mereka ngotot ingin merdeka dari kolonialisme. Hanya orang-orang seperti mereka yang benar-benar tahu, bagaimana rakyat ini ingin disejahterakan oleh negara.

Saya tidak pernah menyalahkan Malaysia. Walau bagaimanapun, saya tidak suka perlakuan Malaysia terhadap Indonesia. Kita ini negeri yang sedang kehilangan martabatnya.

Saya memang tidak memiliki solusi instan untuk mengentaskan masalah bangsa yang ruwet ini. Adapun solusi, pasti ternodai oleh kepentingan –yang tidak lebih penting dari kepentingan bangsa sendiri. Saya hanya ingin menyadari pembaca, termasuk saya, solusi itu tidak pernah menjadi solusi, kalau solusi dijadikan masalah, atau pun kepentingan.

Jadi teringat penggalan puisi Salman dalam film tersebut:

Orang bilang, tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya
Tapi, kata Dokter Intel
Belum semua rakyatnya sejahtera
Banyak pemerintah yang menjual kayu dan batu
Untuk membangun surganya sendiri

Mungkin kalian tertawa karena liriknya mengocok perut. Tetapi, terus terang saya semakin menangis sesegukan mendengarnya. Seakan semua beban itu adalah kesalahan saya. Bagaimana dengan Anda?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut