18 Agustus 1945
[15 menit sebelum sidang PPKI]
“Jadi mereka menganggap itu sebagai sebuah diskriminasi agama, Bung?”
“Nishijima sendiri yang menyampaikan kepada saya selaku juru bicara opsir Kaigun”
“Nishijima?” Ia menginterupsi.
“Seorang pembantu Admiral Maeda di daerah timur sana, Bung Kasman. Masih ada lagi pesannya?,” tanya Hasyim.
“Kita hampir saja melupa seandainya tidak sempat diingatkan. Opsir tadi menyampaikan bahwa ini adalah kebulatan pemimpin-pemimpin protestan dan katolik yang diduduki Kaigun. Jika ini diteruskan, maka mereka lebih memilih berdiri di luar republik.”
“Bung sudah menyampaikan bahwa hal itu hanya mengikat khusus masyarakat Muslim?” Teuku Mohammad Hassan angkat bicara.
“Justru hanya akan menyakiti perasaan mereka, Bung. Tercantumnya ketetapan itu artinya menjadi pokok undang-undang sebuah negara. Sebuah landasan penting yang akhirnya membakar kecemburuan sosial.”
“Saya tidak ada masalah dengan penggantian sila itu, hanya saja,” Ki Bagus Hadikusumo melemparkan pandangannya, “apakah keputusan ini akan diterima nantinya? Penandatanganan Mr. Maramis sudah menjadi legalitas. Tidak mudah menjelaskan, apalagi sembilan puluh persen rakyat republik ini Muslim, Bung.”
“Bagaimana dengan Soekarno? Bukankah ia yang mengusulkan ketetapan itu,” Kasman terbangun dari kursinya kemudian mengambil setangan dari kantung celananya.
“Saya pikir ia tidak akan berkeberatan. Baginya memulai kemerdekaan adalah hal yang terpenting. Bagaimana menurutmu, Bung?”
Sebuah kaca mata tebal memperhatikan lawan bicaranya dengan penuh kesederhanaan. Ia membersihkan tenggorokannya sembari membenarkan posisi duduknya. “Saya pikir, harga mati untuk sebuah kesatuan Indonesia.”
“Kalau memang begitu, demikianlah. Kita buktikan kepada dunia betapa tolerannya Muslim Indonesia kepada minoritas. Mari kita keluar, Bung Hatta,” pinta Hasyim sembari memperhatikan arlojinya.
[20 September 2013]
14.30 waktu setempat
Detak jam terdengar jelas olehku, sesekali coretan kertas yang basah oleh tinta menjamah pendengaranku. Sebuah salib berukuran kecil terpajang di bawah pintu rumahnya. Aku menyadari bahwa seisi rumah ini adalah seorang kristen yang patuh.
“Jadi, kak, apa salahnya ideologi komunis itu?”
Aku menghela napas sesaat, khawatir seorang militer yang ia sebut sebagai Ayah datang menghampiri dan menegurku. Aku sudah siap-siap dengan satu alasan materi kurikulum sekolah. “Tidak ada yang salah dengan pemikiran manusia, Dik. Ideologi hanyalah sebuah ide, seperti yang kakak sering bilang, ia diyakini kebenarannya oleh mayoritas penduduk di suatu negara,” ia mengamati setiap kata-kataku.
“Lalu, apa ideologi negara kita, Kak?”
“Pancasila.”
“Kenapa Pancasila, Kak? Kenapa tidak demokrasi saja?”
Aku tersenyum mendapati sifat kritis dari seorang bocah wanita di hadapanku.
“Kenapa harus demokrasi, liberal, komunis, atau sosialis kalau kita bisa membuat ideologi kita sendiri? Bukankah masyarakat kita unik?”
“Kalau unik lantas mengapa, Kak?”
“Karena kita unik, ideologi kita pun harus unik. Dengan harapan ideologi itu mengakomodir semua kebutuhan masyarakatnya.”
“Semuanya, Kak?” aku mengiyakan dengan sebuah isyarat. “Termasuk kaum minoritasnya?”
Aku terhentak mendengarkan kata minoritas dari bocah belia ini. Seperti tidak dinyana ia mendapatkan kata-kata khas diskriminasi. “Tidak ada kata minoritas dalam konsep Pancasila, Dik. Orang-orang terdahulu sudah susah-susah menghapusnya.”
“Tapi, kenyataanya mereka...” Aku terdiam sesaat ketika sebuah pesan twitter masuk di perangkatku,
“Mas, ingat, negara ini negara hukum. Nggak usah bawa-bawa hukum Arab.”
Kukayuh sepeda selaju mungkin. Secepat pikiranku yang bergumul di dalam. Menyesakkan dada. “Kami berikan sila pertama agar engkau mengerti dan menyatu. Kini engkau menyangkal dengan dalih negara hukum, agama kami pun diinjak.”
Tidak untuk semua mereka.
0 komentar:
Posting Komentar