Saya punya teman, teman saya bercerita kepada saya. Sebut saja namanya Obimbolo. Bolo menyukai seseorang, namanya Jingga. Bolo tahu konsekuensi dari rasa sukanya saat ini. Maka dia mencoba untuk melupakannya. Tetapi ternyata tidak bisa. Pada suatu saat, terjadilah suatu hal di luar rencana Bolo maupun Jingga. Mereka dipertemukan disuatu tempat, keramaian. Bolo tahu, perasaannya kini semakin menjadi-jadi. Begitupun Jingga. Maka, dia pun merenunginya setiap malam.
Umur bolo memang masih terbilang muda. Jingga juga. Tetapi, dia putus asa untuk menghapus perasaannya itu. Hingga pada suatu saat, dia mengambil keputusan, untuk memberitahukan perasaan ini kepada Jingga. Dia mengirimkan sebuah email yang berisi kegalauan dan perasaanya. Dan email itu terbalaskan, isinya adalah sebuah pengakuan dan persyaratan. Pengakuannya adalah ternyata Jingga merasakan hal yang tidak biasa ini, terlebih dia sedang dalam penantian seseorang. Hingga akhirnya, ia menceritakan hal ini kepada orang tuanya. Orang tua Jingga mengatakan, lupakan saja orang yang dinantikannya, mereka tidak setuju karena banyak hal. Jingga semakin galau. Di satu sisi, dia mendapati seseorang yang ingin serius dengannnya tetapi kerap menyakitinya dengan pertanyaan soal keseriusannya. Di sisi lain, dia mendapati seseorang baru yang mengganggu perasaaannya.
Jingga memberikan syarat kepada Bolo, ia memberi nama time frame. Beginilah syaratnya, Bolo harus tetap bersaing dengan siapapun yang hadir dalam hidupnya. Persaingan ini ditentukan oleh waktu, siapa yang cepat dia akan menikahinya. Bolo semakin bingung, umur masih belia, tetapi sudah harus berbicara tentang pernikahan. Bolo memprotes, dia menceritakan kegalauannya. Jingga mengatakan, itu hanya perasaan sesaat, suatu saat bisa saja hilang.
Suatu malam, Bolo mengirimkan sebuah email yang berisikan pernyataan. Dia siap memperjuangkan Jingga ke jenjang pernikahan. Tetapi, untuk syarat time frame, Bolo menyerahkan kepada Tuhan. Karena, masih banyak yang harus diraihnya, termasuk pendidikan, dan membahagiakan orang tuanya. Bolo memahami arti pernyataannya itu, kalaupun Jingga menolak, itu konsekuensi, dia hanya perlu berusaha.
Jingga menceritakan hal itu kepada orang tuanya, lalu apa kiranya yang dikatakan orang tua Jingga. “Saya pikir dia rasional, dia mementingkan pendidikan, dan ingin membahagiakan orang tuanya terlebih dahulu. Baru kemudian menikah. Jingga, nak, ayah pikir kamu harus begitu juga. Itu dijadikan syarat buatnya.”
“Selain itu, ayah? “ tanya Jingga.
“Selain itu, dia harus membuktikan bahwa dia benar-benar bisa membelamu. Ayah tidak ingin kejadian seperti yang sebelumnya.”
Jingga menyampaikan hal itu kepada Bolo. Bolo meresponnya, kemudian dia memperkenalkan diri kepada orang tua Jingga. Merekapun merespon baik. “Kapan kami bisa bertemu, nak?”
“Insya Allah setelah lulus, ustadz”
Di dalam benak Bolo adalah bagaimana ia menjalankan semuanya dengan selaras. Pendidikan tercapai, orang tua terbalas budi, dan Jingga dapat dinikahinya setelah ia benar-benar telah pantas menjadi suami. Suatu saat kelak.
Mengenai time frame, apakah itu masih berlaku? Ya, itu masih berlaku, dan persyaratan dari ustadz, ayahanda Jingga juga masih berlaku. Maka ia akan mengejar hal itu dalam tempo secepat-cepatnya sembari meyakinkan orang tuanya akan pilihannya. Bolo bertanya kepada Jingga, “tidakkah kamu bertanya kepadaku, kenapa tidak tiga bulan saja?”
“Mudah bagiku untuk memberimu syarat itu, Bolo. Tapi menurutku tidak bijak jika aku membalas persiapanmu untuk menjadi suamiku dengan syarat yang tidak masuk akal. Persyaratan itu kondisional, dan aku tahu bagaimana latar keluarga kita berdua. Orang tuamu lebih menyarankan calon istrimu adalah orang yang sudah engkau kenal, juga saat umurmu cukup dan mantap dari segi apapun. Begitupun orang tuaku. Bukanlah seorang anak yang berbakti jika syarat dari mereka aku langgar. Selain itu, orang tuaku memberikan kesempatan kepadamu, maka tunjukkanlah pembelaanmu.”
“Tentang perasaan? Apa engkau tidak khawatir jika aku suatu saat berpaling?”
“Akankah kamu melakukan itu?”
“Tidak. Terlalu banyak alasan yang membuatku harus memperjuangkanmu. Aku yakin, engkau wanita yang dapat membesarkan namaku suatu saat nanti. Ini tentang visi hidup.”
“Maka apa lagi yang engkau ragukan?”
“Dirimu?”
“Tidak, selama engkau menunjukkan kesungguhanmu dalam memperjuangkanku.”
“Dan pembelaanku”
“Ya, dan pembelaanmu”
Semakin hari Bolo semakin mengerti, menjadi sepasang suami istri yang luar biasa tidak bisa instan jadi. Instan ijab kabul. Butuh proses. Proses ini yang akan menguatkan dan menjawab pertanyaan kenapa.
Di tanah perantauan, Bolo dan Jingga bertemu. Suatu saat orang tua Jingga menelpon anaknya, “Nak, apa kabar tugas akhirmu?” Jingga tak mau membahas. Dia risih jika harus ditanyakan. Orang tua Jingga agak tersinggung dengan sikap anaknya. Hal ini selalu diperhatikan oleh Bolo. Bolo tahu, itu salah, maka ia mengingatkan. “Minta maaflah kepada orang tuamu.” Jingga melakukan. Masalah teratasi, Jingga melapor kepada orang tuanya, Bolo yang menasehatinya.
Lebih banyak pembelaan-pembelaan yang dilakukan oleh Bolo kepada Jingga. Ia menceritakan semua kepada orang tuanya. Tidak ada alasan lain yang membuat Bolo seperti itu, untuk membuktikan pembelaan dan mendapatkan kepercayaan orang tuanya. Di tanah perantauan, Bolo mendapatkan mandat langsung dari orang tua Jingga, “Nak, tolong jaga Jingga baik-baik. Segera selesaikan pendidikan kalian. Dan segeralah datang ke sini.”
Ternyata itu tidak berjalan dengan baik. Tuhan menciptakan di dunia ini tidak hanya untuk Bolo dan Jingga. Ada orang-orang yang mengaku sahabatnya. Mereka risih melihat Jingga dan Bolo. Bolo mengerti, Jingga pun demikian. Kedekatan mereka dianggap salah. Terlalu salah, padahal mereka tidak mengerti duduk perkaranya, dan mengenai apa yang sedang mereka perjuangkan.
Di antara sahabat-sahabatnya yang katanya moderat, tetap kekeuh 3 bulan adalah batas waktu. Selain itu, berikan kesempatan pada yang lainnya, karena bisa jadi yang datang adalah yang lebih baik. Mereka berbicara tentang propabilitas, tetapi tidak mengerti tentang apa makna propabilitas itu sendiri. Ini bukan mengenai akan datang yang lebih baik atau tidak. Tetapi tentang keseriusan atau tidak. Bukankah mereka mengakui adanya mufakat, dan ini adalah mufakatnya. Bolo akan berjuang secepatnya dan Jingga akan berusaha mempersiapkan diri yang lebih baik. Tidak ada orang lain yang akan dilihatnya, sampai Bolo tidak memperjuangkannya lagi. Itu kesepakatannya, antara Bolo dan Jingga dan orang tuanya. Karena mereka yang akan menjalankannya, bukan sahabat-sahabatnya.
Kemudian, ketidak sreg-an ini dibahas kemana-mana. Membuat ketidaknyamanan. Lalu mereka berdalih bahwa mereka adalah sahabat. Sahabat makan sahabat? Sahabat adalah mereka yang mencintai keterbukaan untuk menerima perbedaan dan kondisi. Tidak seharusnya dibicarakan di belakang, atau menunjukkan sikap ketidaksenangan. Karena Bolo tidak pernah risih ketika mereka menyukai seseorang, sekalipun dengan berlebihan, dan kata mereka menjaga hati. Bolo merasa, dia serius, dan dia memperjuangkan, dan itu kesepakatannya. Tidak dalam waktu yang dekat. Ini tentang persiapan amunisi. Titik. Bolo baru berpikir, ternyata hal itu juga terjadi pada seseorang yang sangat ia hormati. Mereka saling menjaga hati untuk dia seorang selama 2 tahun. Kini ia sudah menikah. Waktu 2 tahun digunakan oleh orang itu untuk menyiapkan diri. Bolo semakin yakin bahwa ini jalannya.
Jika memang mereka tidak ingin menerima perbedaan itu, maka putuskanlah persahabatan itu, jadilah teman biasa. Aku pikir, Bolo tidak memerlukan teman yang tidak open mind dalam menerima perbedaan.
Jalan adalah jalan.
Biarkan setiap insan menapaki jalannya masing masing.
Kebenaran manusia adalah abu-abu
Manusia hanya akan memperjuangkan apa yang dianggapnya benar
Jikapun itu salah, hanya Tuhan yang tahu
Tak berhak manusia mengutuk
NB: Semua yang Anda baca disini adalah fiksi, kecuali yang benar-benar terjadi.
oke, saya paham. "Jalan adalah jalan.
BalasHapusBiarkan setiap insan menapaki jalannya masing masing".
#boleh ijin share?
Monggo, Er. :)
BalasHapus