Indonesia yang kaya akan hasil alam, sudah lama hanya menjadi "sesombongan" saja. Apa jadinya jika kekayaan alam yang melimpah ruah itu tidak termanfaatkan? Apa jadinya jika masyarakat miskin di rumah gedongan? Apa jadinya jika kekayaan ini dicuri oleh orang asing secara massive?
Jika disangkut pautkan dengan judul yang disadurkan kepada Indonesia sebagai negara agraris ataupun negara maritim, ironis rasanya. Fakta membuktikan, Indonesia masih setia dengan barang impor-nya sejak era kemerdekaan. Kalau begini ceritanya, mungkin akan lebih baik kita dijajah kembali oleh perusahaan dagang Belanda (VOC, Red). Pasalnya, kala itu kita yang giat mengekspor kebutuhan luar negeri dalam konteks yang berbeda.
Peranan pemerintah yang (katanya) selalu mengedepankan kesejahteraan masyarakatnya, selalu menempuh cara terbaik untuk merealisasikannya. Dalam bidang industri, di bawah kontrol kementerian perindustrian RI, industri nasional digenjot untuk melakukan suatu perubahan kearah industrialisasi yang lebih baik. Berbagai kebijakan diratifikasi, berbagai tindakan dilakukan, semata-mata untuk membentuk industri nasional yang jauh lebih baik (mengabaikan faktor politik). Tetapi, masih dirasa kurang optimal.
Hal yang paling mendasar adalah lintas paradigma antara kaum industrialis dan ekonom. Untuk membuat perubahan, kaum ekonom menilai bahwa harus mengedepankan nilai ekonomis pada setiap lini. Paradigma ini yang terus berkembang di negeri jambrud katulistiwa. Alhasil, pembangunan nasional selalu terfokus pada eksploitasi lahan alam yang belum dijamah. Pembangunan semacam ini sangat riskan adanya, sebab sekaya apa pun sumber daya alam yang dimiliki suatu negeri, suatu hari pasti akan habis juga. Tinggal bagaimana mencegah kehabisan dini, itu yang perlu dilakukan.
Pembangunan secara ekonomi cenderung menilik pada investasi jangka pendek. Contoh realnya saja, pembukaan lahan industri untuk cokelat hanya terfokuskan pada pengadaan bahan baku. Secara perhitungan ekonomi, memang menguntungkan bagi Indonesia. Tetapi ada hal lain yang jarang sekali diperhatikan, yakni ketergantungan. Dalam teori dunia ketiga, bangsa berkembang (miskin, red) cenderung terkena dampat teori ketergantungan. Dalam contoh kasus cokelat, Indonesia bisa saja memproduksi bahan baku cokelat, tetapi sagat jarang melakukan kegiatan ekspor.
Dari segi nilai tambah, tentu cokelat yang telah diolah akan lebih mahal. Konsepsi added value ini yang seharusnya menjadi titik fokus pembangunan nasional, baik dari sektor migas, maupun non migas. Ada beberapa hal yang menghambat perubahan dari industri hulu ke industri hilir, diantaranya faktor SDM, teknologi, finansial, informasi, pasar, dan kultur. Keterkaitan antara faktor tersebut selalu membelit dan membuat rumit solusinya.
Padahal sebenarnya, pemerintah bersama dengan pihak lain (akademisi, swasta, dan masyarakat) mampu mencanangkan program reorientasi industri hilir tersebut. Hanya saja memang pemerintah masih belum terlalu tertarik dengan hal semacam ini secara terstruktur atau mungkin kesulitan dalam hal pengimplementasinya karena praktik-praktik gelap.
Sudah seharusnya pembangunan industri hilir ditegakkan, polemik paradigma ekonom yang terbatas pada eksploitasi lahan alam yang belum terberdayakan terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara riil. Konsep pembangunan industri hilir paling penting didukung oleh pemerintah, baik untuk kebijakan dalam negeri maupun negosisasi luar negeri yang memberikan tekanan secara politik terhadap pembangunan ini. Selain itu, konsep ini memang paling tepat dicanangkan dengan sistem OVOP (One village one product) yang akan dibahas selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar