Tulisan ini kubuat sebelum mendapatkan pekerjaan di suatu
perusahaan. Dan memang berencana
mempostingnya sekarang. Aku sudah berkali-kali melamar pekerjaan di banyak
tempat. Kali ini aku merasa memang mencari kerja jauh lebih susah dari mencari
universitas yang mau mendidik dan menampung mahasiswanya.
Kamu tahu bagaimana rasanya menjadi seorang pengangguran?
Tidak enak. Seperti rasa bersalah menghantui kemana pun. Meski aku agak lebay,
tapi memang tidak enak menjadi beban Negara. Yah, meskipun Negara tidak
memberikan kompensasi sosial apa-apa secara langsung seperti di Negara-negara
maju lainnya. Namanya juga tidak bekerja, pemasukan tidak ada, menambah angka
pengangguran. Demikian.
Kalau ada gelar untuk orang yang banyak ditolak oleh
perusahaan impian. Mungkin aku adalah salah seorangnya. Beberapa kali
menghadapi seleksi kerja, beberapa kali pula harapan bekerja pupus. Sampai pada
bilangan ratusan kalau aku jumlahkan.
Aku sampai pada suatu kondisi dimana sudah tidak peduli lagi
dan tidak mau melamar kerja. Karena kupikir ini hanya akan berakhir sia-sia.
Kemudian aku mulai mengutuki diriku sendiri dengan beberapa kata-kata rendah.
Disini aku mulai merasa sebagai seorang yang tidak berpendidikan.
Butuh beberapa hari bagiku untuk bisa kembali menahan napas.
Anggaplah beberapa hari belakangan itu aku tidak bernapas. Aku mulai merenungi,
apa yang membuat perusahaan-perusahaan itu tidak tertarik untuk mempekerjakan
aku? Padahal tidak sekalipun aku berbohong tentang diriku sendiri. Ada selintas
pikiran bahwa mereka tidak ingin aku menjadi diriku sendiri. Iya, mungkin
demikian.
Bisakah kamu bayangkan, aku menerka-nerka ketidakpastian.
Padahal ketidakpastian itu hanya ada di dalam pikiranku. Pertanyaan yang sama
masih menjadi konsen utama. Kenapa mereka tidak mempekerjakanku? Apakah aku
memang begitu tidak berkompeten bagi mereka? Serendah itu kah mereka
memprediksi etos kerjaku untuk perusahaan mereka?
Pikirku kemudian melangkah ulang. Entah apa namanya, setiap
usai FGD atau wawancara, ada perasaan tidak lega. Kukumpulkan semua
serpihan-serpihan sebab. Semua apa yang kupikirkan. Dan segala situasi-situasi
itu. Caraku menjawab pertanyaan yang berbelit-belit. Intonasiku yang buruk. Dan
alasanku yang spontan tak bermakna. Sehingga kutersadar pada satu kesimpulan;
memang ada yang tidak beres. Singkatnya, aku memang sangat menginginkannya
tetapi tidak bersungguh-sungguh. Aku menghiraukan garis tebal Totalitas!
Kurang pengalaman sudah pasti nomor satu. Namun, minimnya
persiapan menjadi penyebab utama. Mungkin karena aku terlalu percaya diri.
Padahal apalah aku ini. Ndak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan alasan sebuah
perusahaan untuk merekrutku. Untuk itulah, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa
semangat. Menyiapkan segala hal untuk menghadapi wawancara selanjutnya.
Menulis draft wawancara yang berisi prediksi-prediksi
pertanyaan. In English, ajigile.
Kemudian mencoba untuk mengucapkannya beserta dengan ekspresi meyakinkan itu.
Mencari informasi tentang perusahaan yang akan dituju. Mencocokkan atmosfer
mereka dengan keahlian dan pribadi yang kumiliki. Menyesuaikan semua gesture
tubuh yang akan dipakai. Berlatih intonasi. Kulakukan semua hal untuk “menjual
diri”. Ini namanya Totalitas, pikirku.
Semua ini membawaku berbicara pada benakku,
“Saya siap untuk wawancara ini. Mengunyah semua pewawancara
dengan semua persiapanku. Dan aku tidak main-main dengan semua kesungguhan
ini.”
Bismillah.
24 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar