Tentang Pergerakan Mahasiswa #Edisi Pemilihan Raya


TENTANG PERGERAKAN MAHASISWA #Edisi Pemilihan Raya
(menjadi mahasiswa | menjadi idealis | mengusung intelektualitas)
Oleh: Aldian Farabi*



Berbicara tentang mahasiswa sangat erat kaitannya dengan sisi idealisme. Satu kata yang sarat makna. Mahasiswa, dalam jajaran suatu pergerakan mengambil peranan yang tidak kalah pentingnya dengan kalangan pengampu kebijakan suatu sistem. Belakangan, mahasiswa malah cukup andil dalam mengkonstruksi suatu kebijakan, baik dalam tataran regional, nasional, bahkan multinasional. Konsep demokrasi ini memposisikan mahasiswa sebagai “malaikat” yang berpegang teguh pada entitas idealisme. Semangat membuat perubahan. Idealisme ini diturunkan langsung dari ideologi yang dianutnya. Hal ini terefleksikan dari pola berpikir dan tingkah laku yang mengkristal menjadi suatu karakter. Sejatinya, karakter inilah yang kentara dari makhluk yang bersajak mahasiswa.
Universitas sebagai suatu institusi pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter tersebut. Sebutlah bahwa kampus didedikasikan tidak hanya berperan sebagai lembaga penyalur ilmu pengetahuan secara teoritikal. Tetapi, dalam praktiknya kampus diatur sedemikian rupa sehingga menjadi miniatur suatu negara. Muncullah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif versi mahasiswa yang mengusung suatu pergerakan. Di dalamnya mengurusi hajat hidup orang banyak –juga versi mahasiswa- yang tertuang dalam setiap kebijakan dan pergerakan kampus. Belakangan dikenal sebagai politik kampus.
Di sadari ataupun tidak, praktik politik kampus tidak terlepas dari perang ideologi. Seharusnya, mahasiswa yang peka akan menyadari hal tersebut. Mulai dari ideologi yang mengatasnamakan sosial, kapital, keagamaan, hingga partai sekalipun (mungkin) mewarnai keberagaman tersebut. Semuanya terejawantahkan dalam kemasan pergerakan mahasiswa. Kaum elit mahasiswa seyogyanya paham betul arah pergerakan yang akan diusungnya. Mereka berjubel-jubel memberikan pengaruh-pengaruh tertentu dalam membentuk opini masyarakat (mahasiswa). Inilah seni berperan di politik kampus.
Pemilihan Raya (Pemira) menjadi ujung tombak bagi sebagian mahasiswa yang gencar memainkan politik praktis. Ada lagi oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan momentum Pemira sebagai sarana aktualisasi organisasi pengusung. Ini sudah wajar terjadi. Namun, ada yang berbeda dengan atmosfer Pemira belakangan ini. Banyak man behind the man (tim sukses) tidak paham betul dengan pergerakan yang dilakukan dalam mengusung bursa calon ketua/presiden. Kebanyakan dari mereka terperangkap dalam momentum tahunan yang kasat mata hanya menjadi rutinitas semata. Disinilah intelektualitas mahasiswa dipertanyakan. Adakah orientasi pergerakan mahasiswa mereka pegang? Ataukah mungkinkah ruh pergerakan tersebut memang hilang, tergerus oleh trend dan sisi hedon yang semakin membatu?
Pemira banyak dianalogikan sebagai suatu permainan kata-kata calon ketua. Ini dirasa sudah sangat keterlaluan untuk ukuran mahasiswa –pilar intelektualitas bangsa. Perang tagline, perang jargon, perang slogan, perang singkatan, perang ini-itu, sepertinya sudah sangat sering bermunculan. Entah hal ini dilakukan untuk menarik massa, atau memang sekedar rame-ramean. Namun, ternyata dampaknya sangat memprihatinkan. Euforia demokrasi a ala mahasiswa yang memparsialkan antara kesuksesan Pemira dan bentuk pergerakan terkadang sangat membingungkan –bagi yang menyadarinya. Tidak sama dengan apa yang diusungkan, bahkan terkesan cenderung memaksakan. Sangat bias. Ini dampak dari metode pencitraan calon.
Beberapa calon pun dinilai plegmatis. Hal ini biasa terjadi dalam beberapa kondisi yang menyatakan tidak siapnya suatu sistem atau tidak tersedianya calon ketua yang berkapabilitas dan mau dicalonkan. Hadirlah mereka sebagai boneka kekuasaan. Alhasil, terjadilah degradasi pergerakan mahasiswa karena tidak paham betul arah perjuangannya. Ini yang biasanya menghilangkan ruh pergerakan mahasiswa. Sehingga, fenomena kehambaran periode kekuasaan seakan hanya terhimpit oleh event organizer kosong yang tidak bermakna banyak. Ironis memang.
Menilik hal tersebut, sungguh riskan rasanya. Tatkala mahasiswa berbicara idealnya soal kelaparan, kemiskinan, pendidikan, pertanian, korupsi, atau hal penting lainnya serasa omong kosong belaka. Sebagian mahasiswa sepertinya dibodoh-bodohi di bawah bayangan Pemira. Banyak praktik kaum elit mahasiswa yang hanya memanfaatkan momentum Pemira untuk memperoleh suara dan memperebutkan kursi kekuasaan. Sedangkan, mahasiswa lain hanya diberikan pencerdasan sealakadarnya. Korban politik kampus yang semakin bias arahnya.
Bertolak dari hal tersebut, sudah saatnya menjadi mahasiswa-mahasiswa yang idealis di tatarannya. Mereka yang mengusungkan intelektualitas mampu bersinergi dalam mewujudkan perubahan yang lebih baik lagi. Pergerakan mahasiswa bukanlah suatu elegansi yang tidak patut dijamah oleh mahasiswa lainnya. Penting sekali. Sifat-sifat apatis dan egosentris hanya akan menyerahkan masalah ini pada keputusasaan yang tiada berujung pangkal. Mahasiswa seharusnya ikut berpartisipasi dalam menentukan arah pergerakan ini, tidak hanya mengatasnamakan organisasi, keagamaan, kelompok, atau hal lain yang berbau unsur kepentingan semata. Bukan. Justru momentum inilah yang seharusnya menjadi pemersatu gerakan mahasiswa yang lebih harmonis, bermakna, dan berdampak luas.
Di sisi lain, kepada para calon ketua yang hendak mendedikasikan jiwanya untuk perjuangan yang sebenar-benarnya –bukan karena kepentingan atau sekedar unjuk gigi- seyogyanya melakukan kampanye yang mencirikan unsur intelektualitas. Tidak hanya manis berbahasa. Tidak hanya mengumbar janji belaka. Apalagi defensive dari rasa ingin tahu civitas akademika lainnya. Kampanye bukanlah satu-satunya cara yang efektif untuk mencerdaskan. Artinya, calon harus lebih banyak lagi meluangkan waktu guna berdialog dengan masyarakat kampus. Logikanya, jika saat ini saja calon sangat sulit dijumpai, bagaimana jika nanti memegang kursi kekuasaan. Mungkin masyarakat akan lebih banyak diterlantarkan (lagi).
Dengan demikian pergerakan mahasiswa tidak sekedar-sekedarnya saja, harus lebih massive, dan harus mendapatkan ruh dari perjuangan itu sendiri secara menyeluruh. Sinergisitas dalam membangun peradaban di miniatur negara ini akan dimulai dengan pencerdasan melalui ajang Pemira. Sehingga harapan terbentuknya IPB yang lebih baik dan bermartabat tidak hanya jargon semata. Karena kita tetap harus berjuang. Karena kita mahasiswa. Tidak ada kata apatis untuk suatu perubahan yang lebih baik.
*Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian 2008

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut