Ego bertemu ego itu seperti supir angkot dan pengendara motor. Sang supir angkot hanya berpikir agar angkot tetap
penuh, menurunkan penumpang di manapun, dan mendapatkan ongkos maksimal. Macet tak
menjadi masalah. Sang pengendara motor, hanya tahu menyalip, bahkan bahu jalan
berlawanan pun disikat. Keselamatan adalah nomor sekian, macet apa lagi, yang
penting adalah sampai di tujuan sesuai keinginan.
Ego bertemu ego itu seperti pegawai administrasi pemerintah dan masyarakat.
Pegawai administrasi hanya tahu terima gaji, kadang bekerja kurang dari jam kerja
seharusnya, memberikan pelayanan tak memuaskan, dan suka memperlama urusan. Keperluan
masyarakat adalah nomor sekian. Masyarakat hanya tahu ingin cepat, kalau ada
antrian sebaiknya diabaikan, main serobot langsung ke depan. Tipikal mental inlander asli. Kalau pelayanan kurang
memuaskan hanya tahu mencaci maki. Tak pernah mau memahami sedikit pun aturan birokrasi.
Ego bertemu ego itu seperti pemerintah dan mahasiswa. Pemerintahnya budeg,
mahasiswanya merengek. Pemerintah hanya tahu menghabiskan anggaran negara,
mahasiswa hanya tahu demonstrasi. Pemerintah hanya tahu studi banding, mahasiswa hanya
tahu mencela. Pemerintahnya korupsi, mahasiswanya nyontek. Pemerintah dimakan politik, mahasiswa dijebak politik. Sekalinya
pemerintah baik, mahasiwa tak berapresiasi. Sekalinya mahasiswa diam,
pemerintah ongkang-ongkangan.
Ego bertemu ego itu seperti kader harokah receh-receh. Perbedaan kecil
dibuat besar, padahal yang di atas tak pernah mempermasalahkan. Mereka berdamai.
Sekalinya berbeda dari apa yang mereka tafsirkan, dibilang kafir. Adanya kesamaan
tak menjadi pemersatu, malah mencari perbedaan, dan meninggikan golongan. Saling
mengklaim mengikuti Alqur’an dan As Sunnah. Padahal mereka tak pernah paham
dimakan konspirasi.
Ego bertemu ego itu seperti pegawai pabrik gula dan pegawai kebun tebu. Pegawai pabrik bilang, bahan baku tebunya jelek, makanya mesin cepat rusak. Pegawai kebun menyangkal, katanya mesinnya sudah tua, makanya rendemen menurun. Saat duduk bersama, mereka saling menjilat, katanya yang salah adalah kondisi cuaca. Alam kok disalahkan.
Ego bertemu ego itu seperti pegawai pabrik gula dan pegawai kebun tebu. Pegawai pabrik bilang, bahan baku tebunya jelek, makanya mesin cepat rusak. Pegawai kebun menyangkal, katanya mesinnya sudah tua, makanya rendemen menurun. Saat duduk bersama, mereka saling menjilat, katanya yang salah adalah kondisi cuaca. Alam kok disalahkan.
Ego bertemu ego itu seperti dosen dan mahasiswa. Dosennya tak mau mengerti, mahasiswanya apalagi. Ini salah, kata dosen. Mau apalagi sih, kata mahasiswa. Mahasiswa ingin cepat lulus, dosennya sibuk proyek. Dosennya ingin mahasiswa cepat lulus, mahasiswanya malas. Ada juga mahasiswa yang menjilat, apa yang dikatakan dosen, adalah benar. Padahal belum tentu benar. Biar cepat lulus katanya. Padahal, itu menjilat.
Ego bertemu ego itu seperti klakson yang bersahut-sahutan saat macet. Sudah tahu macet, artinya tak bisa bergerak, masih saja diklakson, tanda tak sabaran. Mencela macet, padahal tak sadar, bahwa dirinya adalah salah satu komponen penyebab kemacetan. Macet tak kunjung reda, polusi suara menjadi masalah baru.
Ego bertemu ego itu seperti klakson yang bersahut-sahutan saat macet. Sudah tahu macet, artinya tak bisa bergerak, masih saja diklakson, tanda tak sabaran. Mencela macet, padahal tak sadar, bahwa dirinya adalah salah satu komponen penyebab kemacetan. Macet tak kunjung reda, polusi suara menjadi masalah baru.
Ego bertemu ego itu tidak ada habisnya, walaupun kita tahu. Karena kita
belum sadar, ego bertemu ego itu ada dimana-mana. Kita hanya tahu, tapi tidak
menyadari. Seperti lempengan besi yang dimasukkan ke air yang mendidih, ia akan
panas karena bukan isolator. Saat air panas, ia akan panas. Ego bertemu ego itu
sangat kuat, ia adalah hubungan timbal akibat, ia saling mempengaruhi.
Cukup sekian, sadarlah, ego hanya bisa diatasi dengan kesabaran, tidak juga dengan
menjilat.
hmm..nice to reflect..:)
BalasHapus