Empat Botol Fanta



Teriknya mentari Ayutthaya seakan memeras habis cairan tubuh. Kututupi silaunya dengan topi, agar dapat melihat sebagaimana mestinya. Seorang sahabatku berjalan di depan sambil menyeka keringat yang menetes di dahinya.
“Kenapa harus Fanta?”

Kuperhatikan raut mukanya, ia agak terkejut. Dan kami pun tertawa renyah. Seorang Muslim bertanya kepadanya, kenapa sesajen yang diberikan kepada sang pembawa keberuntungan haruslah bermerk Fanta.

Kukatakan, sebenarnya aku ingin sekali menanyakan hal ini beberapa kali kepadanya. Namun, perasaan tidak enak dan kekhawatiran menyinggung hatinya, membuatku urung melakukan. Dan ini kesempatan baik, lirihku kemudian di dalam hati.

“Saya kemarin memperhatikan seorang tukang ojek memberikan empat botol Fanta merah kepada sebuah patung,” sahabat Muslimku itu memperjelas.

“Haruskah ia berwarna merah, Gie?” timpalku.

“Hmmmh…. Kenapa ya?” Ia menggaruk kepalanya. Aku menjadi geli melihat gerak-geriknya yang polos. Ia jenaka.

“Ya, kalau aku perhatikan orang-orang memang sangat banyak menggunakan Fanta untuk dipersembahkan. Tetapi, aku tidak berpikir sejauh ini. Kenapa ya? Oh, mungkin karena patung keberuntungannya wanita, dan wanita suka dengan rasa stroberi.”

“Kamu suka stroberi?” tanyaku kepada seorang wanita di sebelahku. Ia menggeleng. “Nah, kan!” kutepuk pundak Gie. Sok tau, kataku.

“Sejak aku lahir, orang-orang sudah memberikan Fanta kepada pemberi keberuntungan itu,” jelasnya sambil menahan tawa.

“Hmm… Menarik. Lalu, bila Fanta belum diproduksi dulu, minuman apa yang kalian pakai?”

“What?” katanya setengah berteriak. Aku tertawa menatap ekspresinya.

“Jangan tanya yang aneh-aneh, ah. Aku nggak tau.”

“Gie, mungkin Fanta memonopoli pasar persaingan minuman bersoda di Thailand,” kucoba memasang raut wajah serius, “namun khusus untuk pangsa pasar sesajen.”

Hahahaha. Tawanya pecah. Kami pun ikut tertawa. Ia mungkin tak menyadari bahwa kami sedang menggelitik doktrin-doktrin yang menurut kami tak masuk akal. Dia mengeluarkan telepon genggamnya. Kemudian mengetikkan sesuatu. “Mencari di google?” tanyaku. Ia mengiyakan.
  
“Wah, aku dapat,” katanya riang, “orang zaman dulu menggunakan darah sebagai persembahan. Makanya harus yang berwarna merah.”

“Apakah darah serupa dengan Fanta merah? Kenapa tidak jus tomat sekalian?”

Hmmmh… Dia melihat ke kiri dan kanan. “Aku nggak tau,” katanya, "hmmmh... tapi disini katanya, boleh pakai Fanta, Miranda juga boleh. Tapi, nggak boleh pake EST (brand lokal). Hah!?" lantas semua pun terbahak. Dia menyerah dan mengaku bukan seorang penganut budha yang baik, mungkin penganut lain tahu jawabannya.

“Itu ada minuman yang dipersembahkan. Dia bukan warna merah. Itu jus jeruk,” kata seseorang lagi.

“Nah loh, Gie. Bisakah engkau menjelaskan?”

Dia menggeleng polos. Kutepuk pundaknya. “Sudahlah, jangan diambil serius. Aku hanya ingin membuatmu sedikit berpikir saja. Jika kamu meyakini hal itu, lakukanlah hal yang membuatmu nyaman. Tidak ada paksaan dalam beragama.”

Dia kemudian tertawa lagi, “Aku jadi kepikiran. Kenapa ya?”

Gitu aja terus. Sampe Gajah di Thailand ikut-ikutan jadi bencong.

~ ~ ~
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui" 
(Q.S. Al-Ankabut: 41)

1 komentar:

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut