widjan.deviantart.com |
Jujur saja, sejak pertama melihat sosok Jokowi tidak ada ketertarikan sama sekali, hingga suatu saat saya membaca sebuah halaman surat kabar yang tertempel di tembok kamar salah seorang rekan saya. Jokowi, walikota dari tukang kayu, kira-kira begitu bunyinya.
Lama-lama, mendengar apa yang diceritakan oleh rekan saya, saya semakin tertarik untuk mengenal sosok JKW. Surfing mencari tahu dia. Apa yang ada dipikiran saya kali itu adalah, "Ini lah, harapan baru."
Dua tahun saya dibina dalam sebuah program yang orang-orangnya (bukan programnya) erat dengan afiliasi sebuah partai. Selama itu pula sering sekali terjadi diskusi panjang, terutama saat JKW mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI. Wallahi, saya melihat Jokowi tidak memiliki hasrat untuk berkuasa. Nafsu politiknya tidak ada sama sekali. Untuk itulah saya ngotot bahwa JKW cocok untuk posisi itu.
Alasan-alasan tidak masuk akal, seperti "Tidak sama antara Solo dan Jakarta", isu agama, isu ras, dan banyak black campaign lainnya, termasuk penertiban pedagang kaki lima yang booming di solo, berakhir nihil. Bahkan saya disudutkan oleh mereka yang membawa nama golongan.
Saya percaya, Jokowi punya kapasitas membereskan Jakarta. Sampai pada akhirnya JKW menang dalam pemilihan presiden melawan Foke. Politik semakin panas, antara dua kubu. Dan kemudian JKW menang secara fenomenal. Saya tersenyum menang.
Tetapi, itu tidak berakhir lama. Sejak Megawati mengumumkan JKW akan dimajukan sebagai calon presiden, seluruh pandangan saya tentang JKW langsung luntur. Syahwat politiknya sudah terlihat jelas. Alasan-alasan lain seperti ini dan itu menjadi samar buat saya. Yang ada di mata saya, JKW ingkar janji. Sebenarnya tidak semua pendapat saya menyalahkan Jokowi, 70% saya menyoroti PDIP. Partai oportunis. Partai nasionalis yang tega menjual aset negaranya. Partai yang selalu memanfaatkan penyakit lupa masyarakat Indonesia. Partai terkorup. Saat itu tertawa sinis.
Jujur saja, orang tua saya adalah relawan PDIP. Dan saya pernah diikutsertakan saat kampanye. Tapi sejak saya sudah bisa mulai berpikir, PDIP adalah partai munafik buat saya. Hingga pada momen sekarang ini, apa sih yang sebenarnya PDIP mau? Dulu ngomong jangan naikkan BBM, sekarang minta dinaikkan. Dulu nggak berbuat apa-apa, saat kampanye klaim sana sini. Pencitraan gendeng. Ngomong bawa nama Soekarno, jiwanya nggak Soekarno banget.
Satu-satunya yang konsisten dari PDIP adalah menjual aset negara. Yok mari jualan lagi. Pak Soekarno yang ngajarin ya main jual-jual aset? Ini Berdikari versi PDIP.
Ngomong-ngomong tentang aset negara, belakangan ini lagi booming tentang presentasi JKW di APEC. Jujur, saya sangat kagum dengan blueprint pembangunan nasional yang dia paparkan. Entah JKW yang buat atau bukan, kok saya malah berpikir kalau itu JK yang bikin ya? Secara secara strategi, dia jagonya. Haha. Sampai sekarang saya masih percaya Jusuf-Kalla di balik semua itu.
Tapi, banyak yang menyayangkan karena itu seolah-olah menjual aset negara sendiri. Beginilah dilematisnya negara kita. Di saat blueprint kita bagus banget, dananya ga ada tuh. Udah abis diserap sama Amerika di Freeport. Emang kesannya seperti "ngemis". Tapi, coba, kita mau minta pinjaman dimana lagi? IMF? Coba tengok rezim Soeharto dulu.
Jadi begini, jujur saja, pada pemerintahan kali ini, saya menaruh harapan besar pada JK. Masa bodo, apa pun pencitraan yang akan dilakukan oleh JKW. Saya akan memberikan tepuk tangan sebagai sebuah penghormatan karena JKW adalah presiden saya. Tetapi, untuk majunya Indonesia, JK masih menjadi andalan saya.
Jadi keingat dulu di INTCC. Hemat saya, kita butuh berlari kencang saat ini. Mengandalkan pemerintah, payah kita. Oleh karena itu, saya setuju kalau ini dilakukan privatisasi. TAPI. Sengaja saya kapital-tegas-kan. Harus jelas aturan mainnya. Ini dan itu tidak boleh diganggu. Strict! Ini proporsi negara, ini proporsi swasta asing. Swasta nggak boleh menjustifikasi semuanya sebagai aset pribadi. Dan pemerintah harus punya diplomasi yang kuat agar tidak tertindas. Macam freeport. Kalau Soekarno masih hidup, itu militer freeport udah diajak perang kali. (meski banyak hal yang tidak saya suka tentang Soekarno).
Begitu sih, begitu. Privatisasi boleh, tapi ingat, kita bukan negara liberal. Pemerintah memiliki wewenang tinggi untuk mengatur semuanya. Tapi, entahlah, kok saya pesimis kalau PDIP back up-nya. T.T
Yah, begitulah, curahat hati seorang anak Bima.
0 komentar:
Posting Komentar