“Kami menyadari, papua itu kaya. Kami bisa saja melepaskan diri dari pemerintah Indonesia. Tapi, dengan kemerdekanya itu, papua akan menjadi gadis ranum yang diperebutkan banyak negara-negara besar lainnya. Untuk itu kami masih bertahan dengan NKRI ini.”
Miris. Ini hanya beberapa potongan percakapan ringan antara saya dan sahabat saya dari Papua. Sebut saja namanya Hamlee. Mendengar penuturannya, saya seakan terlempar ke daratan papua nan hijau, pusat paru-paru dunia. Dengan demikian, saya merasa bertanggung jawab dan prihatin atas apa yang dialami oleh saudara kita di Papua.
“Anda tau? Beberapa penduduk pegunungan di Papua hampir menolak untuk tunduk di bawah pemerintah Indonesia. Hal ini cenderung mendorong konflik dengan masyarakat pesisir yang notabene mendukung pemerintah. Lantas, oleh para politisi papua mengambil momentum ini untuk meraih simpatisan rakyat. Akibatnya, banyak terjadi penyelewengan.”
Dan kami pun terdiam. Saya merenungi tentang hal apa yang akan terjadi di Papua kedepan. Saya dulu berpendapat, Papua memang sudah saatnya merdeka, dari pada sengsara terus-terusan di bawah pemerintahan Indonesia. Kini, saya sedikit merubah pikiran, setelah mendengar perjuangan sahabat saya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di daerah asalnya, Papua.
“Hamlee,” kataku, “Jika Indonesia membiarkan kalian merdeka, apa yang akan kamu lakukan?” Dia terdiam sejenak, seakan membuka memoar jawaban di otaknya yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
“Dulu, para pejuang tidak mengenal Indonesia. Yang mereka kenal mungkin hanyalah Borneo, Jawa, Sumatra, dan Celebes. Tidak ada itu NKRI. Saya menyesalkan, kenapa Trikora yang dicetuskan pada saat pembebasan Irian Barat kini seperti dikhianati pemerintah. Jujur saja, saya tidak puas dengan itu semua. Tapi, bukan berarti saya ingin Papua melepaskan diri dari Indonesia. Tumpah darah saya hanya untuk Indonesia. Saya pikir, lebih baik saya mati mempertahankan NKRI di papua dari pada harus merelakan papua merdeka di luar Indonesia,” begitu tegas dengan berkaca-kaca.
Saya merasakan sesuatu yang berkecamuk di dadanya, entah apa itu. Mungkin semacam semangat perjuangannya. Tapi, satu yang saya pahami. Kita terlalu banyak mengurusi diri kita sendiri, sehingga melupakan penderitaan dan perjuangan orang lain. Apalah itu idealisme? Kampungan! Kampungan kalau sekiranya hanya dilafalkan saja.
Saya malu kepada diri saya sendiri terutama, apa yang saya pahami tentang Indonesia dari buku-buku sejarah, hanyalah sampah. Saya mungkin seorang pemikir, tapi tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini. Diam. Hanya terdiam mengamati rumput yang sayup oleh kegelapan malam.
“Udahlah, Bang. Tidak usah repot-repot bantuin Papua, di Jawa juga masih banyak masalah,” senyum khasnya melebar.
Sahabatku ini, dia ingin memajukan Papua dengan caranya sendiri. Tak mau ada diskriminasi, pembodohan, ketidakadilan, separatisme, dan kesukuan. Saya banyak belajar dari seorang Hamlee. Saya bangga menjadi Indonesia.
ckck.. sy smakin mrasa status keterpurukan negara ini smakin dekat .. na'udzubillah
BalasHapusSemua karena kepentingan mbak Lingga. Tanpa disadari kita sudah menjadi negara kapitalis modern.
BalasHapus