Pagelaran
Shutdown Bangkok resminya terjadi pada tanggal 13-15 Januari 2014, kemudian diperpanjang hingga waktu yang tidak ditentukan. Aksi ini dilakukan di tujuh sudut kota Bangkok, yakni Chaeng Watthana, Anu savari, Pathumwan, Ratchaprasong, Lat Phrao, Siam, dan Chit Lom.
Shutdown Bangkok dilakukan dengan menutup seluruh akses keluar masuk persimpangan jalan besar yang sering digunakan oleh kendaraan umum. Mereka menggelar semacam tenda pengungsian, panggung, dan dapur umum bagi para protestor.
Jangan membayangkan aksi potes yang terjadi di Bangkok sama seperti yang terjadi di Indonesia. Aksi ini dari informasi yang saya dapatkan hanya terjadi di Bangkok saja. Karena, basecamp golongan elit terpusat di Bangkok. Aksi yang dilakukan oleh golongan kuning cenderung damai. Mereka sekedar berorasi, bernyanyi-nyanyi riang, berjoged, dan mengibarkan bendera Thailand. Sebenarnya, mereka tak hanya mengenakan baju kuning, tetapi segala macam baju. Pembedanya adalah atribut bendera Thailand yang mereka kenakan.
Keributan yang diliput dalam berita-berita yang Anda tonton adalah saat terjadi penembakan oleh mereka yang tidak dikenal. Saya tidak berwenang untuk mengatakan bahwa mereka adalah golongan merah atau bukan, karena bisa jadi itu hanyalah skenario orang di belakang layar. Tetapi, tetap ada kemungkinan juga bahwa yang melakukan adalah golongan merah.
Untuk sebuah aksi protes yang sudah cenderung lama digelar, korban yang berjatuhan tidaklah bisa terbilang banyak untuk dikatakan
chaos. Memang benar ada beberapa orang yang meninggal, dan beberapa di antaranya luka-luka, tetapi ini jarang terjadi.
Pemimpin golongan kuning adalah Suthep Thaugsuban. Jika ditinjau lebih dalam ia juga pernah tersangkut dalam masalah korupsi. Suthep merupakan salah seorang pemerintah di zaman Yingluck yang mengundurkan diri kemudian membelot untuk menentang pemerintahannya. Bahkan Yingluck sampai menantang beberapa pemerintah yang mengundurkan diri tersebut untuk berdebat secara terbuka di depan parlemen. Kenyataannya, tidak ada satu pun yang menggubris panggilan tersebut.
Golongan kuning menuntut agar hak berpolitik keluarga besar Shinawatra dicabut sebelum pemilihan ulang tanggal 2 Februari silam. Sayangnya, segala tuntutan tersebut tidak membuahkan hasil hingga pemilihan berlangsung. Hasil dari pemilihan ulang tersebut menobatkan untuk kesekian kalinya bahwa Yingluck memenangkan perebutan kekuasaan di Thailand. Angka golput pada pemilihan ini tergolong besar di daerah Bangkok.
Cerdasnya, Yingluck tidak terpancing untuk menurunkan militer guna menengahi kerusuhan yang terjadi antara pro dan anti pemerintah. Karena, jika hal tersebut terjadi akan semakin besar timbulnya kekacauan. Yingluck berpotensi mendapatkan kecaman serius dari berbagai kalangan, termasuk internasional. Imbasnya, Yingluck harus mengundurkan diri dari kursi Perdana Mentrinya.
Sebelum pemilihan umum digelar, Yingluck mengeluarkan suatu kebijakan yang kontroversial lagi. Hal ini terkait dengan pembelian kembali beras yang dihasilkan oleh petani Thailand dengan uang subsidi pemerintah. Banyak kalangan menentang kebijakan ini, karena menurut mereka Thailand saat ini sedang dalam kondisi banyak membutuhkan dana APBN. Memang betul kebijakan tersebut akan sangat melindungi petani. Namun, waktunya saja yang kurang tepat. Banyak dari oposisinya menghardik hal tersebut sebagai permainan politik belaka, guna mendapatkan simpati masyarakat di pemilahan umum. Benarkah dana tersebut dari subsidi pemerintah? Siapa yang tahu.
Hingga saat ini gejolak protes terhadap pemerintahan Yingluck masih tersisa, meski pun cenderung mereda. Banyak jalan-jalan dan komplek perkantoran pemerintah yang terblokir kini sudah direvitalisasi. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, bahwa aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat Thailand kurang efektif, terkait dana, strategi, dan waktu.
Tidak mengherankan, aksi protes yang terjadi di Thailand membutuhkan banyak dana. Sebut saja peralatan demonstrasi seperti sound system, panggung, layar, makan, dan anggaran logistik lainnya, berapa juta baht yang harus mereka keluarkan per harinya untuk membiayai itu semua? Ini lah bedanya pergerakan reformasi yang terjadi di Thailand dan negara lain, termasuk Indonesia. Meskipun strategi dan agenda pasca reformasi kita cenderung kurang jelas, rangkaian demonstrasi kita (1998) tidak hanya sebatas emosional belaka, namun juga penuh dengan ambisi pembebasan konstitusi dari belenggu orde baru.
Akhirnya, apa pun yang terjadi pada Thailand selama periode protes ini tidak terlepas dari kepentingan politik. Namun, kita sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang mesti diberantas hangus, mau dia dari golongan mana pun.
Meskipun Thailand dikabarkan goncang oleh isu politik, mungkin tidak terlalu membawa dampak yang berlebihan pada bidang lainnya. Termasuk persiapan AEC tahun 2015 kedepan.
How about Indonesia?
Index:
Part 1 |
Part 2
0 komentar:
Posting Komentar