05.40 waktu setempat.
J*piter Z melaju, melesat, bersama pengendara lainnya. Hari ini, seperti yang dikenal, sebagai hari-H. Purna bakti seorang professor –meskipun beliau tidak ingin dikatakan seperti pensiun- yang mendedikasikan dirinya dalam sub bidang sistem manajemen dan bisnis. Prof. Eriyatno sempat menjadi dosen pembimbing akademik gw dulu. Ya, dulu.
Alkisah ada cerita tak terlupakan antara gw dan prof. Eriyatno.
Sms: Assalamu’alaikum. Prof, maaf, saya Aldian, mahasiswa bimbingan bapak. Kira-kira hari ini bapak ada waktu tidak ya? Saya ingin meminta rekomendasi untuk beasiswa.
Tidak ada balasan. Gw maklum, dia profesor. Harus lebih dihormati.
Tak lama. Ada yang telpon, Prof. Eriyatno. Begitu namanya di kontak hape gw.
“Assalamu’alaikum. Saya sedang di rektorat lantai 2 sekarang. Ke sini saja ya.”
“Wa’alaikumsalam. Baik, pak. Saya ke sana sekarang.”
Telpon dimatikan. Gw bergegas. Profesor itu sedang di rektorat. Mungkin dia sedang ada waktu luang. Gw agak tergesa berjalan.
Dengan nafas tersengal, gw tiba di rektorat. Dia, Prof. Eriyatno, sedang duduk sendirian. Masih teringat betul, bagaimana cahaya mentari merambat masuk melalui celah kaca jendela. Sisi kanan tubuhnya agak diterpa cahaya itu. Sangat pas untuk diabadikan dalam lensa kamera. Beliau duduk sendiri, tanpa kata. Gw mempercepat langkah.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
“Wa’alaikumsalam. Tidak ada kuliah?”
“Itu, sudah selesai, pak.”
“Mana yang harus saya tanda tangani.”
“Ini, pak,” sembari memeberikan lembar rekomendasi.
Beliau memperhatikan dengan seksama. Mengeluarkan kacamata dari sakunya.
“Ini beasiswa apa?”
“G**dwill, pak.”
“Iya, beasiswa apa itu?”
“Beasiswa leadership, Prof. Sekalian melatih bahasa inggris saya.”
Dengan seksama dia membaca lagi. Kemudian menandatangani.
“Bagus. Lanjut S1 kamu mau kemana?”
“S2 maksudnya Prof? Mungkin saya hendak ke Swiss.”
“Kenapa harus di Swiss?” dia memperhatikan gw dengan seksama.
“Ya, saya pikir swiss sangat cocok dengan agroindustri. Bukannya dia negara pengekspor cokelat dengan kualitas nomor satu. Tapi, di negaranya sekalipun tak ada perusahaan cokelat.”
“Justru itu. Swiss bukan tempat yang bagus untuk melanjutkan S2 dalam bidang Agroindustri. Kalau bidang perhotelan atau medis, Swiss nomor satu. Atau ilmu alam, di universitas tempat Einstein menempuh pendidikannya.”
Gw mengangguk. Mencoba mencerna kata-katanya yang terasa begitu berat.
“Kalau mau ke Eropa, sekalian saja ke Jerman atau Prancis. Saya kira, disana berkorelasi dengan apa yang kamu pelajari di TIN (teknologi industri pertanian, red). Lagi pula, kuliah di Swiss itu mahal. Berkali-kali lipat kuliah di tempat biasanya. Masih mending di Jerman, harganya masih terjangkau. Hanya saja, memang kamu butuh belajar bahasa Jerman.”
“Begitu ya, Prof? Akan saya pikirkan dulu. Kalau masalah biaya, saya sempat berpikiran untuk mendapatkan beasiswa dari Swiss. Ini, Prof.” Sembari memperlihatkan selebaran beasiswa pemerintah Swiss.
“Mungkin beasiswa ini akan menanggung sebagian hidupmu di Swiss. Tapi, tidak sebagian. Nah, sebagian ini yang repot. Karena meskipun sebagian, tapi mahal sekali. Ngerti maksud saya?”
Gw memperhatikan dengan seksama, beliau yang berbicara di samping ini. Lipatan-lipatan di dahinya, seakan bercerita ke gw, bagaimana kerja keras yang ditempuhnya dalam dunia pendidikan. Dia yang telah lama memakan asam garam. Seharusnya, gw percaya dengan apa yang dinasehatinya.
“Saya dengar kamu baru pulang dari Jepang?”
Gw mengangguk sopan.
“Jepang lebih bagus saya pikir. Kenapa tidak ke sana saja? Belajar ilmu sistem. Mereka berkembang begitu cepat sebagai warga negara asia.”
Gw berpikir keras. Ada yang berkecamuk betul dalam dada gw.
"Saya sih dari Michigan University. Jadi, kalaupun ngasih rekomendasi, ya kalau kamu mau lanjut S2 ke Amerika."
Gw masih terdiam. Adegan seperti ini sangat jarang terjadi dalam hidup gw yang flat. Gw masih tiada ketertarikan dengan Amerika sampai saat ini. Terlepas itu masalah Yahudi dan sebagainya. Amerika tetap tidak ada daya tarik buat gw.
“Yah, kamu pikirkan saja dulu,” kata Prof. Eri sembari bangun dari tempat duduknya.
“Masih ada lagi tidak? Saya sedang ada rapat dengan professor-professor di dalam”
“Oh, tidak, Prof. Mungkin ini aja dulu. Kalau ada yang saya butuhkan lagi, nanti saya hubungi lagi bapak.”
“Oke.” Beliau berlalu, setelah melepaskan senyum wibawanya. Senyum khas seorang yang paham betul filosofi ilmu. Tak sekedar sok pintar, menasehati tanpa berkaca, atau semacamnya. Mungkin ini janji Allah tentang mengangkat derajat manusia yang berilmu dan beriman beberapa derajat.
Gw pulang. “Dia bela-belain nungguin gw cuma buat nandatanganin surat rekomendasi, padahal ada rapat professor yang sebenarnya (gw yakin) lebih penting dari sekedar agenda berbincang-bincang kecil dengan gw.”
Terharu. Mendapatkan realita seseorang yang mendedikasikan dirinya pada pendidikan. Mahasiwa, anak didiknya. Bertanggung jawab.
Sepeda motor itu masih melaju. Dalam pikiranku menggema sebuah lagu: bengawan solo. #alah.
06.05 waktu setempat.
IPB Baranang siang, samping IPB International Convention Center.
FAKSI BINTANG #4 Just Do It!
4 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar