Ketika (Aktivis) Islam Menjadi Serupa!


Kemarin, beberapa waktu yang lalu, saya terpesona akan sosok Arief Munandar. Memang tokoh ini selalu menjadi sosok yang kontroversial. Berita mundurnya dari kehidupan politik praktis di salah satu partai sempat menuai pertanyaan. Ada apa sebenarnya?

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya kemarin, saya bertanya kepada sahabat saya, “Apa yang kamu pikirkan tentang Arief Munandar?” Dan, dia berkata, “Saya dulu sempat mengagumi beliau, tapi mungkin sekarang tidak.” Saya penasaran dan memberikan pertanyaan konfirmasi, “Kenapa?”
 
“Pak Arief terlihat terlalu idealis dan teguh akan pendiriannya. Mungkin itu yang membuat dia tidak disukai oleh orang banyak. Saya pikir, dia kecewa atas apa yang didapatnya dari standar-standar yang dimilikinya.”
 
Justru, saya baru mengagumi sosok Arief Munandar, akhir-akhir ini. Setelah sekian lama menghilang, akhirnya dia muncul lagi. Ini kali kedua saya bertemu dengan Pak Arief. Apa yang dia katakan dengan suara lantangnya?
 
“Selamat! Anda menjadi aktivis Islam yang serupa!” dari sini, saya membuka mata untuk seorang Arief Munandar. Apa yang Anda baca saat ini, adalah improvisasi dari apa yang dia sampaikan dipadu dengan pengalaman hidup saya.

∞ ∞ ∞

    Entah kenapa, sebagian besar aktivis islam di kampus itu sama! Bahkan sangat mudah untuk dikenali. Jika kita memperhatikan, dari ujung rambut sampai ujung kaki, semuanya sama. Coba kita perhatikan, seorang aktivis islam di kampus, hampir sebagian besar menggunakan jaket (entah jaket organisasi atau lembaga dakwah kampus), celana bahan (kadang mengatung), dan sendal gunung. Setelan ini sangat mudah dikenali. Kalau nggak rapi sekali, ya udik sekalian. Entah kenapa sebagian besar aktivis Islam di kampus seperti itu?

    Bukan maksud saya merendahkan. No offense. No hurt feeling. Tapi, memang begitu keadaannya. Suatu ketika, ada beberapa aktivis dakwah kampus sedang berbincang-bincang. Beberapa diantaranya teman saya. Iseng saya mendekat, sekedar menyapa.

    “Assalamu’alaikum, Boi”

    “Wa’alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh,” mereka memperhatikan stelan saya yang menggunakan celana jeans hitam, jaket jeans biru, dan sepatu kets. Mereka melihat dengan agak segan. Tidak ingin membuat ketegangan, saya mulai memperkenalkan diri.

    Bukannya apa, mereka melanjutkan kembali pembicaraan mereka, seakan kehadiran saya disana seperti abu. Kemudian saya menghilang tanpa bekas. Entah apapun yang dibicarakan mereka, saya tidak peduli, yang pasti saya diacuhkan. Mungkin karena pakaian saya yang berbeda, jadi saya tidak dianggap segolongan dengan mereka.

∞ ∞ ∞

    Bagaimanapun, saya seorang muslim. Jadi, sudah menjadi kewajiban saya untuk menyebarkan apa yang saya yakini. Ini konsepan rahmatan lil alamin dari Islam. Agama yang saya yakini, bukan karena saya lahir dari keluarga muslim, tapi murni dari kesadaran penuh. Tapi, saya tidak sepakat juga kalau muslim itu harus seragam.
 
    Apa yang Anda saksikan setiap hari di kampus, adalah bukti sistem yang menyeragamkan manusia itu berhasil. Plis, Islam itu ndak ada SOP yang mengatakan bahwa seorang muslim itu harus menggunakan celana bahan, baju koko atau jaket organisasi, dan sendal gunung. Ndak ada itu!

    Asal tidak melanggar syariat, menutup aurat, dan tidak ketat. Bahkan aurat seorang muslim dari pusar hingga ke lutut. Hanya saja, tentu kita tidak mungkin ke kampus dengan pakain seperti itu. Kita masih memiliki peraturan, dan sepengetahuan saya tidak ada itu keharusan untuk mengenakan seperti yang saya sebutkan di atas.

    Esensi terpenting dari sebuah tugas besar berdakwah adalah menyeru kepada kebenaran. Bukan hanya untuk membentuk suatu komunitas yang isinya adalah orang yang serupa. Bukan. Hati-hati kawan, terkadang tanpa disadari hal itu yang membuat kalian menjadi golongan elit.

    Bukankah dalam konsepan islam itu rahmatan lil alamin?

    Lalu, kenapa jadi rahmatan lil yang pake baju koko, jaket oganisasi, celana bahan, dan sendal gunung?

    Hey, Mas, jika Anda ingin didengarkan oleh mereka yang sukanya bermain basket, jangan menyeru di masjid. Emang di dalam masjid ada lapangan basket? Hey, Mas, jika Anda ingin menyeru kebaikan kepada mereka yang suka main band, maka datanglah ke studio, bukan di masjid. Hey, Mas, jika Anda ingin menyadarkan orang yang suka minum-minuman, maka datanglah ke tempat biasa mereka kumpul, emangnya di Masjid ada mereka yang mabuk?

    Saya pikir, pergerakan dakwah di kampus sudah sangat jenuh. Jenuh sekali malahan. Seakan ruh dakwahnya itu tidak lebih dari sekedar event organizer –yang biasanya dihadiri oleh golongan mereka sendiri– atau yang paling barter dengan cara “lingkaran”. Mungkin para aktivis dakwah ini sudah menyerah kali ya? “Biarlah, biarlah Tuhan yang memberikan mereka hidayah, biar kami yang menampungnya di Masjid kalau dia udah sadar dengan sendirinya,” mungkin ini presepsinya. Mungkin.

∞ ∞ ∞

    Cerita Aktivis Islam di kampus – terutama di tempat saya kuliah– saat ini tidak lebih dari sekdar trend ikut-ikutan. Bahkan dalam diskusi panjang antara saya dan seorang ustadz, beliau tidak setuju dengan pendapat saya tentang keheterogenan. “Kalau sudah dalam kondisi yang ideal seperti ini, kenapa harus minta yang heterogen?” Nah, ini jawabannya. Kita terlalu lama di zona nyaman. Akibatnya, pergerakan dakwah monoton seperti ini saja. Mencetak generasi ikut-ikutan yang serupa.
 
    Sejujurnya saya merindukan dialektika yang heterogen. Saya paham, saya berdiri di atas Islam yang mulia. Tapi, juga harus tau bagaimana menghadapi ideologi yang berbeda. Sepertinya tidak, miniatur negara ini –yang katanya replika dari sebuah bangsa– sepertinya sudah ditekan serapi-rapinya. Jika muncul sebuah gerakan lain, maka akan ditekan sejadi-jadinya. Saya tidak akan berbicara soal konspirasi dalam hal ini. Tapi, buat saya ini adalah hal yang kurang tepat. Banyak di antara aktivis muslim bahkan tidak mengetahui ideologi lain selain Islam.

    Beda. Kita tentu tahu, bahwa antara mengadopsi dan mempelajari adalah hal yang beda. Mohon maaf, saya bukannya sekuler dalam hal ini. Tapi, buat saya sistem adalah perangkat pembantu untuk mencapai tujuan. Dan tujuan itu adalah Islam. Jika kita melihat bagaimana perjuangan AKP yang bergerak dengan sistem sekuler. Bagaimana sosok seorang pejuang Muslim Hatta dengan pemikiran sosialnya. Soekarno dengan Nasakomnya. Saya pikir itu hal yang seharusnya di miliki juga oleh seorang muslim yang cerdas.

∞ ∞ ∞

    Tidak mudah memang. Harga dari seorang aktivis Islam yang memegang teguh idealisme sangatlah tinggi. Tidak heran jika mereka-mereka ini jarang disukai. Tapi, saya sepakat, kita butuh orang-orang yang seperti ini. Orang-orang yang berwarna.
 
    Tidak seperti Aktivis Islam yang serupa, saya tidak hanya mengatakan pakaian saja. Menurut Pak Arief Munandar, “Dari pakaian, cara berbicara, bahkan pemikirannya pun dibentuk serupa mungkin. Bahkan, dari bentuk fisiknya, saya bisa liat, dia aktivis dakwah atau bukan?” Padahal, Islam itu agama yang universal. Agama yang fitrah. Tidak ada paksaan di dalamnya. Dan agama yang membebaskan. Tapi, kembali lagi. Kita punya akidah dan syariat yang harus di jalani.

    Saya meyakini, belajar islam harus dikembalikan lagi ke dalam konsep moderat dan kontemporer. Dunia ini berubah, tapi prinsipnya tidak boleh berubah. Zaman boleh berubah, tapi ketauhidan tetap sama. Fleksibelitas dari Islam ini lah yang membuatnya sempurna. Lalu kenapa kita harus terlihat sama? Sebuah kritikan buat kita semua sebagai seorang muslim.

    Tidak ada paksaan di dalam menerima pendapat saya ini. Toh, tidak ada yang melanggar syariat agama juga. Tidak ada kebenaran itu dalam diri manusia biasa, yang ada hanyalah keyakinan yang patut untuk diperjuangkan. Karena kebenaran hakiki hanya milik langit. Saya menerima perbedaan itu.
 
Wallahu’alam Bishawab.

3 komentar:

  1. saya setuju soal tak mesti seragam, justru perbedaan dalam hal cabang (seperti fiqh) adalah suatu keniscayaan dan itulah indahnya Islam. :)
    bolehlah berbincang dengan para haji, pastilah di sana temui berupa 'keheterogenan' dalam tata cara solat, sebutlah sambil menggendong anak atau sembari membolak-balik Al-qur'an. Dalam ranah ijtihadiyah selama mereka miliki dalil, Islam perbolehkan. SubhanAllah.

    tapi soal 'moderat' agaknya saya kurang sepaham.
    (yah tak pernah ada paksaan juga untuk satu paham)

    tulisannya bagus :)

    BalasHapus
  2. Hmm, barangkali kehomogenan itu muncul akibat terlalu lama dalam kelompok yang sama. Paradoks memang, halaqoh dibentuk untuk mengondisikan orang-orang di dalamnya, tetapi ketika sudah terlalu nyaman di dalamnya, menjadi asing ketika berada di luar..

    BalasHapus
  3. Hmm, barangkali kehomogenan itu muncul akibat terlalu lama dalam kelompok yang sama. Paradoks memang, halaqoh dibentuk untuk mengondisikan orang-orang di dalamnya, tetapi ketika sudah terlalu nyaman di dalamnya, menjadi asing ketika berada di luar..

    BalasHapus

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut