Iring-iringan dua mobil angkatan darat melaju menelusuri jalur khusus militer. Jalur tersebut memang sengaja dibuat untuk mempermudah akses Askar menuju lokasi-lokasi tertentu. Pepohonan rimbun di sepanjang jalan menjadi objek yang diproyeksikan oleh retina kedua bola mata Faishal. Dia merasa beruntung sekali. Seorang biasa sepertinya memiliki kesempatan yang tidak biasa.
"Menakjubkan sekali, Khun(1) Faishal. Kebudayaan Indo dan Thai memang tidak terlepas dari sejarah. Saya sering mendengar tentang kerajaan Srivijay(2), namun tidak menyangka hubungannya akan seintim ini," seorang Askar berpangkat menengah mencairkan keheningan.
Faishal memperhatikan lawan bicaranya dari spion kaca. Sambil tersenyum dia mengangguk pelan. "Negara-negara di Asia Tenggara melewati banyak sekali hubungan historikal. Baik maupun buruk, " ia menggaruk dahinya, "sayang sekali, perbedaan membuatnya pecah."
Seorang kolonel menertawainya. Sebuah suara yang tidak pernah asing di telinga Faishal. "Hati-hati Dek Faishal, komunis juga dilarang disini,” ia mendehem beberapa kali, kemudian, “Indikator sebuah negara besar memang tidak dapat dinilai dari luasnya wilayah. Butuh usaha yang lebih untuk memenuhi kebutuhan orang banyak.”
“Justru kita bisa membentuk negara federasi, Pak,” potong Faishal.
“Oh, ya? Bukannya Adik sendiri yang mengatakan tadi bahwa hubungan historis semua negara di Asia Tenggara sangat kental, bahkan jauh sebelum perang dunia pertama. Namun, munculnya negara-negara koloni barat memetakan semua hubungan itu menjadi lebih terbatas. Perbedaan tidak dapat dihilangkan, akibat asimilasi kebudayaan. Bukan kah begitu Khun Jum?”
Seseorang di depan mengangguk setuju. Sedang Faishal membenarkan posisi duduknya. “Iya, Pak. Hubungan lateral antara negara memang menjadi solusi terbaik, hanya saja...”
Kolonel Mahdi menatap mata Faishal lebih tajam. Ia berbahasa dalam bahasa Indonesia, “Tidak semua sejarah yang kamu lihat itu benar, Dik. Sejarah itu dibuat untuk menguatkan posisi seorang penguasa. Nilai tengah dari sebuah sejarah adalah diam.” Suaranya datar, membuat Faishal memilih untuk tidak melanjutkan percakapannya.
Faishal menatap ke langit Krung Thep yang mulai menghitam. Ada banyak gumpalan awan hitam yang bergerak dari utara. Gumpalan-gumpalan itu bak sekelompok huru-hara dalam benaknya. Semua orang menjadi diam dalam mobil hijau lumut itu. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.
Kesengsaraan manusia terletak
pada ketidakmampuannya untuk diam
Faishal tiba-tiba teringat pada catatan seorang. Pascal sang pemikir.
~ ~ ~
“Aku kadang tidak percaya kepada hujan,” wanita itu menghentikan biola dari jemarinya yang lentik. Kemudian menatap lawan bicaranya. “Sebab ia sangat sulit ditebak. Kapan ia singgah. Kapan ia hanya berlalu tanpa meninggalkan sebulir pun air untuk melepas dahaga.”
Zabeela menatap Mar dengan lembut sembari meletakkan biola di atas meja terasnya. “Ia seperti memberikan harapan. Pun sebagai wanita mungkin kita terlalu banyak berharap.”
“Sayangnya, kita hidup karena sebuah harapan, Mar. Apa yang salah dari hujan, ia hanya mengikuti kemana angin akan membawanya. Karena disitu lah takdir mulai menuntunnya. Mungkin hujan memeluk harapan kita, tetapi derasnya angin di atas sana tidak kuasa kita ketahui. Mungkin tandusnya tanah di tempat kita berpijak menyengsarakan kita. Namun, ada kesengsaraan lain yang tidak kita tahu. Dan biarkan angin menuntun segalanya.”
Mar mulai meresapi kata-kata sahabatnya yang begitu dalam. Ia menatap langit Yala. Cerahnya kini telah diambil oleh awan-awan hitam yang bergerak membisu. Sepertinya hujan akan datang. Ah, tidak, ini hanya dugaan, dan aku tidak mau menaruh harapan apa pun kepada hujan, batin Mar.
“Mau kah engkau pergi bersamaku ke Pattani, Bee?”
Zabeela mengernyitkan kedua alisnya yang hitam dan tebal. “Ada sesuatu yang ingin aku cari,” lanjut Mar.
“Lupakah kamu akan instruksi yang kalian putuskan kemarin?”
“Anggap saja ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Katakanlah ini hanya sebuah perjalanan antara dua orang sahabat yang sudah lama ingin bersama.” Zabeela memanggil nama sahabatnya. Keadaan hening sejenak.
“Aku paham. Ini memang agak berbahaya bagimu. Aku akan kesana sendiri, Bee.” Ia masuk menuju ruang kamarnya.
Zabeela menatap punggung sahabatnya. Ada sebuah kegelisahan dari sekedar keselamatan dirinya. Ia berjalan menyusul sahabatnya. “Mar,” ia menggelengkan kepalanya, “Apa yang membuatmu begitu keras kepala akhir-akhir ini?”
“Aku sudah melewati banyak hal, Bee”
“Rasa ingin tahumu itu, kadang aku berpikir agar kamu lebih baik untuk...”
“Aku tidak bisa diam. Dan tolong jangan memintaku untuk diam,” Mar memotong kata-katanya. Zabeela sontak memeluk sahabat lamanya itu. Mereka membisu kembali beberapa saat.
“Andai engkau tahu, Mar. Aku yang lebih menderita karena hal-hal yang aku ketahui. Dan aku tidak ingin engkau pun mengalaminya. Menjadi orang terlalu tahu banyak hal, menghabiskan separuh hidupmu.”
“Kita ini sudah tahu terlalu banyak, Bee. Semenjak engkau menceritakan segalanya kepadaku di Krung Thep.” Mar melepaskan pelukan Bee, memegang kedua lengannya dengan lembut.
“Angkat kepalamu. Mari kita selesaikan segala urusan yang tertunda ini.”
(1) Khun: Tuan
(2) Srivijay: Sriwijaya
0 komentar:
Posting Komentar