Bangun, Risa



Remang-remang. Jalanan itu tampak seperti dilanda gempa. Kurasakan keringat dingin yang keluar dan mengalir di dahi. Sekuat tenaga menahan berontaknya lambung. Ia ingin menolak semua makanan sedari pagi. Di sela-sela jalan tikus itu aku mendorong badanku ke kiri. Sambil bertumpu pada tangan sebelah kanan.

Gemerutuk gigiku menahan dingin yang mengigil. Aku merasa napasku tak seberat saat kuteguk minumanku yang terakhir. Beberapa linting rokok jatuh dari saku baju depan. Tepat di hadapanku. Kubiarkan pipi ini menyentuh dinginnya pavin blok malam itu. Sehingga kunang-kunang yang kutangkap dari kilau cahaya lampu, sesaat kemudian menghilang.

Dan aku terbangun saat kudapati tubuhku terselimuti. Ada seorang wanita paruh baya yang terbaring di sampingku. Siapakah dia? Pikirku. Kulihat garis keriput di wajahnya yang masih menyisakan kecantikan. Kucium aroma tubuhnya lebih dekat agar aku dapat mengenalinya. Ibuku kah?

Bukan. Ia bukan ibuku. Aku terpaku beberapa saat memperhatikan irama napasnya dalam lelap tidur. Kubelai kepalanya. Ia memberiku respon dengan sedikit gerakan. Hatiku sedikit berdesir. Apalagi saat ia mengangkat kepala dan membuka sedikit demi sedikit matanya.

“Engkau sudah bangun, Nak?”

“Sudah.” Aku menggeser tubuhku beberapa jarak ke belakang. Kuambil selimut yang menutupi tubuhku tadi. Tak paham lagi,  mengapa aku mengenakan pakaian anak-anak seperti ini? Wanita itu mendekat sambil berusaha tersenyum menenangkanku.

“Kemarilah, Lidya.”

“Lidya? Namaku Risa. Bukan Lidya.”

Dia berusaha mendekap dan memelukku erat. Entah kenapa aku pasrah dilakukannya seperti itu. Dia terdiam sebentar sebelum mengecup kepalaku dan berkata, “Engkau Lidya, anakku. Risa telah tiada, Nak. Jangan engkau kenang terlalu lama lagi.”

Aku berusaha memahami apa yang tengah terjadi. Kucoba untuk menutup mata, berharap aku bisa kembali menjadi Risa. Namun tidak kutemukan tubuh Risaku. Aku seperti terjebak dalam jasad seorang anak perempuan. Ia dingin. Sehingga bisa kurasakan tubuhku seperti terbakar menahan pelukan wanita tersebut.

“Biar kubuatkan susu hangat kesukaanmu, Sayang.” Ia melangkah keluar, seiring masuknya beberapa orang berbaju putih dan hijau pastel. Mereka datang mendorong kereta tidur ke arahku. “Ada apa ini? Siapa kalian?”
Mereka tak menggubris. Mereka seperti tak mendengar. Dan aku seperti pasrah saja saat mereka mengangkatku ke kereta tidur tersebut. Empat orang berbaju tanpa motif itu memakai masker dan berbicara sesuatu yang tidak bisa kudengar. Ingin sekali kutarik masker itu agar kubisa melihat gerak bibirnya. Namun sebelum itu kulakukan, seorang di antaranya menutup mataku. Semua terasa gelap, sampai aku menemukan cahaya dan melayang.

Suara jendela yang terhempas angin mengganggu pendengaranku. Rasa letihku mengantarkan kantuk yang teramat sangat. Aku baru seperti habis melayang. Kucoba membuka mataku. Tak ada lagi orang yang memanggilku dengan sapaan Lidya. Jendela itu terbuka lebar. Rupanya angin pantai lah yang membawa desir ombak hingga ke telinga. Ia yang membangunkanku.

Ada sebuah meja rias di sudut kamar. Meja itu dihiasi ornamen-ornamen binatang laut yang dulu sangat sering kupunguti bersama Mila. Kurenggangkan selimut katun yang memberiku kehangatan sedari tidur. Menarik tubuhku keluar dan menapak pada lantai kayu berpelitur. Saat ingin kututup jendela itu, aku berhenti tepat di atas meja rias. Sebuah cermin besar di atas meja memantulkan bayanganku. Di hadapannya aku terdiam.

“Siapakah wanita kurus di hadapanku?”

Tidak aja jawaban. Kecuali bayangan itu mengikuti persis setiap gerakan dan mimik wajahku. Kuremas pipiku yang sudah menjadi tirus. Kutepuk-tepuk untuk merasakan sakitnya. Aku tak merasakan apa-apa. Kecuali kupingku bising oleh sebuah suara dari luar jendela.

Itu adalah sebuah perahu yang terkapar di karang. Sesekali ia terombang-ambing terhempas ombak. Beberapa awaknya melompat berhamburan dari dek ke dalam laut. Ombak tinggi menggulung seperti sebuah mimpi. Sebentar, apakah aku sedang bermimpi?

Aku melangkah mundur. Kutengok kembali cermin besar di atas meja. Sepasang mata menatapku bingung. Lamunanku seperti orang yang sedang bermimpi. Sampai kudengar seseorang yang menggedor pintu perlahan. Suara ganggang terbuka perlahan. “Siapa?”

Seorang wanita tak terlalu tinggi. Berambut pendek dan tergelung kedalam. Matanya sebesar biji almon. Hidungnya meski mungil, namun tajam. Wajahnya putih. Dan beralis tipis. “Aku membawakan teh hangat untukmu, Dinda.”

“Dinda? Aku bukan Dinda. Aku Risa.”

“Aku Risa yang engkau maksud.”

“Betul kamu, Risa. Lalu aku siapa?”

“Tentu kamu Dinda.”

Aku menutup mulutku. Wanita itu menaruh sebuah poci hangat yang masih mengepulkan asap. Ia memasukan tanganya dari kantong celemek putihnya, kemudian mengeluarkan beberapa tablet obat. “Diminum ya, Dinda,” ia meletakkannya di samping teko. Sebelum wanita itu keluar ruangan, kupanggil namanya dengan namaku sendiri. Ia menoleh ke belakang dan mendekatiku.

“Perahu siapa itu? Kenapa dia karam di sana?”

Wanita itu hanya menutup jendela kamarku dan merapikan gordennya kembali. Saat ingin kucegah, ia menahanku. “Minumlah obatnya, Dinda. Aku bawakan obat penenang juga.” Langkahnya gontai menuju pintu keluar. Aku bersedekap mengamatinya. Saat akan menutup pintu dari luar, ia menundukkan kepalanya dan menghilang.

Aku duduk bersandar di kursiku. Sambil kutuangkan teh panas ke dalam cangkir. Bayangan wajahku samar-samar terlihat di atas riaknya air teh. Kurasa aku baru terbangun. Namun obat penenang yang dimaksudkan itu membawaku kembali ke alam tak sadar.

Kucoba membenarkan rambutku yang kusut. Saat terbangun ternyata aku tertidur sambil bertumpu pada meja di ruang tamu. Rasanya leherku sakit sekali. Entah karena posisi tidurku yang salah. Atau karena sesuatu membenturku. Mimpi lagi kah? Aku tak seperti sedang merasa mimpi di dalam mimpi. Namun aku merasa sedang hidup dalam mimpi di orang yang berbeda.

Dan kali ini, aku terbangun dalam keadaan seperti ini. Ternyata tak hanya leherku yang sakit. Pinggangku seperti lembam. Kuseka bibirku yang terluka kecil dengan darah yang mulai mengering. Lenganku lebam. Beberapa garis luka sudah melukiskan sakitnya.

Seorang lelaki datang membawa sebungkus nasi dan dilemparkannya begitu saja di hadapanku. Ia duduk di atas kursi, sedang aku tak melepaskan pandanganku kepadanya. Wajahnya merah menahan amarah. Kemudian meludah ke arahku.

“Lihat apa kau? Tak tahu diuntung! Makan!”

“Siapa kamu?”

Ia mencondongkan badannya kemudian mencengkeram rambutku. Kepala ini rasanya dikuliti hidup-hidup oleh perihnya. Matanya menatapku lekat-lekat. Sehingga bisa kulihat pantulan bayanganku di dalam pupil matanya yang cokelat. Intuitif tanganku mencoba untuk melawan dan melepaskan cengkeramannya. Sayang, ia jauh lebih bertenaga dariku.

“Wanita hina. Aku sudah sangat muak denganmu. Puas kau mempermalukan aku di hadapan orang-orang? Istri kurang ajar macam apa yang melakukan itu? Keparat!”

Ia mencengkeram lebih kuat sehingga membuatku semakin meronta. “Hah? Puas kamu? Suami yang engkau nikahi ini seorang penyuka sejenis. Suka kamu? Puas?”

Aku sontak menangis.

“Menangislah, wanita jahanam,” ia melepaskan rambutku. Kemudian menampar sekali lagi tepat di pipi kananku. Luka itu terbuka kembali. Namun darah itu tak aku seka. Sekali lagi ia menendang rusukku. Rasanya organ dalamnya tertekan dan membuatku susah bernapas.

“Munafik! Engkau membohongi semua orang dengan sikap baikmu,” entah dari mana memori itu sehingga aku bisa mengatakan demikian lancarnya. Lelaki itu hanya tertawa dan membuka resleting celananya. Sebelum ia mendekatiku, aku sudah terbangun lebih dahulu dengan sisa kekuatanku.

“Risa!” panggilannya membuatku tersontak kaget. Dengan ragu aku menahan langkah. Kurasakan tangannya sudah memelukku dari belakang. Suaranya tiba-tiba lembut sambil memanggilku sayang. “Risaku, sayang….. Maafkan masmu.” Aku yang tak bisa meronta seakan terhipnotis. Diciumnya tengkukku. Sedang, yang kulakukan hanyalah menangis. Aku ingin pulang.

Dunia menjadi roboh. Leherku dihantamnya dengan sesuatu yang tumpul. Hei, tunggu dulu, darimana kau tahu bahwa namaku Risa? Tolonglah.

Bangun, Risa.

Seekor rusa membangunkanku di sebuah pekarangan belakang yang cukup luas. Kuperhatikan sekelilingku yang ternyata tidak ada tanda-tanda manusia. “Siapa yang membangunkanku,” tanyaku lirih.

Rusa itu hanya diam. Tentu saja, ia hanyalah rusa. Sejak teori evolusi tak terbukti, rusa tetaplah rusa. Kecuali Rusa itu benar-benar menjadi Risa. Iya, Risa itu aku. Sebentar, ditubuh siapa lagi aku berada?

“Kamu Risa?” tak kusangka rusa itu memang berbicara. “Dan aku sedang di surga?” Ayolah, bagaimana mungkin seekor rusa berbicara dalam bahasa manusia dan berdiri hanya dengan dua kakinya. Kecuali dia adalah seorang Rusa. “Namaku, Rusa,” ia memberikan tangannya.

“Ayolah,” aku berdiri dengan bantuannya. Kemudian membersihkan beberapa rumput kering yang menempel di tubuhku. Rusa hanya tertawa kecil di depanku. Ia mengajakku ke suatu tempat. Biar kutebak. Pasti danau itu. Tempat rusa-rusa melepas dahaganya sebagai mahluk yang hanya makan, lari, dan bercinta. Tapi tidak dengan Rusa yang hanya menikmati keadaan sekelilingnya. Ia kadang menjadi seperti seorang maestro yang memandu semilir angin membelah ilalang.

“Bagaimana mungkin aku berpindah-pindah dari satu mimpi ke mimpi lain, Rusa?”

“Apa yang engkau lihat?”

Kuceritakan semuanya kepada Rusa. Ia tak melihatku bercerita. Namun telinganya tetap ia pasang. Yah, aku sudah terbiasa dengan Rusa. Jadi, tidak diambil hati lagi. “Kenapa aku selalu bermimpi aneh belakangan ini?”

“Mungkin kamu tidak sedang bermimpi.”

“Maksudmu?”

“Kamu melompat dalam satu ruang ke ruang lain. Satu waktu ke waktu lain. Yang membuatmu menggeser Risa-Risa lain yang tanpa mereka sadari sudah melompat ke ruang dan waktu yang berbeda.”

“Aku tak mengerti.”

“Yah, begitulah dirimu, Risa.”

“Kenapa begitu menyedihkan, Rusa?”

“Kurasa karena mereka sedang menyesali sesuatu. Tidakkah engkau lihat ke dalam mata mereka? Harapan. Kematian. Harta. Dan Cinta. Menjadi penyesalan suatu waktu nanti,” ia melirikku sebentar. Oh, Rusa, kamu lumayan ganteng.

“Hei, kamu terlalu banyak bicara akhir-akhir ini,” ingin kuacak-acak rambutnya. Namun dia tak mempedulikanku seperti biasa. Sampai akhirnya aku terdiam saat ia mengambil tanganku dan menempatkan ke atas kepalanya sendiri. “Ayo…” katanya. Aku tertawa terkekeh kemudian mengacak-acak rambutnya yang pirang.

“Rusa… aku sangat mencintaimu.”

Aku tahu. Tapi bangunlah, Risa. Kita sedang bermimpi.

Ayo, bangun. Tetapi, aku tak mau menjadi orang lain. Aku ingin sebuah kehidupan yang bebas. Sebuah kehidupan yang hanya diri sendiri menjalankan. Tak mempedulikan apa kata orang.

Remang-remang kota sudah menjadi pagi. Saat seorang petugas bersih-bersih membangunkanku. Kutahu, ia yang mengambil beberapa linting rokokku yang jatuh. “Mbak tidak apa-apa?” adalah kata yang pertama kali kudengar setelah, “Bangun, Risa.”

Bagaimana mungkin ia mengenal namaku?

Kau tahu? Saat aku berjalan menelusuri kota sesuatu telah mengambil nyawaku. Sebuah mobil yang dikemudi oleh Rusa telah membunuhku. Bukan, bukan Rusa yang membunuhku. Tetapi saat ia menjauhiku, aku tak tahu lagi. Hidup ini seperti salah melangkah. Kemudian sebuah mobil yang dikemudi oleh Rusa meninggalkanku. Yah, kau tahu, ia kusebut membunuhku dalam penyesalan.

Saat aku tiba di kantorku. Aku tertidur kembali di samping mayat seorang anak. Ia korban kedua orang tuanya. Dan itu aku.

Bangunlah. Risa

1 komentar:

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut