Aksel Zoo #2: Yati (VJ Keti)

Yati as VJ Keti
Jika anda ingin tahu banyak tentang Yati, tanyakanlah kepada saya. Bo’ong ding. Saya nggak tau apa-apa. Jika dia memiliki murobbiah, tanyakanlah kepada murobbiah-nya. Atau kepada Abi-nya. Atau kepada Ummi-nya. Terserah. Tapi jangan tanyakan kepada saya, karena saya tidak tahu apa-apa. JADI, GUE KENAPA?
Mohon maaf, sebenarnya paragraf di atas tidak layak untuk dibaca, apalagi dijadikan pembukaan. Tapi, yasudahlah. Ini kan catatan-catatan saya. Terserah saya dong mau nulis apa! :p
 
Yati. Saya sampai lupa siapa nama sebenarnya wanita ini, karena saking jarangnya saya berinteraksi. Dia cewek yang paling sholehah di aksel zoo. Tapi, versi saya. Dia bukan tipikal cewek yang banyak omong. Dia lebih hobi berdiam diri, membaca mushaf, atau membaca buku hikmah. Hidupnya adem banget. Beneran deh. Kalau saya macam-macam, pasti ditegur dengan sopan, terus dinasehatin dengan lembut. Biasanya, habis dinasehatin, dia nyuguhin teh dan kue atau puding, terus nunjukin foto-foto masa kecilnya yang mungil. Sambil tertawa pelan, dia menunjuk bonekanya yang lucu. Dan menceritakan masa kecilnya yang indah. INI CERITA APA DAH?
 
Cerita di atas ngaco. Yati kami kenal dengan sebutan Keti. Keti bahasa bimanya berarti Katak. Tapi, dia tidak dinobatkan sebagai katak. Kenapa demikian? Saya juga belum tahu. Itu adalah rahasia. Dan aksel zoo penuh dengan rahasia. Um, setelah saya pikir-pikir bukan rahasia, lebih tepatnya dibilang autis. Keti itu bahasa serapan sebenarnya, asal katanya Cathy. Dialah jelmaan VJ Cathy. Artis itu loh.
Tapi, ini sebenarnya kontras dengan penampilan Yati. Seperti yang kemukakan di paragraf di atas, Keti adalah contoh wanita yang sholehah. Saya adalah pengagum dia. Dan dia lebih mengagumi saya. Tapi, mohon maaf Keti, kita tidak sejalan. Masih banyak cowok yang lebih baik dari saya. #tsaaaah. Haha. Ngaco! Bisa dipancung gue.
 
Yati mengenakan jilbab yang menutupi aurat dengan setutup-tutupnya. Tatkala itu saya bertanya dengan sedikit berimprovisasi, “Wahai wanita berjilbab panjang yang baik budi pekertinya, kenapa tidak engkau kenakan cadar saja sekalian?”
 
Dengan lugas dia menjawab, “ Karena saya berasal dari Donggo, bukan dari Arab.”
  
Oke, baik. Gue suka gaya lo! ;)
 
Saya suka Keti, karena dia adalah bank kata. Perbendaharaannya terhadap kata sangat banyak. Mungkin, kalau dia membuat sebuah kamus, saya akan merekomendasikan judul kamusnya, “KAMUS PALING BESAR BAHASA INDONESIA FULL VERSI PALING LENGKAP DAN PALING BESAR MANFAATNYA”. Kenapa dia punya banyak perbendaharaan kata? Hipotesa saya, karena dia perlu kata untuk menghindari kata.
 
Saya akui, saya orang paling iseng di kelas. Tapi, bukan saya saja. Ibe juga. Dadang juga. Edi apalagi. Lah, kalau Roland udah paling Dewa isengin orang. Adin juga. Pras yang paling ngaco. Yasudah, semuanya, kecuali pak Zubaer. #lho? Keisengan saya biasaya ditujukan kepada Keti, untuk semua bahan yang berbau bacaan. Karena membaca adalah mendikte. Harus sesuai dengan buku.
 
Adalah Keti yang kesulitan menghilangkan logat Donggo. Kalau orang-orang disana, dan kebanyakan kabupaten di Bima, menyebutkan setiap kata dengan huruf Vokal E dengan penekanan, sangat kentara terdengar. Saya pun kadang-kadang. Tapi, sorry, saya anak kota. Level kita beda. Gue udah terbiasa ngomong dengan logat orang kota. #songong gitu.
 
Pada suatu hari, Ibu Jubaedah, guru kami bahasa Indonesia, guru yang pernah ada konflik dengan Saya dan Iqbal, sehingga beliau harus meneteskan air mata, karena keras kepalanya kami. Cukup! Kita membahas Keti. Oke? Stop!
 
Jadi ceritanya Ibu Jube (Baca: Jubaidah) sedang mengajar tentang letak kalimat utama pada setiap paragraf. Saya masih ingat, ada yang di awal, ada yang di tengah, dan ada yang di akhir. Saya selalu kontra dengan jawaban ibu Jube. Mau benar atau salah. Begitu pun Iqbal. Kalau ibaratnya partai, saya PDI-P, ibu jube P*S-nya. -____-“ Ini jadi ngomongin apa sih?
 
Nah, si Ibu minta kami membaca bergilir paragraf yang ada di dalam buku. Yak, dimulai dari Pia, lalu Dadang, Ibe, Dayat, Edi, Saya (yang paling Oke), Vitri, dan yang paling kami tunggu: KETI. Ibaratnya film Matriks, semua mata dengan gaya slow motiontertuju kepada Keti. Ada yang kegirangan sampai menumpahkan segala sampah di kolong mejanya. Ada yang bengong sambil menatap lesu. Ada yang mencet-mencet kalkulator. Ada yang menyalakan blutut (hah?). Ada yang cengar-cengir. Ada yang ngeces. Ada yang pucat pasi karena menahan kentut. Ada yang menggigit dasinya. Ada yang ngompol di celana. Ada yang menggaruk-garuk tembok. Ada yang berputar-putar di bawah kipas angin. Semua ini adalah ekspresi kebahagiaan kami, saat Keti akan tersiksa.
Keti kemudian mengangkat kepalanya, menaikkan alisnya, kemudian menarik napasnya dalam-dalam, kemudian menatap kami sekeliling, dan berkata, “Woi, biasa aja dong!” Oke baik, ini memang agak lebay. Ini memalukan. Maafkan saya.
 
“Ayo, nak, dibaca, kita tidak punya banyak waktu lagi.”
“Iya, Bu. Roland tuh gangguin mulu dari tadi.”
 
“Roland...”
“Iya, Bu”
“Jangan diganggu, Ana e (Ini sebenarnya pemerkosaan bahasa, bagaimana mungkin seorang guru bahasa menggunakan bahasa Bima saat pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi saya sangat menghormati beliau, jadi ya sudah, ndak usah dibahas. #siapa juga yang bahas).
 
Keti mulai membaca:
“Di jalanan kota tidak lagi macet seperti biasanya. Banjir menyebabkan infrastruktur kota menjadi rusak. Beberapa mobil masih terlihat terjatuh,”
 
“Yang mana yang terjatuh ana e? Itukan terjerembab,”
 
Aku menahan tawa. Habib menahan kantuk. Roland menahan kentut.
 
“Iya, Bu. Maksud saya tErjErEmbab.”
“Baca aja yang ada di buku ana e.”
“Memangnya Be’da, ya Bu.”
“Bukan Be’da, tapi Beda. E-nya tipis.”
 
Buahahahahhaa. Tidak bisa ditahan, saya ketawa. Habib tidur. Dan Roland pun akhirnya kentut.
 
Dia dikenal sebagai merak, selain karena jilbabnya panjang mirip burung merak, dia sempat mengatakan salah satu binatang saat main tebak kata. “MEERAK,” katanya spontan. Aku tergugu. Bukan karena apa, itu huruf E, kenapa kentara sekali? -___-“
 
Saya rasa ini cerita konyol, yang masih patut dikenang. Tetapi, saya masih ingat ketawanya keti yang selalu menutup mulutnya, kemudian tertunduk. Atau jilbab panjangnya yang berkibar, seperti kumis yang bergoyang. Saya sudah 4 tahun tidak ketemu Keti, kangen sekali rasanya. Entah sudah menjadi sesolehah apa dia saat ini. Sahabatku itu.
 
Satu yang saya tahu, nama Facebooknya menjadi Bilbil Yathi bla bla bla. Ternyata dia sudah alay.
 
Mohon maaf, Keti. Kita memang tidak sejalan. Saya memerangi orang alay. Haha.
 
Cukup sekian dulu, terimakasih. Kurang dan lebihnya, mohon maaf. Ambil yang baiknya, yang buruknya kasih ke Roland aja. *gambar senyum sambil piss*

1 komentar:

  1. orang alay memerangi orang alay??
    kamu mulai mirip raditya dika di sini. hha, kacau..

    BalasHapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut