MBOJO BERASAL DARI BISMILLLAHIRRAHMANIRRAHIM?
Perspektif Alternatif tentang Bima
Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi
Diambil dari salah satu bagian buku Syarifuddin Jurdi “Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima” (Yogyakarta, CNBS, 2007)
Barangkali kelaziman dan luasnya penerimaan warga masyarakat tentang asal mula nama Bima telah membawa kepada suatu kesimpulan yang juga umum diterima sebagai sebuah konsensus sosial politik warga masyarakat Bima, bahwa Bima berasal dari nama Sang Bima – yang nama itu sendiri hingga kini masih bersifat legenda, mitos dan bahkan dapat dianggap sebagai takhayul yang keabsahan dan kebenarannya masih harus dibuktikan secara hostoris dan normatif – sungguhpun upaya pembuktian belum juga dilakukan secara serius oleh pihak-pihak yang kompoten terutama dalam studi sejarah, baik oleh kalangan pemerintah, elite intelektual, tokoh masyarakat dan keagamaan.
Untuk sekedar memberikan warna yang berbeda dan tentu bukan hanya sekedar latah menghadirkan suatu perspektif historis tentang Bima atau Mbojo, penulis juga bukan melawan maenstream pemikiran yang berkembang di masyarakat, bahwa Bima berasal dari Sang Bima, namun penulis merasa perlu untuk mengajukan perspektif alternatif agar semua warga masyarakat Bima dan pihak-pihak lain dapat membuka diskursus baru tentang asal mula nama Bima tersebut. Bima dikenal sebagai sebuah wilayah teritorial yang terletak dibagian timur wilayah NTB, masyarakatnya menganut pemahaman keagamaan yang “monolitik” yaitu agama Islam, suatu keyakinan yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia. Sebagai komunitas atau masyakarat yang menganut ajaran Islam, daerah inipun merujuk segala sesuatu tentang desain kehidupan lokalnya dengan nilai-nilai Islam yang telah ditanamkan oleh kerajaan Islam yang mulai berkuasa di Bima sejak tahun 1600-an. Islam begitu kata warga masyarakatnya sebagai pedoman kehidupan mereka, sulit ditemukan tradisi yang menyimpang dari spirit Islam dalam kehidupan warganya, khususnya pada dekade-dekade yang lalu.
Semangat ke-Islaman tersebut telah menjadi budaya masyarakat, etos sosial dan tradisi kehidupan dihiasi dengan nilai-nilai etis dan moral Islam – itulah yang kini menjadi bagian dari pelaksanaan kehidupan masyarakat Bima. Soal nama Bima sendiri di sementara kalangan membedakan antara Bima dengan Mobjo. Penulis termasuk yang menganut pemahaman bahwa Bima dan Mbojo merupakan dua hal yang berbeda, karena itu, penulis merasa perlu memberikan perbedaan antara dua istilah yang melekat dengan daerah ini tidak sekedar persoalan bahasa, tetapi lebih dari itu, perbedaan itu mengandung makna-makna esensial dan prinsip atau teologis keagamaan dan kultural. Mbojo mengandung makna teologi, karena kata Mbojo sering dikaitkan dengan Babuju yang berorientasi tinggi – dalam terminologi agama yang tinggi merupakan orientasi religius, bahkan dalam soal lain istilah Babuju, Kabuju dan Kandese merupakan bagian yang religius – istilah religius tentu sebuah interpretasi atas makna-makna filosofis yang terkandung dalam agama.
Atas dasar itupula, penulis mengajukan semacam “gugatan” atas pemberian nama Bima sebagai sesuatu nama yang berasal dari Sang Bima yang penuh dengan mitos dan penuh misteri – tidak ada dokumen otentik yang dapat digunakan untuk menjustifikasi kebenarannya, kecuali hanya sekedar cerita atau dalam bahasa Bima sebagai Mpama, untuk itu perlu dibahas dan didiskusikan secara serius tentang asal mulanya, sekali lagi hanya sebuah pilihan alternatif dari penerimaan yang bulat tentang nama Bima yang berasal dari Sang Bima. Mendiskusikan kembali mengenai nama Bima bukan berarti ingin merubah sesuatu yang telah ada, tetapi agar ada kecerdasan sejarah dan keotentikan informasi mengenai nama daerah. Sekalipun klaim yang dilakukan dalam buku ini sebagai yang otentik dan orisinal juga akan dipersoalkan oleh berbagai pihak lain, karena itulah penulis merasa berkepentingan untuk menghadirkan bahan diskusi dan polemik baru mengenai Bima yang akan didesain sebagai suatu kerangka pemikiran alternatif dalam memahami akar nama Bima.
Nama Bima dalam sejarah yang telah disepakati berasal dari Sang Bima merupakan sesuatu yang berurat-akar pada tradisi yang prosesnya mengalami persoalan-persoalan politik dan budaya, ada pertarungan kepentingan yang menyertainya dalam proses panjang tersebut. Hingga kini, belum ada yang secara akademis yang mencoba memahami realitas sosial masyarakat Mbojo dengan konstruksi sejarah yang sudah diterima bulat tersebut, semua pihak sepakat bahwa Bima yang benar adalah Bima yang berasal dari Sang Bima yang melakukan penaklukkan terhadap kekuasaan lokal para Ncuhi, kira-kira begitulah cerita dan sejarah yang dapat kita konsumsi dewasa ini.
Marilah kita mencoba mendiskusikan lebih lanjut tentang nama Bima tersebut, apakah benar berasal dari Sang Bima? Ataukah ada sesuatu yang dapat dikompromikan antara cerita sejarah dengan realitas sosial budaya masyarakat Mbojo? Menurut sebagian elite Islam (intelektual, ulama, pemuka adat dan elite sosial kemasyarakatan) menganggap nama Bima bukanlah bersumber pada mitos, legenda dan takhayul yang bernama Sang Bima, artinya nama Bima bukanlah berasal dari Sang Bima, sebagian menolak kalau nama Bima atau pemberian nama Bima itu berasal dari nama “kompeni” Sang Bima. Penolakan mereka bukan tanpa alasan dan argumen, tepatnya mereka memberikan perspektif alternatif mengenai nama Bima, mereka itu dapat disebut beberapa disini, ada Muhammad Nur, KH. Abdul Ghany Masykur, M. Sathur Ahmad, dan persetujuan serupa dari berbagai kalangan seperti Muhlis (Sekda Bima), Ilyas Sarbini, Ichwan P. Syamsuddin, Ruslin Ilyas, dan beberapa kalangan birokrasi dan politisi yang ada di Bima terutama mereka yang menggali berbagai kemungkinan konsepsional dalam memahami Bima.
Arus gugatan yang tengah berkembang sebagai bagian dari tumbuhnya kesadaran intelektual dikalangan generasi Bima, mereka memberikan warna religius bagi nama daerahnya, ini bukan suatu kelatahan karena bersamaan dengan era otonomi daerah, tetapi lebih karena menguatnya generasi intelektual Bima yang mulai gelisah dengan fenomena yang mereka saksikan. Bagi mereka dan pemuka masyarakat Bima menyebut Bima berasal dari Bismillahirrahmanirrahim. Kata ini sendiri dirujuk pada al-Qur’an yang dijadikan pedoman hidup warga masyarakatnya. Artinya Bismillah merupakan bahasa yang diucapkan oleh kaum muslimin dalam memulai seluruh aktifitas kehidupannya di muka bumi ini, baik ketika ia menunaikan kewajiban ritualnya dengan Tuhan (Allah SWT) seperti shalat maupun dalam rutinitas sosial sehari-hari, artinya Bismillah sebagai permulaan dari seluruh kegiatan. Tokoh-tokoh yang disebutkan diatas meyakininya, bahwa Bima merupakan komunitas sosial politik dan kultural yang didiami oleh kaum muslimin dan nilai-nilai yang eksis dalam kehidupan warga masyarakatnya adalah nilai-nilai atau tradisi Islam yang otentik.
Dalam konteks ini misalnya, Muhammad Nur (seorang birokrat) mengatakan, bahwa nama Bima berasal dari kata Bismillah, yang ditafsir secara sederhana sebagai sesuatu yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan Islam, adat-istiadat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Asumsi yang dapat kita gunakan adalah tidak ada kebiasaan masyarakat yang mencerminkan ajaran yang tidak Islami, atau minimalisnya ber-Islam sesuai warisan kebudayaan Hindu atau Budha sebagaimana yang lazim dalam masyarakat Jawa yang di masa lalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Budha, sehingga muncul istilah Islam sinkretis. Dalam konteks inilah, sebagian elite dan generasi muda Bima “menggugat” bahwa tidak rasional menempatkan nama daerah Bima berasal dari nama Sang Bima. Dalam pandangan Muhammad Nur, nama Bima yang kini terdistorsi oleh kekeliruan penulisan sejarah harus segera dijernihkan, mengingat suku bangsa Bima merupakan suku bangsa yang sangat Islam, bentukan awal kerajaan Bima merupakan bentukan dari nilai-nilai Islam.
Bismillahirahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang) adalah kalimat yang menjadi domain utama dalam kehidupan warga masyarakat Bima, sejak kelahirannya (1640) hingga dewasa ini. Permulaan dari kelahiran Bima pada masa lalu dalam pandangan mereka yang menganut aliran tasawuf, tarekat dan menempatkan hakekat Bima sebagai permulaan dari tradisi membaca Al-Qur’an dan aktivitas sosial lainnya, secara kultural sebenarnya berasal dari kultur masyarakat Bima sendiri yang telah mengenal lama tradisi babuju, kandese dan kabuju. Padangan ini memahami kelahiran Bima sebagai awal dari sebuah pribumisasi nilai-nilai sosial kemanusiaan Islam dalam kehidupan kemasyarakatan – lewat tangan manusia.
Masyarakat Bima masih relatif terbatas yang mengaitkan kalimat Bismillah dengan nama Bima, artinya penggunaan nama Bima yang diadopsi dari kata Bismillah merupakan klaim sebagian kecil masyarakat Bima, mengingat tidak ada suatu dokumen yang dilansir oleh warisan sejarah klasik tentang penyebutan tersebut, diluar manipulasi dokumen oleh banyak penulis sejarah Bima yang berkebangsaan asing, tetapi mencoba mengaitkan kata-kata Islam dengan Bima dalam hal penamaan daerah memang menarik untuk dilanjutkan, meski maih dipenuhi oleh perdebatan sejarah. Bima dalam dokumen sejarah yang tersedia menceritakan tentang asal muasal kelahiran Bima setelah kedatangan Sang Bima yang menyatukan Ncuhi-Ncuhi yang ada di Bima. Kekuasaan Ncuhi dikoordinir oleh Sang Bima, wilayah kekuasaan masing-masing Ncuhi tersebut diatas, oleh Sang Bima diberi nama dengan kerajaan Bima, nama sang raja atau dikenal dengan Sangaji Mbojo.
Meski Sangaji Mbojo berasal dari keturunan Jawa – itupun apabila kita menyetujui klaim historis itu, tetapi pengaruh kerajaan Gowa, Tallo (Makassar), Bone, dan Luwu sangat besar dalam perkembangan masyarakat Bima. Atas dasar pengaruh Islam dan sejarah yang terbatas, oleh sebagian ilmuwan Bima menganggap nama Bima berasal dari kalimat Bismillah dalam ajaran Islam. Mungkin pemberian nama dalam versi yang tidak lazim dalam sejarah Bima ini dianggap oleh sebagian masyarakat Bima sebagai sesuatu yang mendistorsi nama Mbojo yang hingga kini tidak ada yang menggugatnya, atau oleh kaum konservatif Mbojo akan mengatakan sebagai “kegilaan” atau kefanatikan terhadap Islam yang berlebihan. Di tengah arus utama (maenstream) sejarah tentang Bima tersebut, tentu wacana yang sedikit diungkap dalam tulisan ini sangat membantu melihat dari sisi yang berbeda tentang nama Bima, meskipun sisi yang berbeda –sekali lagi akan diberi cap sebagai “kegilaan” atau kefanatikan terhadap Islam yang berlebihan – dengan tentu –mengabaikan sejarah yang tersedia.
Islam di Bima banyak dipengaruhi oleh paham Islam yang dianut oleh masyarakat Sulawesi Selatan, Muhammad Nur, Sathur Ahmad, Abdul Ghany Masykur, dan tokoh-tokoh Islam di Bima lainnya tidak membantah, bahwa kerajaan Islam Bima terbentuk pada abad ke XVI, pada saat itu nama Bima dan syariat Islam telah banyak diinspirasi oleh ajaran Islam. Ketika kekuasaan Sultan Abdul Kahir dengan sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan sistem pengelolaan pemerintahan kerajaan Gowa, Tallo, Bone dan Luwu juga tidak banyak yang membantah. Kerajaan yang paling banyak memberikan pengaruh bagi terbentuknya kerajaan Islam Bima adalah kerajaan Gowa yang dikemudikan oleh Sultan Hasanuddin, seorang raja yang dikenal luas sebagai raja yang cukup tegas dan “keras”.
Setelah ajaran Islam menguasai kerajaan Bima, gelar-gelar mitologi seperti Ncuhi yang tadinya membagi kekuasaan berdasarkan wilayah, diganti dengan istilah Galarang (Kepala Desa). Struktur pemerintahan berdasarkan Majelis Hadat, terdiri atas tiga unsur hadat, Unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan Hukum Islam. Dalam melaksanakan tugas tersebut Sri Sultan Mbojo dibantu oleh; pertama, Majelis Tureli (Dewan Menteri) yang terdiri dari atas Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/Raja Bicara; kedua, Mejelis Hadat yang dikepalai oleh kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa Na’E dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat dan mengganti hak Ncuhi untuk mengangkat/melantik atau memberhentikan Sultan; ketiga, Majelis Agama dikepalai oleh sang Qodhi (Imam Kerajaan) yang beranggotakan empat orang Khatib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.
Dalam masalah Lebe Na’E, disetiap wilayah di Bima memiliki hak-hak istimewa seperti Galarang, mereka memperoleh semacam hak atas tanah dari pemerintah daerah atau dalam istilah masyartakat Bima dengan Dana Ngaha yang dimanfaatkan oleh Lebe Na’E selama masa tugasnya. Lebe Na’E di Ngali misalnya memegang kekuasaan Lebe Na’E seumur hidup. Tugas Lebe Na’E adalah menjadi Khatib Sholat Jum’at, imam Desa, menjadi pimpinan agama di Desa, dan setiap kegiatan keagamaan semacam perkawinan, acara tamat mengaji, memimpin do’a dalam berbagai kegiatan dan acara masyarakat Desa lainnya.
Tradisi Islam tersebut oleh pemerintah Bima merupakan tradisi budaya Islam yang oleh elite Islam diklaim sebagai proses pembumian nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, serta menempatkan makna-makna Islam dalam proses pembangunan Bima, sehingga usaha-usahanya untuk memasyarakatkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat Bima sangat besar, meski mengandung bias-bias politik. Konsep Bima yang religius dimaksudkan sebagai usaha kolektif untuk merealisasikan misi sosial Islam dalam rangka menciptakan suatu peradaban lokal yang agamis, mungkin dalam konteks inilah konsep Membumikan Al-Qur’an dapat dimaknai sebagai usaha kolektif.
Bima sebelum tahun 2000, selalu dipimpin oleh Tentara yang bukan merupakan putra asli Bima, putra daerah hampir sulit muncul sebagai pejabat di masa lalu, selain persaingan antar wilayah yang dalam sejarah telah terbagi kedalam kekuasaan Ncuhi, juga faktor-faktor eks lainnya, sehingga lebih menyenangi dipimpin oleh pejabat diluar daerah, akibatnya banyak kebudayaan Bima yang “hilang”, artinya pemeliharaan kebudayaan Bima tidak dilakukan oleh penguasa sebelum tahun 2000, generasi yang lahir dan besar pada rezim tersebut – tidak lagi memperoleh penerangan kebudayaan lokal yang dikenal religius.
Potensi perlawanan masyarakat Bima setelah kemerdekaan tidak menonjol –bila dibandingkan dengan perlawanan ketika masa penjajahan, artinya perlawanan dalam bentuknya yang paling substantif seperti menuntut putra daerah menjadi Bupati, menuntut diselenggarakan kegiatan kebudayaan lokal, menuntut berbagai kegiatan pendidikan dan penerangan agama secara berkala hilang ditelan bumi –berbeda dengan masyarakat Sulawesi Selatan, di daerah ini, masyarakat lokal sangat kuat bentuk perlawanannya, mereka menolak Gubernur, Bupati atau Walikota yang tidak berasal dari Sulawesi Selatan atau putra daerah. Sulawesi Selatan relatif dapat terjaga nilai-nilai kebudayaan mereka selama rezim Orde Baru.
Wallahu a’lam bi shawab
0 komentar:
Posting Komentar