Mahesa #14 Pelarian



Ia telah turun sejak setengah jam Pad menunggu di ruang tamu. Wajar saja hari ini lebih panas dari biasanya. Uap air menari-nari dipanggil sang awan. Juga terik mentari yang menjemput mesra sayup-sayup di tengah fatamorgana. Hujan turun membasahi bumi Siam yang subur.
 
Pad menatap sekelilingnya, beberapa perabotan buku terpajang selang-seling berwarna-warni. Ia menduga semua ini adalah teks-teks lama dengan sampul antik yang hanya dapat diperoleh sebelum tahun tujuh puluhan.
 
“Ini koleksi Bapak?” tanya Pad mengacu kepada pimpinan pondok ini. “Tidak, itu buku Ahmad. Anak tertuanya. Bapak tidak bisa membaca”
 
Pad mengernyitkan dahinya. Bagaimana mungkin seorang pimpinan sekolah tidak dapat membaca. Rasa penasaran menusuk dadanya berkali-kali. Tentang nenek pengemis tadi, tentang sekolah, juga tentang buku-buku ini. Sebenarnya siapa pemilik sekolah ini, batinnya.
 
“Dan ibu?”
 
“Saya istri kedua Bapak.”
 
Pad mengamati mimik wajahnya yang datar. Sebaris bibir mungilnya tampak memermak senyuman. Pad membalasnya sambil mengangguk mengerti. Wanita dihadapannya ini sekira tiga puluhan tahunan.
 
Satu jam sudah mereka menunggu Bapak dengan percakapan-percakapan formalitas. Pad memperhatikan arlojinya. Sedikit bimbang karena mengganggu kesibukan wanita di hadapannya. Ia tidak lagi menggendong bayinya, mungkin sudah dikeloninya di dalam kamar dengan buaian-buaian mimpi.
 
Seseorang membuka pintu kamar. Wanita, yang kepada Pad memperkenalkan dirinya sebagai Fat, bergegas menghampiri untuk membantu membukakan pintu. Ia membantunya, seorang pemuda berbaju koko di atas kursi roda.
 
Pad berdiri dan memperhatikan seseorang di depannya. Dadanya bidang, wajahnya putih bersih, sedang perawakannya tenang. Ia tersenyum, sembari menyapa, “Ada tamu rupanya?”
 
“Ini...”
 
“Ahmad,” jawabnya.
 
“Ia salah satu pengajar di madrasah ini,” tambah Fat.

“Bapak sepertinya akan pulang malam hari ini, ada yang bisa saya bantu, Phi?”
 
“Ah, panggil saja saya Pad,” selanya, “saya hanya sekedar ingin bertanya tentang sekolah ini.” Ahmad memberi aba-aba untuk mempersilakan tamunya duduk.
 
“Mungkin saya bisa menjawab beberapa pertanyaanmu, Pad. Sembari menunggu Bapak pulang. Tetapi untuk beberapa pertanyaan yang tidak menjadi wewenang saya, nanti bisa ditanyakan langsung ke Bapak.” Ahmad membisikkan suatu kata dalam bibirnya. Basmallah.
 
“Tadi saya sudah banyak berbicara dengan Phi Fat tentang sekolah ini. Ternyata sekolah ini belum begitu lama berjalan,” Ahmad memperhatikan permukaan air teh yang mengkerat akibat tanin.
 
“Intinya, madrasah ini dibuat tidak lain sebagai sarana menimba ilmu agama yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah budhist,” Ahmad menimpali.
 
“Ya, madrasah ini memang sangat bermanfaat bagi kalian umat muslim,” Pad berbasa-basi.
 
“Tidakkah lebih baik langsung pada inti pembicaraan, informasi apa yang Anda perlukan?”
 
Suasana hening sejenak. Pad memperhatikan Ahmad yang melirik kepada Fat. Wanita itu bergegas menuju bilik sebelah seperti ada kesibukan lain yang ingin ia kerjakan.
 
“Berapa banyak peserta didik disini?” Pertanyaan Pad membuat Ahmad memilah informasi yang harus ia sampaikan. “Sekitar dua puluh empat, dua orang akan kami kembalikan seminggu lagi.”
 
Pad menjatuhkan pandangannya tepat di mata Ahmad. Ia menciptakan mimik wajah yang ditangkap oleh Ahmad sebagai sinyal ketidakmengertian. “Apa saja yang sudah disampaikan atasanmu?”
 
Pad menggeleng. “Aku bahkan tidak tahu, apa yang harus aku tuliskan di wawancara ini. Ia hanya mengatakan ini berita ekslusif.”
 
“Ini berita bawah tanah.”
 
Pad menahan napasnya sejenak, “Apa yang sedang kalian rencanakan?”
 
“Keadilan”
 
“Mereka ini adalah pelarian yang kami tampung. Rata-rata yatim piatu, minimal yatim. Bahkan ada beberapa diantaranya yang menjadi simpang kramat keluarga. Semua sanak saudaranya habis dibantai,” pukas Ahmad.
 
“Apakah tidak mengapa informasi ini Anda bocorkan?”
 
“Anda ini aneh sekali. Jurnalis macam apa yang menginginkan informasi sederhana. Lagi pula saya meyakini, kedatangan Anda kesini sebagai jurnalis yang berpangku kepada data. Uraian singkat dari saya ini, apa bisa Anda tulis tanpa bukti pendukung lainnya? Saya hanya membuka gerbang, silahkan Anda yang melanjutkan”
 
Kata-katanya bernada lembut, namun Pad merasa geram karena diri jurnalisnya diobrak-abrik dihadapan seorang narasumber yang baru ia kenal. “Sepertinya mereka belum pulang ya? Sepi sekali sekolah ini.”
 
“Mereka tidak tinggal di sini hari ini. Terlalu mudah dilacak militer”
 
Benar-benar pelarian, batin Pad.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Instagram

Populer

Kategori

AEC (6) Aksel Zoo (3) Asean (2) bima (1) buku (3) CAFTA (2) cerpen (4) cool (1) curhat (5) election (1) Experience (17) Filsafat (2) fotografi (5) history (2) hobby (7) Ilmu (2) indah (1) indonesia (13) industri (4) inspirasi (18) islam (3) joke (1) Kebudayaan (12) kenangan (1) kritisi (22) Leadership (20) mahesa (17) marketing (3) Moral (49) movie (1) pendidikan (4) Pergerakan (14) photography (1) pilpres (2) politik (1) prinsip (12) quote (4) sejarah (4) share (71) Shuttlers (1) thailand (13) tokoh (3) travel (4)

Pengunjung

Pengikut